Gelaran pilpres makin dekat dengan proses pendaftaran. Pesta sebelah menjadi sepi, bahkan tidak terdengar hingar bingarnya, pileg seolah anak tiri yang ikut panggung pilpres. Tidak heran karena memang demikian, jadi anggota dewan pusat pun mundur jika jadi menteri, apalagi menteri, demi bupati atau walikota pun mau.Â
Keberadaan legeslatif memang masih kelas kedua, apalagi jumplahnya yang lebih dari 500 kalah mentereng dari menteri yang tidak sampai 40 apalagi presiden dan wakilnya. Di rumah dan kantor ada photo presiden dan wapres, mana ada photo legeslator meski dari dapilnya.
Pas mikir-mikir untuk menuliskan tema ini, ada kiriman teman di grup, mengenai guru dan dua murid yang satu bodoh dan satunya bijak dan cerdas. Satu pertanyaan yang sama, berapa 3 x 7? Si bodoh dengan pongah menjawab 27.
Si pintar menjawab 21, dan malah dimaki-maki dan dikatakan  goblog oleh si pandir. Merasa jawabannya benar ia keluarkan dalil dan pengajaran aneka macam. Si guru yang tentu  bijak mengangguk-angguk dengan sedih kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat kedua murid bertikai.
Ketika itu si pandai dihukum cambuk 10 kali. Ia protes mengapa jawabannya yang benar itu  membuatnya dicambuk? Sang guru menjawab karena kamu tidak ada bedanya dengan si bodoh, berdebat, bertikai dengan si bodoh apa gunannya.Â
Ini bukan soal jawaban benar atau salah namun sikap yang memaksakan bahwa si bodoh harus mengerti, tidak bisa demikian. Ini soal bijaksana menghukum si pintar untuk menjadi bijak lebih baik daripada si bodoh mati karena malu jika dicambuk oleh si guru.
Artikel ini tentu bukan memisahkan si bodoh dan si pintar untuk memakili kedua kubu yang kini masih saling intai dan gertak untuk cepat umumkan nama.Â
Tidak pada proporsinya, namun jika mendekati kondisi yang ada, ya memang demikian berarti. Kedua sisi memiliki pendukung yang relatif sama, reaktif, nonrasional, dan fanatis.
Pipres itu gawe politik, esensi  politik tentu adalah menang dan kalah, kekuasaan atau penonton. Jadi kalkulasi dan hitung-hitungan itu soal mendapatkan atau tidak. Masalah hukum, peraturan, dan seterusnya akan tunduk pada kaidah politik, meskipun tentu bahwa ranah moral dan etis tidak boleh ditinggalkan sejatinya, soal praksis bisa dinilai sendiri.
Perpindahan dukungan, rebutan parpol, saling klaim atau pernyataan mendukung atau tidak itu soal yang wajar, masalah biasa, dan bukan hal yang perlu dijadikan kehebohan.Â
Ketika kepentingan lebih terakomodisasi, lebih memiliki peluang dengan melihat rekam jejak, mengapa tidak ada perubahan. Hal ini sebenarnya bukan hal besar ketika berbicara politik rasional.Â
Dukungan TGB, Pak Dhe Karwo, dan banyak pihak, seperti PAN yang ada di kabinet, namun mendekat ke kubu "oposisi" ini sangat wajar, tidak perlu ribet apalagi ribut dengan  itu.
Politik emosional akan sangat mudah membuat sentimen positif menjadi negatif. Orang yang bekerja di parpol mengolah itu untuk menjadi senjata dan membuat keadaan politik tidak stabil.Â
Emosional itu menggambarkan jiwa kanak-kanak. Ingat abg yang mudah disulut tawuran karena hanya soal baju, rebutan cewek, atau hanya karena merasa dipelototi, padahal  melihat biasa.Â
Tentu sangat ingat bukan model demikian bagi abg, dan yang sudah dewasa akan geli dan malu jika ingat bukan? Politik pun demikian. masih level remaja mencari jati diri, sehingga lahirlah politik identitas.
Politik identitas. Kesamaan label, paling mudah, murah, dan sejarah membuktikan di Indonesia jelas agama. Etnis dan suku, nampaknya tidak mudah lagi. Agama masih saja menjadi andalan dan persoalan hidup berdemokrasi di Indonesia.Â
Emosional soal agama karena pemahaman agama yang belum mendalam dan mengakar, mudah disulut oleh politikus malas dan suka mengandalkan otot daripada otak. Sedikit-sedikit agama, antiagama, antipemimpin agama tertentu, menuntut kualitas keagamaan, di sisi lain, hoox, korupsi, fitnah ditebar tanpa merasa bersalah dan itu adalah esensi agama malah dilanggar.
Apakah bijak memaksa orang atau politikus yang belum paham itu untuk bisa paham? Ya akan sama dengan si pintar namun kurang  bijak di dalam memberikan pengajaran. Lebih payah lagi si bodoh ini sebenarnya tahu namun pura-pura tidak tahu dan menggunakan cara bodoh yang penting mendapatkan hasil.
Apa yang bisa dilakukan jika demikian?
Pertama, bijaksana di dalam menghadapi kebodohan. Siapapun kubunya, sikapnya sama saja. Jika kebodohan dijawab dengan penjelasan dan akhirnya debat dan diskusi  sampai lebaran kuda juga tidak akan kelar karena memang satunya dungu, satunya pintar. Bijak  bisa menjadi alternatif solusi lebih adem dan menyelesaikan banyak hal.
Pengajaran terus menerus, meskipun seolah menaburkan garam di lautan. Sedikit banyak kebodohan akan terkikis, asal mau bekerja keras. Memaksakan kehendak untuk paham, malah susah mendapatkan hasil yang semestinya. Alternatif kedua.
Ketiga, pendidikan dan lembaga agama memberikan pengajaran yang mendalam bukan semata hapalan dan mengikuti alur yang sama tanpa  ada kemampuan kritis dan mendalam atas ilmu dan iman.Â
Agama yang masih label dan bungkus sama juga level abg yang brangasan. Iman mendalam selaiknya pertapa, sufi, mistikus, dan apapun namanya, yang sudah mleihat hidup dengan kacamata jernih.
Keempat, pemaksaan kehendak dijawab dengan bijak bukan dengan pemaksaan kehendak pula. Menemukan titik lemah dan memberikan jawaban yang telak, sehingga tidak berkepanjangan.
Emosional tidak akan menyelesaikan masalah. Rasional membantu orang lebih tenang, apalagi jika melibatkan keduanya dengan baik akan memberikan kebaikan bersama. Politik itu seni, bukan anarkhi, mengapa ada keributan? Karena orang ribut pada cara dan metodenya, bukan hasil akhirnya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H