Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Rasional Versus Politik Emosional

8 Agustus 2018   09:35 Diperbarui: 8 Agustus 2018   09:51 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dukungan TGB, Pak Dhe Karwo, dan banyak pihak, seperti PAN yang ada di kabinet, namun mendekat ke kubu "oposisi" ini sangat wajar, tidak perlu ribet apalagi ribut dengan  itu.

Politik emosional akan sangat mudah membuat sentimen positif menjadi negatif. Orang yang bekerja di parpol mengolah itu untuk menjadi senjata dan membuat keadaan politik tidak stabil. 

Emosional itu menggambarkan jiwa kanak-kanak. Ingat abg yang mudah disulut tawuran karena hanya soal baju, rebutan cewek, atau hanya karena merasa dipelototi, padahal  melihat biasa. 

Tentu sangat ingat bukan model demikian bagi abg, dan yang sudah dewasa akan geli dan malu jika ingat bukan? Politik pun demikian. masih level remaja mencari jati diri, sehingga lahirlah politik identitas.

Politik identitas. Kesamaan label, paling mudah, murah, dan sejarah membuktikan di Indonesia jelas agama. Etnis dan suku, nampaknya tidak mudah lagi. Agama masih saja menjadi andalan dan persoalan hidup berdemokrasi di Indonesia. 

Emosional soal agama karena pemahaman agama yang belum mendalam dan mengakar, mudah disulut oleh politikus malas dan suka mengandalkan otot daripada otak. Sedikit-sedikit agama, antiagama, antipemimpin agama tertentu, menuntut kualitas keagamaan, di sisi lain, hoox, korupsi, fitnah ditebar tanpa merasa bersalah dan itu adalah esensi agama malah dilanggar.

Apakah bijak memaksa orang atau politikus yang belum paham itu untuk bisa paham? Ya akan sama dengan si pintar namun kurang  bijak di dalam memberikan pengajaran. Lebih payah lagi si bodoh ini sebenarnya tahu namun pura-pura tidak tahu dan menggunakan cara bodoh yang penting mendapatkan hasil.

Apa yang bisa dilakukan jika demikian?

Pertama, bijaksana di dalam menghadapi kebodohan. Siapapun kubunya, sikapnya sama saja. Jika kebodohan dijawab dengan penjelasan dan akhirnya debat dan diskusi  sampai lebaran kuda juga tidak akan kelar karena memang satunya dungu, satunya pintar. Bijak  bisa menjadi alternatif solusi lebih adem dan menyelesaikan banyak hal.

Pengajaran terus menerus, meskipun seolah menaburkan garam di lautan. Sedikit banyak kebodohan akan terkikis, asal mau bekerja keras. Memaksakan kehendak untuk paham, malah susah mendapatkan hasil yang semestinya. Alternatif kedua.

Ketiga, pendidikan dan lembaga agama memberikan pengajaran yang mendalam bukan semata hapalan dan mengikuti alur yang sama tanpa  ada kemampuan kritis dan mendalam atas ilmu dan iman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun