JANGAN coba-coba membangunkan naga yang sedang tidur. Sang raja ular ini asyik 'bobo' dengan posisi waspada, melingkari pesisir dari tujuh pulau di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Naga raksasa ini pun bakal mengamuk jika  warganya terusik.
Di kalangan tetua dan tokoh masyarakat di Anambas, amukan sang naga bisa berupa bencana alam: gempa bumi atau ombak besar yang bisa melibas apa saja. "Awak (bahasa Melayu, artinya: kamu) harus percayalah. Ta' da (tidak ada) ramalan kami yang merampot (bohong). Cerita ini, bukanlah mitos, bukan legenda pula," kata Syofyan Hadi, tokoh masyarakat dari Pulau Jemaja, Anambas.
Konon di masa lalu, naga yang sedang tidur itu kerap bergerak karena terusik oleh ulah negatif oknum-oknum manusia. Akibatnya, terjadi gempa tektonik atau gelombang laut besar di wilayah kepulauan tersebut. "Ini zaman dulu. Jika, kita menggali di sembarang tempat terutama di pesisir pantai, darah bisa muncrat dari tanah atau pasir," lanjut Syofyan yang juga pengurus salah satu parpol di Anambas.
Toh legenda tentang darah tersebut, sebenarnya, merupakan sebutan untuk kandungan minyak mentah di bekas wilayah Kabupaten Kepulauan Natuna ini.  Kawasan ini dikenal kaya akan minyak dan gas bumi (migas). Terbukti, Pemerintah Indonesia memetakannya  dengan nama Blok Anambas. Pengelolaan blok ini ditawarkan ke publik internasional lewat Lelang Reguler Tahap I 2019, berupa kontrak bagi hasil dengan menggunakan skema 'gross split' yang jangka waktunya 30 tahun.
Pada 7 Mei 2019, berdasarkan pengumuman pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lelang tersebut dimenangkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kuwait lewat perusahaan minyaknya: Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company (Kufpec). Kufpec merupakan anak usaha dari Kuwait Petroleum Corporation (KPC).
Jumlah Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas Indonesia pada 2017 di Indonesia, mencapai 255 blok termasuk Blok Anambas. Dari lokasinya, WK migas terdiri dari 134 blok onshore, 83 blok offshore, dan 34 blok onshore/offshore.
Rincian jumlah WK migas pada akhir 2018, terdiri dari 87 blok dalam tahap eksploitasi, 119 blok tahap eksplorasi konvensional, dan 49 blok eksplorasi nonkonvensional. Untuk WK migas tahap eksploitasi, terdiri dari 73 blok produksi dan 14 blok dalam tahap development.
Adapun untuk WK eksplorasi, terdiri dari 88 blok aktif dan 31 blok dalam proses terminasi. Sementara WK nonkonvensional terdiri dari 43 blok aktif dan enam blok dalam proses terminasi. Pada Februari 2018 dilelang 26 blok migas, dengan menggunakan skema 'gross split'. Jumlahnya terdiri dari 24 blok migas konvensional, dan dua blok migas non-konvensional.
"Ayam Mati di Lumbung Padi"
Kepulauan Anambas berbatasan dengan tiga negara: Malaysia di sebelah barat, serta Vietnam dan Thailand di sebelah utara. Wilayah ini kaya akan kandungan gas dan minyak bumi. Di perairan Kepri sendiri, total 15 perusahaan minyak dan gas sudah beroperasi di kawasan Natuna-Anambas,
Empat di antaranya sudah berproduksi. Adapun perusahaan migas swasta nasional yang beroperasi di Anambas: Medco E&P Natuna, usai mengambil alih 'jatah' dari Conoco Philips sejak 17 November 2016. Basis Medco di Anambas berlokasidi Pulau Matak. Â Perjalanan lautnya dari Tarempa berdurasi sejam lebih.
Anambas dimekarkan dari Natuna lewat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2008 Tanggal 24 Juli 2008. Kabupaten ini terdiri  dari  17 kecamatan, antara lain, Palmatak, Subi, Bungguran Utara, Pulau Laut, Pulau Tiga, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah, Siantan Timur, Siantan Selatan, Jemaja Timur, dan Siantan Tengah.  Pemekaran Anambas dari Natuna, karena warga setempat menilai bahwa hasil bumi Anambas bisa memberdayakan perekonomian mereka.
Menurut Ketua Umum Badan Pembentukan dan Penyelaras Kabupaten Kepulauan Anambas, Muhamad Zen, sektor migas merupakan sumber pendapatan daerahnya. Diakuinya, Natuna selama ini menjadi salah satu daerah penghasil gas terbesar di Indonesia.
Dengan pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas, tegas Zen  kepada Kompas (2 Juli 2008), 'kue' migas dari dana bagi hasil (DBH) untuk Natuna pun akan terbagi ke Anambas, sebagai daerah otonomi baru. DBH migas untuk Natuna pada 2007 misalnya, sekitar Rp 225 miliar. Sebagai perbandingan, pendapatan asli daerah (PAD)Natuna sekitar Rp 4 miliar.
Adapun pendapatan DBH migas sebesar Rp 225 miliar itu, dinilai masih kecil dibandingkan dengan nilai total dari produksi migas di Natuna. Pendapatan kotor dari hasil migas Natuna pada 2007 saja, mencapai Rp 21,8 triliun.
