Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setan dan Secuil Kebenaran

10 Maret 2018   20:20 Diperbarui: 10 Maret 2018   20:54 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay)

Setan dan secuil kebenaran, membaca sebuah renungan kisah-kisah inspiratif, dalam kumpulan Burung Berkicau,ada sebuah cerita, setan dan secuil kebenaran yang mengisahkan mengenai setan yang berjalan-jalan dengan setan juga. Jadi ingat bagaimana perilaku dan perihidup banyak pihak hari-hari ini sangat identik dengan cerita tersebut. Apalagi politikus haus kuasa itu, sangat pas dan tepat.

Dikisahkan ada setan yang berjalan-jalan, salah satunya tiba-tiba menunduk dan memungut sesuatu, tanya setan 1,"Apa yang kau pungut, Tan?"

Setan 2 menjawab sambil senyum-senyum, "Secuil kebenaran....."

"Lha kamu tidak khawatir dan gusar dengan kebenaran dan malah kamu ambil..."

"Santai saja, toh hanya secuil, nanti aku mau buat ini menjadi viral dan menjadi acuan dan bahkan sering lebih dari pada agama bagi manusia tamak dan rakus itu....."ditutup dengan derai tawanya.

"Kamu memang hebat, Setan jenius dan jempolan, kalau di dunia bisa jadi apa saja kamu Tan...."Sambil tos merasa akan dapat pengikut banyak.

Apa yang menjadi inti kisah tersebut jelas, bahwa kebenaran, apalagi jika hanya secuil, akan bisa dimanfaatkan Iblis dan Setan untuk mengubah banyak kebenaran menjadi seolah-olah salah, dan yang salah menjadi seolah-olah benar. Bisa dilihat dalam artikel berikut,

Media sosial paling sering dijadikan ajang untuk berbuat demikian. Melanggengkan separo data, fakta, dan kebenaran.

Kitab Suci tidak ada yang salah, agama pun demikian, namun pelakunya? Tidak ada yang bisa menjamin demikian. Di sinilah peran dan petingkah Iblis dan Setan berbicara. Mereka akan menggunakan hal yang sepenggal sebagai senjata, apalagi jika orang yang membaca, mengikuti, dan mendengar yang sepenggal itu diliputi iri, marah, dengki, jadilah api berkobar.

Setan biasanya membisikan perbedaan dan membesarkan itu, persamaan menjadi bahan yang disembunyikan. Kita saksikan bersama bagaimana sekarang ini orang memiliki kecenderungan membesar-besarkan yang berbeda dan enggan menemukan adanya persamaan. Secuil kebenaran ala Setan itu telah menjadi gaya hidup manusia kini. Diperparah dengan politik dan media abai etika.

Menuding keluar dan abai akan melihat ke dalam juga kinerja Iblis. Dengan demikian orang menjadi suka cita menghakimi, tanpa mau tahu keberadaan diri yang tidak patut. Merasa diri benar, paling baik, dan paling segalanya. Menilai berbeda sebagai salah atau musuh. Sikap mengacungkan jari ke depan dan abai untuk menelisik batin untuk memperbaiki diri.

Negeri lain berkejaran dengan inovasi dan kemajuan, memikirkan kehidupan di  Mars, eh Setan membisikan ribut dengan anak negeri sendiri. Ribut soal asal usul, ribut soal maling itu benar dengan dalih bla-bla-bla. Tahu bahwa itu salah, namun karena Setan dengan secuil kebenarannya telah sukses merobek kebenaran yang hakiki, dibela mati-matian. Iri dan dengki menjadi gaya hidup.

Orientasi bukan pada kedalaman materi, namun kedangkalan dalam banyak hal. Meributkan yang artifisial namun abai akan yang esensial. Berkelahi untu rebutan balung tanpa isi.Berebut hal yang tidak bermakna dan tanpa manfaat.

Hal-hal yang demikian tenyata menjaid gaya hidup bagi banyak kalangan pun pemuka agama. Jangan mengira kalau pemuka agama akan otomatis masuk surga dan mendapat tempat yang terbaik. Mana bisa jika perilakunya di dunia tidak lebih baik. Tuntutan sebagai pemuka jelas lebih besar daripada yang tidak tahu. Tidak perlu sensi dan ngamuk, semua agama relatif sama saja.Konsekuensi logis sejatinya, jika pemuka harus jauh lebih baik dari umat atau awamnya.

Agama sebagai jalan tidak cukup memadai kalau tidak dipelajari dengan hati. Otak dan budi manusia tidak cukup membantu untuk mengubah hati jika orientasi keluar. Pemikiran selalu melihat pihak lain, pusatnya orang lain dan kemajuannya. Menuding, mencari-cari kelemahan dan kekurangan pihak lain. Untuk apa? Ciri pribadi dan kelompok kerdil.

Keberanian mengenai autokritik menjadi penting. Jelas yang dikritik itu perilaku umat beragama, bukan agamanya, apalagi Pencipta Yang Kuasa, jangan campur aduk. Yang tidak bisa salah adalah Sang Pencipta dan agama, kalau pelaku agamanya jelas salah. Namun jika selalu campur aduk, jangan kaget kalau tidak akan ada perbaikan, Setan telah menang menancapkan secuil kebenarannya.

Agama yang dipenuhi dengan pemahaman semata ritual dan apalan, akan mati di dalam kuasa Setan yang enggan memberi kesempatan untuk orang mengaji kebenaran lebih jauh. Repot jika sudah demikian, karena kebenaran yang dipegang itu ciptaan Iblis yang akan tertawa-tawa bahkan berguling-guling karena kinerjanya telah sukses dengan gilang gemilang.

Setan kiranya sekarang ini sudah tidak lagi kerja keras, mungkin malah sudah emiritus,sudah  pensiun, sudah purnakarya karena manusia sudah lebih canggih pola kerjanya dengan internet, dengan kebencian yang sudah meruyak tanpa mereka lagi memengaruhi.

Salam

Sumber Inspirasi:

Burung Berkicau,Antony de Mello

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun