Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Biaya Tinggi dan Jawaban Pemahaman Koalisi atas Korupsi

21 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:29 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat politik beberapa hari lalu masih meninggalkan celah, ketika BPN asyik menangkis, meluruskan, dan memberikan klarifikasi atas pernyataan calon mereka. Cukup menarik, jika diperbandingkan  dengan ujian, ada kisi-kisi, ada bocoran, ada "contekan", eh hasilnya masih juga diralat, direvisi, dan dibenarkan. Lucu tidak coba?

Salah satu yang banyak dikatakan sebagai sebuah gol bunuh diri mengenai korupsi. Ada beberapa pernyataan yang menjadi hangat. Pertama soal hanya seberapa, yang diklarifikasi sebagai pelakunya yang seberapa, bukan soal uangnya. Ya boleh lah, monggo untuk mau dipoles seperti apa. Toh tetap nasi telah menjadi bubur, tidak bisa jadi nasi lagi.

Kedua, mengenai caleg yang berasal dari eksnapi korupsi, jawaban yang mengambang bahwa sepanjang sudah menjalankan  konsekuensi hukum, masih didukung massa mengapa tidak.  Lah  partai lain toh masih bisa mencari  politikus yang relatif lebih baik, mengapa ngotot menampilkan kebusukan yang sama? Apalagi anak buahnya ngotot dengan menuntut  ke mana-mana.

Ketiga, jawaban atas perilaku tamak, namun direduksi dengan semata peningkatan gaji. Hal yang lagi-lagi instan di dalam mengaji masalah, juga menyelesaikan dengan masalah pula. Jadi sedikit banyak mulai menguak bukti kardus itu ada benarnya juga. Uang sebagai solusi menuntaskan persoalan yang timbul.

Mengenai uang memang lama terdengar dari koalisi ini, mengenai mahar politik, di mana La Nyalla yang menglaim bahwa ia dimintai dana untuk mendapatkan rekomendasi maju menjadi bacagub Jawa Timur, namun tidak jadi keluar. Toh tidak juga diurus benar atau tidak mengenai hal itu. toh usai pernyataan itu berduyun-duyun pengakuan hal yang sama. Tidak ada penyelesaian, dugaan yang paling mungkin adalah semua memang demikian, minimal hampir semua.

Toh keponakan capres ini juga menjadi anggota dewan dengan uang sekian milyar. Nah dengan gaji kisaran puluhan juta, dengan segala konsekuensi tanggung jawabnya, apa balik uang sebesar itu. boleh toh uang sendiri, yang menjadi pertanyaan adalah, jika model awal sebegitu besar,  bisa tidak bekerja, tanpa memikirkan uang balikan modal?

Ekonomi biaya tinggi hampir semua lini kehidupan terjadi. Pendidikan  yang memang membutuhkan bea itu pun mahal. Namun lebih ironis, kadang uang menggantikan prestasi dan kualitas. Masuk fakultar favorit dengan nama besar bisa sampai setengah milyar. Bagaimana mau bekerja dengan idealisme tinggi dan semestinya, tanpa mau ngemplang dan nyolong?

Rekrutmen, sekian puluh tahun juga model KKN dan uang pelicin. Kenaikan golongan dan jabatan pun tidak lepas dari isu bak maaf kentut yang tidak jelas itu. Ini masalah serius dan lingkaran setan tidak sesederhana menaikan gaji dan selesai. Bagaimana bisa jika tidak mengubah pola pikir, etos kerja, dan sikap mental yang mendasari itu semua.

Mengapa orang begitu tergila-gila dengan tempat sekolah, pekerjaan, dan lahan kerja basah? Ini berkaitan dengan penghormatan akan materi. Kekayaan yang banyak, naik mobil atau motor mewah itu menjadi wooow, meskipun itu hasil dari nyolong sekalipun. Lihat saja profil gaji dan gaya hidup sebenarnya tidak bisa klop. Toh masyarakat juga tidak mempermasalahkan. Yang penting kekayaan dan materi.

Sikap malu jika maling dan kaya karena uang tidak semestinya. Lihat bagaimana para koruptor masih cengengesan, merasa tidak bersalah, malah memfitnah Tuhan segala. Ini lagi-lagi bukan soal gaji kecil dan ditambah selesai. Masalahnya adalah tidak bisa mengatakan cukup dan bersyukur.

