Pertama, mereka menebar kebohongan, fakta separo, atau memutarbalikan fakta. Ketika ketahuan akan memotong kisah sehingga terkesan bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Mengorbankan pihak lain sebagai pelaku yang perlu dipidana. Sasaran pasti pemerintah yang menjadi tertuduhnya.
Kedua, jika gagal dalam pola itu, akan membela mati-matian, dan lagi-lagi menuding pemerintah sebagai pelaku kejahatan dan pemerintah otoriter, kriminalisasi, takut kalah, dan sejenisnya. Usai ketahuan belangnya, akan mengaku tidak kenal, sebagai korban, dan begitu terus. Ingat keadaan Ratna Sarumpaet.
Ketiga, ketika masih ada kesempatan sedikit untuk menyerang pemerintah, akan dikatakan itu adalah pembungkaman atas sikap kritis anak bangsa, sebagaimana kasus AD. Lucu dan aneh, di mana yang dibungkam, ketika orang mencaci maki, menantang penegak hukum, namun ketika diterima tantangannya mewek. Kog seperti anak TK yang menantang bandot dan kemudian benar disrudug nangis guling-guling nyalahkan si bandot ya?
Kempat, pernyataannya asal-asalan, namun digaungkan barengan, sehingga orang yang tidak kritis bisa teralihkan persepsinya, ini yang berbahaya. Hampir selalu begitu. Dan inilah yang harus menjadi perhatian.
Penegakan hukum tidak boleh kalah dan mundur karena tuduhan ngawur dan asal-asalan politis semata. Mempertontonkan kualitas mereka yang ada di sana jelas tidak memiliki sikap tanggung jawab. Bagaimana bisa menerima tanggung jawab mengelola negeri coba?
Perbuatan sendiri saja tidak mau mengakui dan menanggungnya, malah mau tanggung jawab yang jauh lebih besar dan kompleks. Mana buktinya kalau mampu menjalankan tanggung jawab?
Apa iya kepercayaan yang mahaberat itu diberikan pada pribadi-pribadi coba-coba begitu?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H