Proses belajar berdasarkan tiga daya manusia adalah belajar olah rasa, olah pikir, dan olah kehendak. Dalam hal ini, pendidikan adalah olah rasa dan pikir, pengajaran adalah olah pikir, dan pelatihan adalah olah kehendak. Segalanya bekerja dalam satu harmoni. Bila dianalogikan tiga daya manusia sama dengan daun semanggi yang bercabang tiga. Tiga cabang tersebut bergabung menjadi satu. Jadi, ketiga proses itu adalah sama atau setara.
Realitas yang Terjadi
Dewasa ini, semangat kesetaraan disebarluaskan dengan menggunakan bahasa lisan. Adapun sapaan atau ungkapan yang kerap digunakan oleh masyarakat adalah “smart people”. Sapaan itu mengingatkan masing-masing pribadi tentang kapabilitas kodratinya yang perlu dikembangkan secara kontinu. Secara historis, ungkapan tadi memiliki makna yang sama dengan kata “bung” yang umum digunakan pada saat politik “superioritas Eropa” merajalela. Sepenggal kata sederhana tadi perlahan membentuk kepribadian moral seseorang sebagai pejuang.
Semangat juang tersebut perlu ditanam dengan subur di tanah air. Hal ini perlu ditekankan karena adanya kemungkinan Indonesia mengalami bonus demography, yaitu keadaan dimana banyak masyarakat yang memiliki usia produktif. Ini menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk bangkit dari segala rasa inferior yang ditanamkan melalui mitos zakelijkheid oleh Belanda. Lantas, apakah Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan dan berdiri kokoh di hadapan banyak bangsa? Atau apakah Indonesia hanya akan mengalami stagnasi?
Namun nyatanya pendidikan di Indonesia masih kurang baik. Berdasarkan data BPS pada tahun 2019, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mencapai angka 71,92. Angka tersebut memang terlihat biasa saja. Tetapi bila kita melihat data IPM daerah timur Indonesia, akan sangat terlihat ketimpangan pendidikan yang sedang terjadi.
Daerah yang memiliki IPM yang rendah ialah Papua (60,84), Papua Barat (64,70), Nusa Tenggara Timur (65,23), Nusa Tenggara Barat (68,14), Gorontalo (68,49), Maluku Utara (68,70), Maluku (69,45), Sulawesi Barat (65,73), dan Sulawesi Tengah (69,50). Semua daerah itu, memiliki angka IPM di bawah rerata IPM negara. Tentu saja, hal ini adalah suatu keprihatinan yang cukup besar.
Apalagi pada tahun 2045, Indonesia dinyatakan akan mengalami bonus demography. Saat itu, sumber daya manusia berusia produktif akan berjumlah besar. Fenomena ini akan menjadi titik balik kebangkitan Indonesia yang disebut sebagai Macan Tidur.
Dengan adanya surplus SDM, Indonesia akan mampu bangkit di tengah stagnasi ekonomi yang terjadi di negara yang kekurangan SDM produktif. Namun apakah betul Indonesia mampu “bangkit dan pulih lebih cepat”? Mengingat surplus kuantitas SDM, tidak akan menjamin kebaikan kualitas SDM. Barangkali surplus kuantitas dapat diiringi penurunan kualitas.
Selanjutnya, kita dapat melihat perkembangan angka IPM di daerah Indonesia Timur masih kurang dari rerata IPM. Pada tahun 2021, BPS kembali meninjau IPM di Indonesia. Tentunya data yang digunakan untuk menetapkan IPM tetap sama, yaitu angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita.
Dengan begitu, pendidikan tetap saja menjadi faktor yang cukup besar dalam IPM. Terutama karena terdapat dua poin tentang pendidikan dalam menentukan besar IPM. Lebih lanjut, IPM Indonesia mengalami kenaikan dari angka 71,92 menjadi 72,29. Kendati demikian, angka IPM di wilayah timur Indonesia masih berada pada status yang sama, yaitu status sedang (60≤IPM<70).
Daerah-daerah tersebut ialah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Angka IPM yang paling rendah ialah 60,82 yang dipegang oleh Provinsi Papua. Hal ini menandakan bahwa pemerintah perlu melakukan upaya pemerataan pendidikan.