Perlu direnungkan lagi Oemar Bakri, masa itu gaji tidak seberapa, namun tulus mengabdi dan itu benar, bukan semata lagu. Tulus itu bisa dilihat dari semangatnya dalam bekerja, dan wajah sumringah, bukan buatan karena sudah belajar kepribadian. Ini yang abai dibidik oleh calon ini.

Lingkaran setan rekrumen, termasuk dalam hal ini adalah pencalonan menjadi kepala daerah atau legeslator, masuk sekolah terutama kedinasan dan beasiswa penuh, bagaimana jika mau masuk pakai uang, di dalam proses nanti bekerja akan juga melakukan hal yang sama. Mana mau keluar modal tidak balik modal, mana mau menanam namun panennya cuma pas-pasan bahkan kurang. Masalah di awal, bukan ditambahi hasilnya.

Penegakan hukum yang sama sekali tidak memberi efek jera. Mengapa? Maling berdasi ini masih kaya, tidak ada yang dimiskinkan. Keluar dari penjara masih juga bisa berkuasa dengan uangnya. Orang masih takut padahal dengan maling. Miris lagi jika masuk pada kekuasaan, terutama legeslatif dan kemudian mengulangi lagi dengan cara yang lebih canggih. Ingat banyak kejahatan jalanan itu keluar dari penjara makin lihai. Hal yang sama bisa terjadi bagi para maling berdasi ini.

Penghargaan atas pross bukan hasil lagi. Orientasi hasil dengan menggunakan segala cara, naifnya itu juga pola kerja koalisi ini, bagaimana mereka mau menritik perilaku demikian, jika mereka juga hanya mampu berbuat level itu.

Sikap dan penanganan dengan menciptakan rasa malu atas hasil nyolong. Hal yang masih jauh dari harapan. Bagaimana pengacara berjubel membela maling ini. Coba mana mau  berebut jika mendampingi maling ayam yang sudah digebuki itu. alasan toh hukumannya tidak sampai butuh pengacara. Bukan soal itu, namun soal keadilan dan uang pantas dan tidak.

Perlu dipikirkan bahwa malu dan merasa berdosa memberi makan keluarga hasil nyolong. Selama ini malah bangga karena sekolah di sekolah mahal, jalan-jalan mall atau luar negeri, padahal hasil korupsi. Coba jika mereka malu dengan demikian?

Uang hasil nyolong bisa membayar suap bagi semua lini penegak hukum. Ini juga bukan soal gaji penegak hukum yang kecil, namun sikap rakus dan tamak. Bagaimana orang maunya memakai tas harga ratusan juta, apa daya gaji hanya jutaan. Tidak malu menerima sogokan dari pelaku kejahatan yang mau mendapatkan fasilitas berbeda.

Masalah itu komplek ketika berbicara pada ranah gaya hidup. Orang  memiliki uang dan kesempatan, akan terus meningkat kenginan dan kebutuhannya. Apalagi tabiat bangsa yang masih kemeren, merasa harus sama atau lebih dari orang lain. Namun tidak mau tahu dan realistis bahwa mereka latar belakang berbeda. Ini sangat jamak di dalam masyarakat bangsa ini.

Ternyata hanya diberi tambahan gaji. Ditambah gaji juga hanya akan mengubah gaya hidup, bukan memperbaiki kualitas hidup. Kinerja masih sama saja nol besar. Uang negara juga terbatas mau dari pada mengolah untuk menaikan gaji? Utopis, instan, tidak berdasar.

Baik dan benar meningkatkan gaji itu sebagai sebuah alternatif, namun apakah menjawab persoalan? Sama sekali tidak, karena memang tidak menguasai permasalah yang ada itu karena apa. menjawab fenomena semata, tanpa tahu akar faktualnya.

Susah melihat lebih jauh karena memang hanya segitu kemampuannya. Seumpama atlet lompat tinggi, rekor terbaiknya 200 cm, mana bisa diminta memberikan hasil capaian 225 apalagi 250 cm. Artinya kemampuannya ya memang hanya sebatas itu.

Nah apakah mau negeri ini dipimpin orang pas-pasan, padahal ada yang sudah membuktikan kinerjanya dengan relatif baik. Bangsa ini perlu pekerja keras bukan hanya omong indah.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun