Dalam sebuah penelitian lembaga internasional, Indonesia menghasilkan sisa dan sampah makanan per tahun per orang sebanyak 300 kg.Â
Besaran ini peringkat ke dua di dunia, di bawah Arab Saudi dan di atas Amerika Serikat. Tentu miris jika membayangkan besaran makanan yang terbuang, baik sengaja, karena kerusakan atas penyimpanan, dan seterusnya.
Kisah pertama, dalam sebuah acara kenduri, tuan rumah duka menyediakan nasi dengan lauk gulai kambing.Â
Memang banyak yang tidak bisa makan daging kambing apalagi dengan masakan gulai. Mirisnya ia tetap terima, tidak dimakan, malah dijadikan asbak bagi abu rokoknya. Miris tapi tidak bisa berbuat banyak, ada nasi disia-siakan demikian.
Kisah kedua, jika kita makan dalam pesta apapun bentuknya, baik prasmanan, ataupun model dus, piringan, atau apapun jenisnya, kecenderungan mengambil atau menerima namun tidak menghabiskan itu seolah biasa saja.Â
Memang ada juga budaya yang meyakini bahwa menyisakan sedikit, ingat nasi dan secuil lauk dinilai sebagai sopan dan tidak rakus atas makanan. Simbol itu sangat sedikit, bukan sebagian besar.
Kisah ketiga, dalam sebuah pemberitaan di televisi sekian tahun lalu, diberitakan, ada tabiat membuang bungkus nasi jatah makan siang dari sebuah pabrik ke balik tembok pemisah kawasan perusahaan, ternyata di balik tembok itu banyak orang yang datang untuk mengais sisa atau ada pula yang netheli, melepas butiran nasi yang menempel pada kertas pembungkus nasi.
Kisah keempat, di daerah Boyolali, setiap tahun ada budaya nyadran, dalam perayaan ini, akan ada "pengemis" yang nyadong saweran dengan menggunakan tenggok, di dalam wadah itu, mereka menampung nasi, lauk, apapun pokoknya di masukan jadi satu.
Rekan saya mengatakan, bahwa orang-orang itu nanti akan memilah lauk, krupuk, nasi, dan seterusnya. Karena jelas nasi itu tidak akan termakan karena campur aduk dengan berbagai jenis makanan.Â
Orang yang meminta-minta itu relatif kaya, punya sapi, dan nasi itu katanya akan dipakai untuk ngombor sapi, dan lauk bisa ayam atau daging yang akan disimpan untuk dimakan.
Bisa dibayangkan berapa banyak makanan yang tersia-siakan. Hampir semua rumah memiliki makanan yang sejenis dan masuk rumah ya makan-makan dan makan.
Penghargaan atas kemanusiaan.
Jika mau menyadari betapa proses panjang, berapa banyak orang yang terlibat untuk membawa sepiring nasi saja ke atas meja. Petani yang menanam padi, perlu benih yang disiapkan ahli-ahli pertanian, petani dan buruh tani yang merawat benih hingga panen.Â
Proses panjang dari bulir padi menjadi beras. Dan dari beras perlu distribusi hingga ke rumah-rumah. Ketika di rumah atau rumah makan ditanak menjadi nasi. Itu baru satu jenis makanan yang bernama nasi.
Nah jika membuang makanan, berapa banyak tenaga yang sudah dikerahkan orang-orang itu dan kita sia-siakan coba? Bisa juga rangkaian itu diterapkan pada ayam, sapi, ikan, kacang panjang, dan seterusnya dan seterusnya.
Penghargaan atas kemanusiaan yang berbeda sisi. Apa yang kita buang-buang itu, jika kita bagikan bagi orang yang kelaparan dan menderita, atau kita memikirkan itu, jangan-jangan itu adalah jatah makan orang lain. Karena sifat kita yang tamak dan  penuh gaya hanya menjadi sampah bagi kita, padahal bisa menjadi jamuan mewah bagi pihak lain.
Penghargaan atas Sang Pencipta
Kehidupan manusia sejatinya harus sampai ke sana. Bagaimana Tuhan Allah Sang Pencipta terlibat di dalam seluruh rangkaian makanan yang kita santap dan kadang buang itu.Â
Jika berani sampai ke sana, sampai merenungkan keterlibatan Tuhan, dan masih membuang makanan, berarti kelainan. Tuhan menciptakan itu dengan penuh kasih demi sang ciptaan agar berbahagia.
Apa yang bisa kita perbuat?
Mengambil secukupnya, jika merasa suka dan kurang, tambah lagi. Dengan demikian orang hanya berpikir makan secukupnya, tidak akan sisa dan membuang makanan yang demikian berarti tersebut.
Menyadari bahwa ada Tuhan dan sesama yang terlibat di dalam proses makanan di depan mulut kita, dengan demikian kita tidak akan berani menyia-nyiakan berkat tersebut.Â
Kita akan menyantap dengan penuh kenikmatan dan penuh kesadaran, bukan hanya asal makan dan kenyang.
Syukur. Awali makan dan minum dengan syukur sehingga jadi ingat Tuhan dan sesama. Dengan demikian, menyadari keterlibatan Tuhan dan sesama, dan ingat ada sesama yang membutuhkan makanan yang bisa saja kita anggap biasa saja, orang lain menilai sebagai hal luar biasa bermanfaat.
Berbagi. Sikap untuk berbagi  bukan malah mengumpulkan. Berbagi jika memiliki banyak persediaan, apalagi jika memang tidak termakan dan tersimpan dengan baik. Kecenderungan orang lebih baik membuang atau membusuk perlu dibenahi agar tidak menjadi kebiasaan.
Sadar. Makan dengan sadar bukan karena lapar kemudian menjadi maruk, dan mengambil berlebihan dan kemudian dibuang-buang. Sering sadar ini tidak menjadi gaya hidup, karena lapar, tamak, dan rakus.
Merayakan dengan hidup sadar, bukan semata seremoni dan wacana saja.
Selamat Hari Pangan SeduniaÂ
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H