Debat politik beberapa hari lalu masih meninggalkan celah, ketika BPN asyik menangkis, meluruskan, dan memberikan klarifikasi atas pernyataan calon mereka. Cukup menarik, jika diperbandingkan  dengan ujian, ada kisi-kisi, ada bocoran, ada "contekan", eh hasilnya masih juga diralat, direvisi, dan dibenarkan. Lucu tidak coba?
Salah satu yang banyak dikatakan sebagai sebuah gol bunuh diri mengenai korupsi. Ada beberapa pernyataan yang menjadi hangat. Pertama soal hanya seberapa, yang diklarifikasi sebagai pelakunya yang seberapa, bukan soal uangnya. Ya boleh lah, monggo untuk mau dipoles seperti apa. Toh tetap nasi telah menjadi bubur, tidak bisa jadi nasi lagi.
Kedua, mengenai caleg yang berasal dari eksnapi korupsi, jawaban yang mengambang bahwa sepanjang sudah menjalankan  konsekuensi hukum, masih didukung massa mengapa tidak.  Lah  partai lain toh masih bisa mencari  politikus yang relatif lebih baik, mengapa ngotot menampilkan kebusukan yang sama? Apalagi anak buahnya ngotot dengan menuntut  ke mana-mana.
Ketiga, jawaban atas perilaku tamak, namun direduksi dengan semata peningkatan gaji. Hal yang lagi-lagi instan di dalam mengaji masalah, juga menyelesaikan dengan masalah pula. Jadi sedikit banyak mulai menguak bukti kardus itu ada benarnya juga. Uang sebagai solusi menuntaskan persoalan yang timbul.
Mengenai uang memang lama terdengar dari koalisi ini, mengenai mahar politik, di mana La Nyalla yang menglaim bahwa ia dimintai dana untuk mendapatkan rekomendasi maju menjadi bacagub Jawa Timur, namun tidak jadi keluar. Toh tidak juga diurus benar atau tidak mengenai hal itu. toh usai pernyataan itu berduyun-duyun pengakuan hal yang sama. Tidak ada penyelesaian, dugaan yang paling mungkin adalah semua memang demikian, minimal hampir semua.
Toh keponakan capres ini juga menjadi anggota dewan dengan uang sekian milyar. Nah dengan gaji kisaran puluhan juta, dengan segala konsekuensi tanggung jawabnya, apa balik uang sebesar itu. boleh toh uang sendiri, yang menjadi pertanyaan adalah, jika model awal sebegitu besar, Â bisa tidak bekerja, tanpa memikirkan uang balikan modal?
Ekonomi biaya tinggi hampir semua lini kehidupan terjadi. Pendidikan  yang memang membutuhkan bea itu pun mahal. Namun lebih ironis, kadang uang menggantikan prestasi dan kualitas. Masuk fakultar favorit dengan nama besar bisa sampai setengah milyar. Bagaimana mau bekerja dengan idealisme tinggi dan semestinya, tanpa mau ngemplang dan nyolong?
Rekrutmen, sekian puluh tahun juga model KKN dan uang pelicin. Kenaikan golongan dan jabatan pun tidak lepas dari isu bak maaf kentut yang tidak jelas itu. Ini masalah serius dan lingkaran setan tidak sesederhana menaikan gaji dan selesai. Bagaimana bisa jika tidak mengubah pola pikir, etos kerja, dan sikap mental yang mendasari itu semua.
Mengapa orang begitu tergila-gila dengan tempat sekolah, pekerjaan, dan lahan kerja basah? Ini berkaitan dengan penghormatan akan materi. Kekayaan yang banyak, naik mobil atau motor mewah itu menjadi wooow, meskipun itu hasil dari nyolong sekalipun. Lihat saja profil gaji dan gaya hidup sebenarnya tidak bisa klop. Toh masyarakat juga tidak mempermasalahkan. Yang penting kekayaan dan materi.
Sikap malu jika maling dan kaya karena uang tidak semestinya. Lihat bagaimana para koruptor masih cengengesan, merasa tidak bersalah, malah memfitnah Tuhan segala. Ini lagi-lagi bukan soal gaji kecil dan ditambah selesai. Masalahnya adalah tidak bisa mengatakan cukup dan bersyukur.
Perlu direnungkan lagi Oemar Bakri, masa itu gaji tidak seberapa, namun tulus mengabdi dan itu benar, bukan semata lagu. Tulus itu bisa dilihat dari semangatnya dalam bekerja, dan wajah sumringah, bukan buatan karena sudah belajar kepribadian. Ini yang abai dibidik oleh calon ini.