Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendakian Gunung Karmel : Pentingnya Mortifikasi Indra (I-4)

21 Desember 2024   08:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   09:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Mazmur 115:8, Daud berbicara tentang mereka yang mencintai berhala: "Similes illis fiant qui faciunt ea: et omnes qui confidunt in eis" yang berarti, "Biarlah mereka yang menaruh hati pada berhala menjadi serupa dengan berhala itu".  Berhala adalah benda mati, tidak memiliki kehidupan, dan tidak mampu memberikan terang. Berhala-berhala itu dapat berwujud uang dan kekayaan, ambisi dan keinginan pribadi, hubungan manusia, idolatry, ego pribadi dan juga ajaran yang menjauhkan dari kasih Allah yang benar. Jiwa yang mencintai ciptaan menjadi serendah ciptaan itu, bahkan lebih rendah, karena cinta tidak hanya menyetarakan pencinta dengan objek cintanya, tetapi juga menundukkan dirinya kepada objek itu.

Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa kasih sayang terhadap ciptaan menjadi penghalang bagi jiwa untuk bersatu dengan Allah. "Keadaan rendah ciptaan jauh lebih tidak mampu bersatu dengan keadaan tinggi Sang Pencipta dibandingkan kegelapan dengan terang". Dengan mengutip Yeremia 4:23, ia menggambarkan bahwa, dibandingkan dengan Allah, bumi adalah kosong dan bukan apa-apa, dan langit adalah kegelapan murni. Semua yang ada di bumi dan di langit, meskipun tampak bercahaya, adalah ketiadaan jika dibandingkan dengan Allah, yang adalah sumber segala terang dan keberadaan. Jika direnungkan, kita akan menyadari betapa dalamnya refleksi orang kudus ini.

Lebih jauh lagi, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa kasih sayang terhadap ciptaan lebih rendah dari bukan apa-apa, sebab kasih itu menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai transformasi dalam Allah. Jiwa yang terikat pada ciptaan berada dalam kegelapan dan tidak mampu memahami terang Allah. Kegelapan ini, seperti ketiadaan terang, hanya dapat diatasi ketika jiwa disucikan dari segala kasih sayang duniawi.

Sampai jiwa itu dibebaskan dari keterikatan, ia tidak akan mampu memiliki Allah di dunia ini melalui transformasi cinta yang murni, maupun di akhirat melalui penglihatan yang jelas. Dengan kata-kata ini, Santo Yohanes dari Salib mengajak kita untuk merenungkan apa yang kita cintai dan bagaimana cinta itu membentuk kita.

Ketiadaan Ciptaan dan Ketinggian Allah: Jalan Menuju Persatuan Ilahi

Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa keberadaan ciptaan, dibandingkan dengan Keberadaan Allah yang tak terbatas, adalah sama dengan ketiadaan. Ia menegaskan bahwa, "jiwa yang melekatkan dirinya pada keberadaan ciptaan pun dianggap tidak berarti, bahkan kurang dari tidak berarti, di mata Allah". Kasih, menurut Santo Yohanes, menciptakan kesetaraan dan kemiripan, bahkan menundukkan si pencinta di bawah objek cintanya. Maka, jiwa yang mengikat dirinya pada sesuatu yang fana menjadi tidak layak untuk bersatu dengan Allah yang kekal, sebab "sesuatu yang tidak ada tidak dapat bersekutu dengan sesuatu yang ada".

Dalam perenungannya, Santo Yohanes melihat semua keindahan ciptaan sebagai "puncak keburukan", jika dibandingkan dengan keindahan Allah yang tak terbatas. Ia mengutip Amsal: "Keelokan adalah tipu daya dan kecantikan adalah sia-sia" (Fallax gratia, et vana est pulchritudo). Dengan kata-kata ini, ia mengingatkan bahwa jiwa yang terpikat oleh keindahan duniawi menjadi cacat di mata Allah. Jiwa seperti ini tidak mampu mengalami transformasi menuju keindahan sejati, yaitu Allah, sebab "keburukan tidak dapat mencapai keindahan". Sama seperti cahaya yang tak dapat bersatu dengan kegelapan maka keburukan, maka keburukan dan keindahan pun adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Pada hakikatnya, keburukan itu sendiri adalah ketiadaan atau cacat dari kebaikan yang sempurna.

Lebih jauh, Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa semua anugerah dan keindahan ciptaan, dibandingkan dengan anugerah Allah, adalah puncak penderitaan dan ketidaksenonohan. Jiwa yang terpesona oleh keindahan duniawi hanya akan mendapati penderitaan tertinggi di mata Allah, sebab ia menjauhkan dirinya dari anugerah ilahi yang tak terbatas. Ia menyatakan bahwa, "apa yang tidak memiliki anugerah berada sangat jauh dari apa yang penuh dengan anugerah yang tak terhingga."

Santo Yohanes juga mengingatkan bahwa semua kebaikan dunia, dibandingkan dengan kebaikan Allah yang tak terbatas, hanyalah kejahatan. Mengutip kata-kata Yesus sendiri, "Tak ada yang baik selain Allah saja", ia menegaskan bahwa jiwa yang melekatkan hatinya pada kebaikan dunia dianggap sangat jahat di mata Allah. Sebagaimana kejahatan tidak dapat memahami kebaikan, jiwa yang terpikat pada kebaikan duniawi tidak dapat dipersatukan dengan Allah, Sang Kebaikan Tertinggi.

Melalui ajaran ini, Santo Yohanes dari Salib mengundang kita untuk melepaskan keterikatan pada ciptaan dan beralih kepada Allah. Sebab, hanya dengan melepaskan diri dari ketiadaan dan keburukan dunia, jiwa dapat dipersiapkan untuk bersatu dengan Keberadaan Allah yang tak terbatas. Hanya dalam ketaatan kepada kebaikan, keindahan sejati, dan anugerah Allah, kita dapat menemukan jalan menuju persatuan ilahi.

Kebodohan Dunia dan Kebebasan Sejati: Jalan Menuju Hikmat Ilahi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun