Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendakian Gunung Karmel : Pentingnya Mortifikasi Indra (I-4)

21 Desember 2024   08:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   09:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penciptaan (credit: Matheus Viana from pexels) 

Prolog

Cahaya hanya hadir saat bayangan berlalu, ketika semua berhala menguap, maka dimulailah sinkronisasi jiwaku dengan Kekasihku

Dengan sedikit terengah, akhirnya kita sudah tiba pada pos yang akan memberikan kita pemahaman betapa pentingnya malam gelap yang dimaksudkan Santo Yohanes dari Salib dalam pembahasan sebelumnya. Baca : Pengosongan Keinginan akan segala sesuatu. Santo Yohanes dari Salib, seorang mistikus besar dalam tradisi Kristen ini, menjelaskan bahwa malam gelap ini bukanlah hukuman, melainkan sebuah jalan yang tak terhindarkan menuju unifikasi dengan Allah. Teman pendakianku, para musafir cinta, yuk melangkah !

Keterikatan pada Ciptaan: Penghalang Cahaya Ilahi

Santo Yohanes dari Salib menulis, "Betapa pentingnya bagi jiwa untuk benar-benar melewati malam gelap indrawi, yaitu pematian keinginan, agar dapat menempuh perjalanan menuju persatuan dengan Allah". Ungkapan ini menggambarkan esensi dari perjalanan batin: sebuah proses purgasi yang melibatkan pelepasan keinginan dan keterikatan pada hal-hal duniawi.

Pertanyaan kita tentu adalah mengapa pemurnian ini diperlukan? Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa semua kasih sayang atau keterikatan yang kita miliki terhadap ciptaan adalah "kegelapan murni di mata Allah". Bagi saya, ungkapan orang kudus ini adalah ungkapan puitis penggerak jiwa. Ia menerangkan bahwa jiwa yang dilingkupi oleh keterikatan tersebut tidak memiliki kapasitas untuk menerima cahaya Allah yang murni dan sederhana. Seperti halnya cahaya tidak dapat bersatu dengan kegelapan, jiwa pun harus terlebih dahulu melepaskan semua keterikatannya agar dapat diterangi oleh Sang Cahaya Ilahi. Santo Yohanes dari Salib menegaskan hal ini melalui kutipan dari Injil Yohanes: "Tenebrae eam non comprehenderunt" (Kegelapan tidak dapat menerima cahaya). Tak akan pernah menyatu.

Santo Yohanes dari Salib kemudian menekankan bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat hidup berdampingan dalam satu pribadi. Hal ini ia ungkapkan dalam Pendakian Gunung Karmel, dengan mengutip 2 Korintus 6:14: "Quae conventio luci ad tenebras?" --- "Apa persekutuan yang dapat ada antara terang dan kegelapan?". Asimptotik yang tak pernah bersinggungan, dikotomi abadi dan polaritas yang tak akan pernah terjembatani.

Kegelapan, yang digambarkan sebagai kasih sayang terhadap ciptaan, tidak dapat bersatu dengan terang Allah. Kasih sayang terhadap hal-hal duniawi adalah bentuk keterikatan yang menghalangi jiwa untuk mengalami kehadiran ilahi. Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa selama jiwa masih terikat pada ciptaan, terang dari persatuan ilahi tidak akan dapat tinggal di dalamnya. Terang hanya dapat masuk ketika jiwa benar-benar bebas dari segala hal yang bersifat duniawi. Sesederhana mengatakan bahwa fajar hanya akan tiba ketika malam menghilang.

Serupa dengan Apa yang Dicintai: Panggilan Jiwa Menuju Allah

Santo Yohanes dari Salib memberikan sebuah wawasan mendalam tentang bagaimana cinta dan kasih sayang membentuk jiwa menjadi serupa dengan apa yang ia cintai. "Cinta menciptakan keserupaan antara yang mencintai dan yang dicintai",  demikian ia mengajarkan. Jiwa yang menaruh kasih pada ciptaan akan menjadi serupa dengannya, dan semakin besar kasih itu, semakin erat kesetaraan dan keserupaan di antara mereka. Ada suatu ungkapan tentang pernikahan yang mengatakan bahwa ketika dua manusia telah lama saling mencintai, semakin serupalah mereka. Inilah yang ingin dikatakan orang kudus ini tentang relasi jiwa dengan Sang Pencipta.

Dalam Mazmur 115:8, Daud berbicara tentang mereka yang mencintai berhala: "Similes illis fiant qui faciunt ea: et omnes qui confidunt in eis" yang berarti, "Biarlah mereka yang menaruh hati pada berhala menjadi serupa dengan berhala itu".  Berhala adalah benda mati, tidak memiliki kehidupan, dan tidak mampu memberikan terang. Berhala-berhala itu dapat berwujud uang dan kekayaan, ambisi dan keinginan pribadi, hubungan manusia, idolatry, ego pribadi dan juga ajaran yang menjauhkan dari kasih Allah yang benar. Jiwa yang mencintai ciptaan menjadi serendah ciptaan itu, bahkan lebih rendah, karena cinta tidak hanya menyetarakan pencinta dengan objek cintanya, tetapi juga menundukkan dirinya kepada objek itu.

Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa kasih sayang terhadap ciptaan menjadi penghalang bagi jiwa untuk bersatu dengan Allah. "Keadaan rendah ciptaan jauh lebih tidak mampu bersatu dengan keadaan tinggi Sang Pencipta dibandingkan kegelapan dengan terang". Dengan mengutip Yeremia 4:23, ia menggambarkan bahwa, dibandingkan dengan Allah, bumi adalah kosong dan bukan apa-apa, dan langit adalah kegelapan murni. Semua yang ada di bumi dan di langit, meskipun tampak bercahaya, adalah ketiadaan jika dibandingkan dengan Allah, yang adalah sumber segala terang dan keberadaan. Jika direnungkan, kita akan menyadari betapa dalamnya refleksi orang kudus ini.

Lebih jauh lagi, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa kasih sayang terhadap ciptaan lebih rendah dari bukan apa-apa, sebab kasih itu menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai transformasi dalam Allah. Jiwa yang terikat pada ciptaan berada dalam kegelapan dan tidak mampu memahami terang Allah. Kegelapan ini, seperti ketiadaan terang, hanya dapat diatasi ketika jiwa disucikan dari segala kasih sayang duniawi.

Sampai jiwa itu dibebaskan dari keterikatan, ia tidak akan mampu memiliki Allah di dunia ini melalui transformasi cinta yang murni, maupun di akhirat melalui penglihatan yang jelas. Dengan kata-kata ini, Santo Yohanes dari Salib mengajak kita untuk merenungkan apa yang kita cintai dan bagaimana cinta itu membentuk kita.

Ketiadaan Ciptaan dan Ketinggian Allah: Jalan Menuju Persatuan Ilahi

Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa keberadaan ciptaan, dibandingkan dengan Keberadaan Allah yang tak terbatas, adalah sama dengan ketiadaan. Ia menegaskan bahwa, "jiwa yang melekatkan dirinya pada keberadaan ciptaan pun dianggap tidak berarti, bahkan kurang dari tidak berarti, di mata Allah". Kasih, menurut Santo Yohanes, menciptakan kesetaraan dan kemiripan, bahkan menundukkan si pencinta di bawah objek cintanya. Maka, jiwa yang mengikat dirinya pada sesuatu yang fana menjadi tidak layak untuk bersatu dengan Allah yang kekal, sebab "sesuatu yang tidak ada tidak dapat bersekutu dengan sesuatu yang ada".

Dalam perenungannya, Santo Yohanes melihat semua keindahan ciptaan sebagai "puncak keburukan", jika dibandingkan dengan keindahan Allah yang tak terbatas. Ia mengutip Amsal: "Keelokan adalah tipu daya dan kecantikan adalah sia-sia" (Fallax gratia, et vana est pulchritudo). Dengan kata-kata ini, ia mengingatkan bahwa jiwa yang terpikat oleh keindahan duniawi menjadi cacat di mata Allah. Jiwa seperti ini tidak mampu mengalami transformasi menuju keindahan sejati, yaitu Allah, sebab "keburukan tidak dapat mencapai keindahan". Sama seperti cahaya yang tak dapat bersatu dengan kegelapan maka keburukan, maka keburukan dan keindahan pun adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Pada hakikatnya, keburukan itu sendiri adalah ketiadaan atau cacat dari kebaikan yang sempurna.

Lebih jauh, Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa semua anugerah dan keindahan ciptaan, dibandingkan dengan anugerah Allah, adalah puncak penderitaan dan ketidaksenonohan. Jiwa yang terpesona oleh keindahan duniawi hanya akan mendapati penderitaan tertinggi di mata Allah, sebab ia menjauhkan dirinya dari anugerah ilahi yang tak terbatas. Ia menyatakan bahwa, "apa yang tidak memiliki anugerah berada sangat jauh dari apa yang penuh dengan anugerah yang tak terhingga."

Santo Yohanes juga mengingatkan bahwa semua kebaikan dunia, dibandingkan dengan kebaikan Allah yang tak terbatas, hanyalah kejahatan. Mengutip kata-kata Yesus sendiri, "Tak ada yang baik selain Allah saja", ia menegaskan bahwa jiwa yang melekatkan hatinya pada kebaikan dunia dianggap sangat jahat di mata Allah. Sebagaimana kejahatan tidak dapat memahami kebaikan, jiwa yang terpikat pada kebaikan duniawi tidak dapat dipersatukan dengan Allah, Sang Kebaikan Tertinggi.

Melalui ajaran ini, Santo Yohanes dari Salib mengundang kita untuk melepaskan keterikatan pada ciptaan dan beralih kepada Allah. Sebab, hanya dengan melepaskan diri dari ketiadaan dan keburukan dunia, jiwa dapat dipersiapkan untuk bersatu dengan Keberadaan Allah yang tak terbatas. Hanya dalam ketaatan kepada kebaikan, keindahan sejati, dan anugerah Allah, kita dapat menemukan jalan menuju persatuan ilahi.

Kebodohan Dunia dan Kebebasan Sejati: Jalan Menuju Hikmat Ilahi

Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa "hikmat dunia dan kemampuan manusia, dibandingkan dengan hikmat Allah yang tak terbatas, adalah kebodohan mutlak". Ia mengutip Santo Paulus yang berkata, "Hikmat dunia ini adalah kebodohan di hadapan Allah" (Sapientia hujus mundi stultitia est apud Deum). Jiwa yang mengandalkan pengetahuan dan kemampuan sendiri dianggap bodoh di mata Allah, sebab kebodohan tidak memahami hikmat. Sebagaimana Rasul Paulus mengajarkan, "Jika seseorang di antara kamu merasa dirinya bijak dalam dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh agar ia menjadi bijak", Santo Yohanes dari Salib mengingatkan bahwa untuk mencapai persatuan dengan hikmat Allah, kita harus melangkah melalui cara tidak mengetahui daripada mengetahui.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa "segala kebebasan dan kekuasaan dunia, dibandingkan dengan kebebasan dan kekuasaan Roh Allah, adalah perbudakan, penderitaan, dan penawanan yang paling hina". Jiwa yang mencintai kedudukan atau jabatan tertentu dan berambisi memenuhi hasrat duniawi, menurutnya, tidak dianggap sebagai anak Allah, melainkan sebagai "budak yang hina dan tawanan". Dalam pandangan Allah, perbudakan semacam ini menghalangi jiwa untuk mencapai kebebasan sejati. Santo Yohanes dari Salib  mengutip kisah Sara yang meminta Abraham mengusir Hagar, budak perempuan dan anaknya, dengan berkata bahwa "anak dari budak perempuan itu tidak akan menjadi ahli waris bersama dengan anak dari perempuan yang merdeka". Melalui ini, ia menegaskan bahwa kebebasan ilahi hanya dapat tinggal dalam hati seorang anak, yang bebas dari keterikatan duniawi.

Santo Yohanes juga menggambarkan penderitaan yang dialami oleh jiwa yang terikat pada kesenangan dunia. "Segala kesenangan dan kenikmatan kehendak dalam segala hal di dunia ini, dibandingkan dengan kenikmatan yang adalah Allah, adalah penderitaan tertinggi, siksaan, dan kepahitan". Jiwa yang terikat pada kenikmatan duniawi dianggap layak menerima penderitaan, siksaan, dan kepahitan tertinggi di mata Allah, sebab ia menjauhkan dirinya dari pelukan persatuan dengan Allah.

Permenungan lebih lanjut dari Santo Yohanes dari Salib mengungkap perbandingan kekayaan dunia dan kekayaan ilahi. "Semua kekayaan dan kemuliaan seluruh ciptaan, dibandingkan dengan kekayaan yang adalah Allah, adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang tertinggi". Jiwa yang mencintai kekayaan duniawi dianggap sangat miskin dan sengsara di mata Allah. Karena itu, jiwa seperti ini tidak dapat mencapai keadaan transformasi dalam Allah, sebab "yang miskin dan sengsara sangat jauh dari yang sangat kaya dan mulia."

Dan akhirnya kita sudah mengitari setiap sudut pada perhentian pos ini. Narasi Santo Yohanes dari Salib ini menjadi ajakan mendalam bagi kita, setiap jiwa untuk melepaskan hikmat dunia, hasrat akan kedudukan, dan keterikatan pada kenikmatan duniawi. Dengan meninggalkan semua itu, jiwa dapat berjalan menuju kebebasan sejati, hikmat ilahi, dan persatuan sempurna dengan Allah, Sang Hikmat, Keindahan, Terang Agung, dan tentulah Sang Kekasih jiwa kita. Tetap semangat, esok kita harus bersiap memulai eksplorasi lebih mendalam di pos perhentian ini tentang kutipan dan ajaran yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci terkait pembahasan ini. Yes ! Rute pendakian ini, peta yang sama telah dilalui oleh banyak jiwa, musafir cinta lainnya. Peta dan panduannya terserak dalam Kitab Suci.

Epilog

Pantulanku kini serupa dengan Sang Kekasih. Akulah citra-Nya. Gambaran-Nya. Cahaya dan Keindahan-Nya Yang Agung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun