Mohon tunggu...
Paulina Sihaloho
Paulina Sihaloho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya seorang pelajar di sebuha sekolah swasta di Pematang Siantar. Saya senang membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Panen Kopi di Ladang Inang

24 Oktober 2024   20:21 Diperbarui: 24 Oktober 2024   20:46 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Inang tunggulah aku ya", kataku sama Inang sebelum berangkat sekolah.

"Iya, sesuai dengan perjanjian kita itulah da", balas Inang.

Sehari sebelumnya, aku dan Inang sudah sepakat akan ke ladang kopinya di Simarbangsi setelah aku pulang sekolah. Bapak dan mamak belakangan ini tidak ke Simarbangsi tapi ke Sidompak. Kedua daerah ini tidak searah tetapi berlawanan. Simarbangsi kea rah barat, sedangkan Sidompak, sebaliknya, ke awah timur, ke depat Gunung Simarjarunjung.

Ladang kami yang di Sidompak adalah lahan baru, berbeda dengan ladang kami yang di Simarbangsi. Hari-hari ini, bapak dan mamak masih sibuk mempersiapkan lahan baru itu untuk ditanami jahe. Lahan baru memang sangat cocok untuk tanaman jahe.

Di Simarbangsi, mamak dan bapak juga tanam kopi tetapi tidak sebagus kopi inang. Belakangan ini kopi kami itu kurang terawat karena kesibukan orang tuaku di ladang yang lain. Kadang, kami juga perlu mengupah orang lain untuk membantu memanen kopi agar biji-biji kopi itu tidak sampai berjatuhan ke tanah kalau warna sudah merah tua.

Inang lebih hati-hati dalam hal urusan memanen kopi. Kalau tidak terpaksa, dia tidak mau mengupah orang lain untuk memanen kopinya kecuali dia tahu orang itu benar-benar bagus cara memanennya.

Orang yang memanen kopi itu biasanya diupah berdasarkan volume dari hasil yang dipetiknya, jadi bukan berdasarkan berapa lama waktunya memanen. Dengan sistim seperti ini, ada kecenderungan orang untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan atau mempedulikan cara memanen kopi yang benar.

Buah kopi itu bergerombol. Dalam setiap tangkai, terdapat banyak gerombolan. Di tangkai kopi yang bagus, di setiap gerombolannya terdapat sekitar 20 sampai 30 butir biji kopi. Gerombol yang paling dekat dengan pokoknya lebih tua dan matang lebih duluan dibanding dengan gerombolan berikutnya.

Cara memanen kopi yang benar adalah: biji-biji yang ada dalam setiap gerombol itu harus dipetik satu-persatu, tidak boleh langsung dipetik sekaligus. Kalaupun terpaksa dipetik sekaligus, tidak boleh dilakukan dengan menekan atau menarik dudukan biji-biji kopi itu tetapi menarik pelan agar dudukannya tertinggal. Dari dudukan biji-biji kopi itu biasanya akan muncul lagi bunga-bunga yang baru, biji-biji kopi yang baru.

Ada orang yang karena mau cepat banyak hasil petikan kopinya, dudukan-dudukan biji kopi dalam setiap gerombol itu ikut ditarik. Tindakan macam itu tidak baik karena bunga-bunga tidak akan muncul atau tumbuh lagi di bekas gerombol-gerombol itu.

Hari ini, hanya aku yang ikut ke ladang kopi Inang. Kadang, walau tidak sering, adekku si Newin dan beberapa teman-teman sebayaku di kampung ini juga ikut. Itu hanya kadang-kadang saja, yang paling sering ke ladang kopi Inang adalah aku.

"Makanlah kau", kata Inang setelah aku selesai mengganti seragam sekolahku dengan pakaian sehari-hari.

"Iya Nang, cepatnya aku makan, siap-siaplah Inang", sahutku cepat-cepat ke dapur mengambil piring. Aku sendok nasi dari dalam ricecooker, indahan-sigambiri, uap panasnya mengepul. Mamak hari ini menggoreng ikan mujahir yang kemarin bapak pancing dari kolam ikan kami. Ada daun ubi tumbuk pakai rimbang. Aku cepat-cepat makan sambil membayangkan buah-buah kopi yang akan segera kami panen.

"Nggak bisa bapakmu ngantar kita ke ladang da", kata Inang, "jalanlah kita dari Sekdam".

"Nggak apa-apanya itu Inang", kubilang. Bapak dan mamak sedang repot di Sidompak, di ladang yang arahnya berlawanan dengan ladang yang aku dan Inang akan datangi sore itu.

"Kata bapakmu ge, nanti sore pun nggak sempat dia menjemput kita ke ladang, jadi kita harus pulang sendiri", kata Inang lagi saat kami sudah melangkah ke luar dari rumah.

"Iya Nang, ayolah", sahutku. Bagiku tidak terlalu masalah, sudah biasanya aku jalan.

Inang memang akan sangat terbantu kalau bapak sempat paling tidak menjemput Inang dari ladang di sore hari tetapi jarak antara Sidompak dan Simarbangsi amatlah jauh. Jadi dengan berat hati, terutama kalau pekerjaan bapak di Sidompak sedang repot, bapak bilang, "Nang, pulang sendirilah nanti Inang dari ladang ya, nggak sempat aku lo menjemput, repot kali kerja kami di Sidompak." Kalau bapak kerja di Simarbangsi, Inang memang biasanya pulang dengan bapak belakangan, naik kereta (sepeda motor). Mamak biasanya sudah pulang duluan sama kedua adekku dan aku,  jalan kaki.

Jarak antara rumah kami dengan Simarbangsi memang lumayan jauh. Jalan kaki lewat Sekdam, itu jalan yang biasanya dilalui kalau tidak naik kendaraan, memerlukan waktu hampir satu jam.

Tiba di ladang, segera kami memetik kopi pakai ember dan tangga besi. Sebagian tangkai-tangkai kopi itu sudah jauh dari permukaan tanah, jadi perlu tangga untuk menjangkaunya.

Memetik buah kopi itu perlu tertib, satu pohon demi satu pohon, dari satu baris ke baris berikutnya. Selama memetik itu, hanya sekali-sekali saja kami mengobrol, itupun aku sudah lupa apa yang kami obrolkan.

Aku senang memetik kopi apalagi kalau pohon kopi itu berbuah lebat. Wah, cantik betul. Jenis kopi yang bagus itu, buahnya cantik. Kalau sudah merah, kulitnya mengkilat. Keindahan warnanya bervariasi mulai dari merah tua di bagian tangkai yang dekat ke pokoknya, lalu merah, kemudian oranye lalu kalau belum semua buah matang, masih ada yang berwarna hijau.

"Petik ajalah yang marsibigo", kata Inang. Marsibigo itu artinya belum merah tapi akan segera merah dalam dua tiga hari ke depan, jadi sebaiknya dipanen. Yang hijau tidak boleh dipanen.

Inang biasanya rajin untuk mengulang-ulang memberitahukan bagaimana cara memanen kopi yang benar. Mungkin karena itu dia merasa lebih nyaman mamanen kopinya bersamaku karena aku cucunya dan paham apa yang dikatakannya serta melakukannya. Orang-orang dewasa, konon, kata Inang, ada sebagian yang nggak mau tahu, nampak nanti dari hasil panenan kopinya, apakah kopi itu dipetik dengan benar atau tidak.

Waktu cepat berlalu. Kami harus siap-siap pulang ke rumah. Jangan sampai matahari terbenam di ufuk barat sebab itu artinya akan segera gelap.

"Ayolah, pulanglah kita", kata Inang.

Masing-masing kami menjunjung hasil panenan kopi di kepala, berjalan melalui Dalan Gareta ke Parsikolahan sekitar 30 menit. Nama kampung itu Parsikolahan, tak jauh dari sekolahku. Di sana banyak rumah di tepi jalan raya, termasuk rumah Tukang J, agen kopi.

Belakangan ini, Inang memilih untuk menjual kopinya dalam bentuk segar masih berkulit kepada Tulang J. Harga biji kopi berkulit jauh lebih murah daripada kopi kering. Inang bilang, "Sudahlah, repot kalilah kurasa kalau harus mengerjakan semua itu, kujual berkulit sajalah."

Kalau mau jual kopi kita dalam bentuk kering dan harganya jauh lebih mahal, maka setelah dipanen, biji-biji itu harus dimasukkan ke dalam mesin giling manual atau ditumbuk dalam lesung. Lalu dicuci hingga bersih, jangan ada lagi kulit-kulit luarnya kecuali kulit arinya. Jemur sampai kering betul. Jual.

Kami sudah sampai di depan rumah Tulang J.

"Timbangkanlah kopi kami ini, Bapa", kata Inang sama Tulang itu.

"Baiklah Amboru," kata Tulang itu sambil membantu Inang menurunkan karung berisi kopi dari kepalanya.

Aku pun menurunkan kopi yang ada di kepalaku dekat kopi yang dijunjung Inang itu.

Hampir 25 kg semua kopi yang kami petik sore itu. Tulang J, langsung memberikan uang dari penjualan kopi itu. Kami pun siap-siap untuk segera pulang ke rumah karena rumah kami masih jauh. Masih perlu waktu lebih dari setengah jam lagi agar kami sampai di rumah, berjalan melewati jalan raya aspal hitam.

"Kita belilah kue itu?" tanya Inang saat kami sudah berada dekat dengan sebuah warung.

"Iya Inang, sudah lapar pula aku", kubilang.

Kami makan kue itu di dekat warung, lalu kami lanjutkan perjalanan pulang ke rumah kami, ke Urung Panei. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun