Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa "hikmat dunia dan kemampuan manusia, dibandingkan dengan hikmat Allah yang tak terbatas, adalah kebodohan mutlak". Ia mengutip Santo Paulus yang berkata, "Hikmat dunia ini adalah kebodohan di hadapan Allah" (Sapientia hujus mundi stultitia est apud Deum). Jiwa yang mengandalkan pengetahuan dan kemampuan sendiri dianggap bodoh di mata Allah, sebab kebodohan tidak memahami hikmat. Sebagaimana Rasul Paulus mengajarkan, "Jika seseorang di antara kamu merasa dirinya bijak dalam dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh agar ia menjadi bijak", Santo Yohanes dari Salib mengingatkan bahwa untuk mencapai persatuan dengan hikmat Allah, kita harus melangkah melalui cara tidak mengetahui daripada mengetahui.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa "segala kebebasan dan kekuasaan dunia, dibandingkan dengan kebebasan dan kekuasaan Roh Allah, adalah perbudakan, penderitaan, dan penawanan yang paling hina". Jiwa yang mencintai kedudukan atau jabatan tertentu dan berambisi memenuhi hasrat duniawi, menurutnya, tidak dianggap sebagai anak Allah, melainkan sebagai "budak yang hina dan tawanan". Dalam pandangan Allah, perbudakan semacam ini menghalangi jiwa untuk mencapai kebebasan sejati. Santo Yohanes dari Salib mengutip kisah Sara yang meminta Abraham mengusir Hagar, budak perempuan dan anaknya, dengan berkata bahwa "anak dari budak perempuan itu tidak akan menjadi ahli waris bersama dengan anak dari perempuan yang merdeka". Melalui ini, ia menegaskan bahwa kebebasan ilahi hanya dapat tinggal dalam hati seorang anak, yang bebas dari keterikatan duniawi.
Santo Yohanes juga menggambarkan penderitaan yang dialami oleh jiwa yang terikat pada kesenangan dunia. "Segala kesenangan dan kenikmatan kehendak dalam segala hal di dunia ini, dibandingkan dengan kenikmatan yang adalah Allah, adalah penderitaan tertinggi, siksaan, dan kepahitan". Jiwa yang terikat pada kenikmatan duniawi dianggap layak menerima penderitaan, siksaan, dan kepahitan tertinggi di mata Allah, sebab ia menjauhkan dirinya dari pelukan persatuan dengan Allah.
Permenungan lebih lanjut dari Santo Yohanes dari Salib mengungkap perbandingan kekayaan dunia dan kekayaan ilahi. "Semua kekayaan dan kemuliaan seluruh ciptaan, dibandingkan dengan kekayaan yang adalah Allah, adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang tertinggi". Jiwa yang mencintai kekayaan duniawi dianggap sangat miskin dan sengsara di mata Allah. Karena itu, jiwa seperti ini tidak dapat mencapai keadaan transformasi dalam Allah, sebab "yang miskin dan sengsara sangat jauh dari yang sangat kaya dan mulia."
Dan akhirnya kita sudah mengitari setiap sudut pada perhentian pos ini. Narasi Santo Yohanes dari Salib ini menjadi ajakan mendalam bagi kita, setiap jiwa untuk melepaskan hikmat dunia, hasrat akan kedudukan, dan keterikatan pada kenikmatan duniawi. Dengan meninggalkan semua itu, jiwa dapat berjalan menuju kebebasan sejati, hikmat ilahi, dan persatuan sempurna dengan Allah, Sang Hikmat, Keindahan, Terang Agung, dan tentulah Sang Kekasih jiwa kita. Tetap semangat, esok kita harus bersiap memulai eksplorasi lebih mendalam di pos perhentian ini tentang kutipan dan ajaran yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci terkait pembahasan ini. Yes ! Rute pendakian ini, peta yang sama telah dilalui oleh banyak jiwa, musafir cinta lainnya. Peta dan panduannya terserak dalam Kitab Suci.
Epilog
Pantulanku kini serupa dengan Sang Kekasih. Akulah citra-Nya. Gambaran-Nya. Cahaya dan Keindahan-Nya Yang Agung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H