Namun ketika sudah menjadi daerah otonom dari Natuna, kekayaan migas dari daerahnya sendiri ternyata tidak signifikan dalam mensejahterakan mereka. Terbukti, warga misalnya masih kerap antre  membeli bahan bakar minyak (BBM). "Memang tidak sesuai kenyataan. Yang begini (antre), sudah menjadi pemandangan yang lumrah dari tahun ke tahun di daerah ini. Harga bensin mahal di tingkat eceran, terutama di pulau-pulau luar Siantan," kata Zulkifli, warga Kelurahan Letung, Pulau Jemaja.
Di Jemaja, terdapat satu kecamatan: Jemaja Timur. Jarak perjalanan laut Jemaja-Pulau Siantan, antara delapan sampai sembilan jam. Pada awal dekade 2000-an di desa-desa di Jemaja, yakni Bukit Padi, Kuala Maras, dan Genting Pulur, harga satu liter bensin kerap mencapai Rp 30 ribu, bahkan kerap lebih.
Walaupun merupakan pulau yang paling besar di  Anambas, Jemaja bukanlah menjadi Ibu Kota Anambas.  Terpilihnya Tarempa sebagai ibu kota kabupaten di Pulau Siantan, tak lain karena pertimbangan lokasi bandar laut di Tarempa yang strategis sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda. Tarempa  ketika itu merupakan pusat kewedanaan atau pusat pemerintahan  di Pulau Tujuh, julukan untuk Kepulauan Anambas.
Karena lumayan jauh jarak antara Jemaja-Tarempa, bahan-bahan pokok umumnya dijual di atas rata-rata harga eceran. Bahan-bahan pokok ini disuplai dari kapal-kapal niaga dari Jakarta Surabaya yang bersandar di Dermaga Tarempa. Dermaga ini juga disinggahi oleh kapal-kapal penumpang PT Pelni.
Sebagaimana di kawasan-kawasan lainnya di Anambas, perekonomian di Jemaja dimotori oleh warga Tionghoa. Mereka berinteraksi secara harmonis dengan warga asli setempat tanpa pernah terjadi gesekan sosial. Selain Melayu sebagai penduduk asli, Anambas didominasi oleh suku Bugis yang sudah beralkuturasi selama berabad-abad dengan warga pribumi.
Syofyan mengakui, keberadaan perusahaan-perusahaan minyak di kawasan tersebut, terasa ironis. Pasalnya, masih banyak warga yang tetap hidup miskin. Seharusnya ada alokasi dana sosial  untuk  membantu mereka. Setidaknya untuk penataan lingkungan maupun supaya sanitasi supaya mereka hidup lebih sehat.                                      Di  Anambas, tak sedikit warga  asli yang masih secara tradisional bermukim di rumah kayu yang dibangun di atas permukaan air laut. Di bagian belakang rumah mereka, terdapat dapur dan tempat mandi, cuci, kakus (MCK). Makin ke belakang, permukaan air pun semakin tinggi. Saat air pasang, kotoran manusia sering tergenang atau 'bela-belain ngintip' dari bawah lantai kayu atau balai-balai bambu. Warnanya (maaf) ...kekuning-kuningan atau...kecoklat-coklatan!
Rendahnya tingkat kesejahteraan hidup mayoritas warga Anambas, seharusnya bisa terentaskan lewat tanggung jawab sosial perusahaan '(corporate social responsibility' (CSR). Pasal 74 ayat satu dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang terkait sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Sejatinya, CSR merupakan pendekatan bisnis dengan memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Caranya: memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi seluruh pemangku kepentingan.                              Namun di Anambas, PAD dari perusahaan-perusahaan minyak ini tak terasa  manfaatnya bagi umumnya warga. "Makanya butuh desakan yang kuat dari pemerintah setempat ke pihak perusahaan untuk merealisasikan CSR. Dana CSR pasti ada, jadi butuh moralitas yang baik di kalangan aparatur pemerintah untuk jujur terkait CSR," kata Syofyan.     Kemiskinan di Anambas tak terbantahkan. Hingga tahun 2018, Garis Kemiskinan (GK) penduduknya terus meningkat. Dari data Badan Pusat Statistik Anambas, GK setempat sejak tahun 2015 adalah Rp 313.04 (6,58 persen), tahun 2016 Rp 341.556 (6,73 persen), dan tahun 2017 Rp 356.046 (6,87 persen). Dilansir 'kejoranews' dan 'metrosidik' pada medio Juli 2018, perolehan GK itu didapat dari biaya pengeluaran per bulan dari 320 rumah tangga di setiap kecamatan di Anambas sebagai sampel survei.
"Tidak hanya di Tarempa saja, tetapi merata di setiap kecamatan. Pendekatannya kita ambil dari pengeluaran. Dari estimasi komoditi baik makanan maupun non-makanan yang kami hitung, didapat garis kemiskinan dengan pengeluaran perorang sekitar Rp 300 ribu per kapita dan dibawah itu," kata Rolinta Damanik, pegawai di BPS Anambas.
GK merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK, dikategorikan sebagai penduduk miskin. Adapun GKM, merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, atau  lemak). Sedangkan GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI