"Makanlah kau", kata Inang setelah aku selesai mengganti seragam sekolahku dengan pakaian sehari-hari.
"Iya Nang, cepatnya aku makan, siap-siaplah Inang", sahutku cepat-cepat ke dapur mengambil piring. Aku sendok nasi dari dalam ricecooker, indahan-sigambiri, uap panasnya mengepul. Mamak hari ini menggoreng ikan mujahir yang kemarin bapak pancing dari kolam ikan kami. Ada daun ubi tumbuk pakai rimbang. Aku cepat-cepat makan sambil membayangkan buah-buah kopi yang akan segera kami panen.
"Nggak bisa bapakmu ngantar kita ke ladang da", kata Inang, "jalanlah kita dari Sekdam".
"Nggak apa-apanya itu Inang", kubilang. Bapak dan mamak sedang repot di Sidompak, di ladang yang arahnya berlawanan dengan ladang yang aku dan Inang akan datangi sore itu.
"Kata bapakmu ge, nanti sore pun nggak sempat dia menjemput kita ke ladang, jadi kita harus pulang sendiri", kata Inang lagi saat kami sudah melangkah ke luar dari rumah.
"Iya Nang, ayolah", sahutku. Bagiku tidak terlalu masalah, sudah biasanya aku jalan.
Inang memang akan sangat terbantu kalau bapak sempat paling tidak menjemput Inang dari ladang di sore hari tetapi jarak antara Sidompak dan Simarbangsi amatlah jauh. Jadi dengan berat hati, terutama kalau pekerjaan bapak di Sidompak sedang repot, bapak bilang, "Nang, pulang sendirilah nanti Inang dari ladang ya, nggak sempat aku lo menjemput, repot kali kerja kami di Sidompak." Kalau bapak kerja di Simarbangsi, Inang memang biasanya pulang dengan bapak belakangan, naik kereta (sepeda motor). Mamak biasanya sudah pulang duluan sama kedua adekku dan aku, Â jalan kaki.
Jarak antara rumah kami dengan Simarbangsi memang lumayan jauh. Jalan kaki lewat Sekdam, itu jalan yang biasanya dilalui kalau tidak naik kendaraan, memerlukan waktu hampir satu jam.
Tiba di ladang, segera kami memetik kopi pakai ember dan tangga besi. Sebagian tangkai-tangkai kopi itu sudah jauh dari permukaan tanah, jadi perlu tangga untuk menjangkaunya.
Memetik buah kopi itu perlu tertib, satu pohon demi satu pohon, dari satu baris ke baris berikutnya. Selama memetik itu, hanya sekali-sekali saja kami mengobrol, itupun aku sudah lupa apa yang kami obrolkan.
Aku senang memetik kopi apalagi kalau pohon kopi itu berbuah lebat. Wah, cantik betul. Jenis kopi yang bagus itu, buahnya cantik. Kalau sudah merah, kulitnya mengkilat. Keindahan warnanya bervariasi mulai dari merah tua di bagian tangkai yang dekat ke pokoknya, lalu merah, kemudian oranye lalu kalau belum semua buah matang, masih ada yang berwarna hijau.