Ahmad Dhani masuk penjara kemarin, dan ada potensi menambah dengan kasus hukum di wilayah Surabaya. Beruntungnya status dalam BPN tidak dipecat, sebagaimana keadaan Ratna Sarumpaet yang langsung dipecat. Bahkan ada yang menyatakan sebagai penegak demokrasi di depan pemerintah yang membungkam kebebasan berpendapat.
Besok tanggal satu Februari, satu lagi, kelompok mereka akan ada yang akan dieksekusi, usai sekian lama tidak ada aksi. Padahal MA sudah cukup lama menyatakan bahwa sudah bisa dilakukan eksekusi terhadap terpidana.Â
Eh waktu yang hampir berbarengan, ada Rocky Gerung yang dipanggil lagi, juga Dahnil Simanjuntak juga dipanggil lagi oleh polisi.
Eh ternyata Ratna Sarumpaet pun diserahkan ke kejaksaan setelah proses di kepolisian selesai dan diterima oleh kejaksaan bahwa sudah lengkap berkas-berkasnya.Â
Ini memang badai yang sedang di hadapi penegak demokrasi, katanya sih, dan sah-sah saja juga mau mengatakan, apapun itu. Toh mereka bebas, kan atas nama kebebasan berpendapat. Bebas.
Pemanggilan Rocky Gerung, yang menyatakan kitab suci sebagai fiksi. Apakah ini salah pemerintah dan penegak hukum? Ketika memang ada yang mengadukan perbuatannya itu sebagai perbuatan yang menistakan agama, oleh si pelapor.Â
Artinya, ada juga kebebasan berekspresi oleh si pelapor, apakah hanya si terlapor yang bebas mengekspresikan, dan pihak lain sebagai pelapor tidak boleh? Jika iya, aneh juga.
Peristiwa yang sama terjadi pada Dahnil Simanjuntak. Ada potensi penyalahgunaan anggaran dalam sebuah acara. Kebetulan dia adalah sebagai salah satu penanggungjawab acara tersebut. Â
Pernyataan yang mengatakan kriminalisasi karena ada di kubu berbeda dengan pemerintah, cukup menggelikan juga. Bagaimana bisa polisi menemukan kebenaran dan fakta hukum, jika sudah teriak duluan, sebelum melakukan klarifikasi.
Padahal pribadi yang sama bisa juga kena pada kasus Ratna Sarumpaet, di mana ia juga ikut mengatakan kalau RS mengalami kekerasan. Masih cukup baik bukan polisi tidak memanggilnya dalam kasus ini, sehingga hanya satu kasus saja. Jadi lebih baik kan kalau hadapi satu ini dengan ksatria, bukan malah melebar ke mana-mana.
Waktu yang berdekatan, Ratna Sarumpaet juga rampung urusannya di kepolisian dan akhirnya dilimpahkan ke pihak kejaksaan. Artinya persidangan hanya tinggal menunggu waktu akan dilakukan. Ini bukan perkara sederhana, akan bisa terjadi drama baru, ketika RS tidak mau sendirian, misalnya menyeret nama capres dan cawapres untuk menjadi saksi meringankan misalnya, apakah tidak akan menimbulkan drama baru, babak baru yang bisa mengharu biru dunia persilatan politik.
Apalagi jika menjadi fakta hukum ketika dimasukan dalam bagian dari vonis atas RS, ada capres dan cawapres ikut terlibat dalam pidana menyebarkan kebohongan. Ingat apalagi jika, jangan dibuang itu, bisa jauh artinya.
Lebih dramatis lagi adalah kisah panjang Buni Yani yang membawa Ahok berganti menjadi BTP, usai di penjara dua tahun dengan dasar karyanya itu, ia pun divonis lebih ringan, namun hingga kini baru akan, ingat masih akan. Ahok sudah mau berbahagia dan bertanggung jawab, ia masih ngeles saja maunya.
Menarik adalah, bahwa yang ada di dalam kubu tersebut potensial, dan bahkan sudah aktual menjadi pelanggar hukum. Namun malah digoreng sebagai pahlawan, dan menuduh penegak hukum, di dalam kesatuan sebagai bagian utuh pemerintah sebagai perilaku jahat dan curang.Â
Menjadi lucu dan aneh, adalah ketika kejahatan dipandang sebagai tindakan mulia, penegak hukum dituding sebagai pelaku kejahatan. Ini di mana logika akal sehatnya?
Bedakan kebebasan berekspresi, mencaci-maki, dan merendahkan, jangan asal sembunyi di balik demokrasi kemudian bisa berlaku seenaknya sendiri. Demokrasi itu juga terbatas, karena ada kebebasan pihak lain.Â
Ingat ini hidup di dunia, hidup bersama dengan pihak lain, ada batasan dan irisan yang akan bersinggungan. Demokrasi yang esensial akan menjamin kebebasan dalam banyak hal, terutama kebebasan untuk hidup.Â
Bukan malah bebas mencaci maki, menghakimi atas klaim sepihak, dan merasa benar, dan pihak lain salah.
Ini perilaku kriminal dan potensial kriminal, bukan persoalan politis, apalagi bak Bung Karno dan para negarawan pendiri bangsa yang dibuang penjajah. Lha jelas ada pelanggaran hukumnya kog.Â
Jelas ada yang menjadi landasan dan dasar hukumnya kog. Akan berbeda jika landasan atau UU dan pasalnya dibuat ketika ada kejadian itu, jelas kriminalisasi dan politis. Ini jauh dari itu semua.
Patut ketika ada yang mengatakan bahwa mulutnya perlu disekolahkan dulu, biar tidak asal bicara. Mengapa demikian? Karena perilakunya memang ugal-ugalan, ketika ditegakan hukumnya menuduh sebagai pemerintah otoriter, tidak dilakukan penegakan hukum, katanya penakut, lemah, plonga-plongo. Â Ini negara hukum, ya taati hukum, jangan asal bicara tidak mau bertanggung jawab jika demikian.
Apa yang biasa mereka lakukan, ada beberapa hal pola yang sama. Ini penting untuk pemilih agar menjadi jernih di dalam melabuhkan pilihannya.
Pertama, mereka menebar kebohongan, fakta separo, atau memutarbalikan fakta. Ketika ketahuan akan memotong kisah sehingga terkesan bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Mengorbankan pihak lain sebagai pelaku yang perlu dipidana. Sasaran pasti pemerintah yang menjadi tertuduhnya.
Kedua, jika gagal dalam pola itu, akan membela mati-matian, dan lagi-lagi menuding pemerintah sebagai pelaku kejahatan dan pemerintah otoriter, kriminalisasi, takut kalah, dan sejenisnya. Usai ketahuan belangnya, akan mengaku tidak kenal, sebagai korban, dan begitu terus. Ingat keadaan Ratna Sarumpaet.
Ketiga, ketika masih ada kesempatan sedikit untuk menyerang pemerintah, akan dikatakan itu adalah pembungkaman atas sikap kritis anak bangsa, sebagaimana kasus AD. Lucu dan aneh, di mana yang dibungkam, ketika orang mencaci maki, menantang penegak hukum, namun ketika diterima tantangannya mewek. Kog seperti anak TK yang menantang bandot dan kemudian benar disrudug nangis guling-guling nyalahkan si bandot ya?
Kempat, pernyataannya asal-asalan, namun digaungkan barengan, sehingga orang yang tidak kritis bisa teralihkan persepsinya, ini yang berbahaya. Hampir selalu begitu. Dan inilah yang harus menjadi perhatian.
Penegakan hukum tidak boleh kalah dan mundur karena tuduhan ngawur dan asal-asalan politis semata. Mempertontonkan kualitas mereka yang ada di sana jelas tidak memiliki sikap tanggung jawab. Bagaimana bisa menerima tanggung jawab mengelola negeri coba?
Perbuatan sendiri saja tidak mau mengakui dan menanggungnya, malah mau tanggung jawab yang jauh lebih besar dan kompleks. Mana buktinya kalau mampu menjalankan tanggung jawab?
Apa iya kepercayaan yang mahaberat itu diberikan pada pribadi-pribadi coba-coba begitu?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H