Dalam beberapa hari ini, tanggal 18, 19, 20, 21, 22 Agustus 2019 telah terjadi demonstrasi yang mengejutkan pemerintah di sejumlah kota di Tanah Papua. Demonstrasi-demonstrasi itu ternyata dilakukan untuk memrotes ujaran kebencian dan penghinaan terhadap mahasiswa Papua di kota Malang dan Surabaya oleh beberapa oknum apparat dan anggota organisasi tertentu. Alasannya karena mahasiswa Papua dituduh membuang bendera Merah Putih di selokan di depan asramanya seperti yang diviralkan.
Presiden dan sejumlah pejabat tinggi meresponse peristiwa tersebut dengan mengajak semua pihak untuk saling memaafkan. Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifa dengan rendah hati meminta maaf atas kejadian tersebut. Demikian juga Walikota Malang, namun aksi-aksi tersebut nampaknya terus berlanjut sampai hari ini termasuk demo mahasiswa di Jakarta.Â
Pertanyaannya: apakah karena hinaan dengan kata "monyet" yang sudah sering orang Papua dengar pada setiap pertandingan sepak bola antara Persipura dan kesebelasan di luar Papua kali ini lebih menyakitkan dibandingkan yang lalu-lalu sehingga mengundang reaksi kemarahan yang meluas di Tanah Papua?Â
Apakah karena pengaruh media sosial yang secara cepat menyebarkan informasi tersebut secara real time dan di saksikan di seluruh Papua sehingga mengundang kemarahan? Ataukah kejadian di Malang dan Surabaya hanyalah trigger bagi OAP untuk meluapkan rasa sakit hatinya yang sudah sekian lama dipendam karena ketidakbebasan menyatakan pendapat?Â
Banyak pengamat telah memberikan berbagai analisa tentang kejadian ini, baik yang membatasinya kepada masalah persekusi dengan harapan perlu penyelesaian hukum yang adil dan permintaan maaf, namun ada pula yang mengaitkannya dengan isu Papua merdeka yang patut diwaspadai. Aparat keamanan pun terus ditambah ke berbagai kota di Papua dengan alasan untuk menegakkan rust en orde di wilayah itu.
Penulis cenderung memahami fenomena bangkitnya orang Papua serentak menyatakan protesnya atas penghinaan tersebut sebagai bentuk "curhat" yang sudah lama dipendam dan berakumulasi karena ruang kebebasan dan saluran untuk menyatakan pendapat dibatasi dan kadang-kadang ditutup sama sekali. Presiden pun pernah membuat policy untuk masuknya wartawan asing ke wilayah itu agar ada pandangan berbeda dari pihak lain yang secara obyektif meliput keadaan yang sebenarnya di Papua.Â
Ternyata kebijaksanaan itu pun gagal karena berbagai regulasi keamanan yang rumit dan sangat ketat bagi wartawan asing untuk masuk ke Papua. Seakan ada sesuatu yang kita sembunyikan dan tidak boleh dilihat orang lain. Kita akui integrasi Papua ke Indonesia sudah berjalan lebih dari 56 tahun, namun sebagai bangsa, terkesan kita belum cukup memahami Papua dengan segala persoalannya.Â
Kita tidak memiliki ahli-ahli yang menekuni masalah-masalah Papua secara mendalam untuk mengatasinya demi kemajuan manusia Papua dan menangkap aspirasi yang terpendam dalam hatinya untuk membicarakannya secara terbuka. Kenyataannya, malah berbagai persoalan mendasar yang terkait dengan ketidakadilan yang dirasakan orang Papua kita sembunyikan di bawah karpet atau dimasukkan dalam "kotak ajaib separatis" dan berharap tidak mengganggu.
Memang kita telah berhasil membangun Papua sesuai selera dan persepsi kita, tetapi kejadian beberapa hari ini membuktikan bahwa kita belum berhasil membangun orang asli Papua sesuai harapan dan persepsi mereka sebagai warga negara Indonesia sehingga ada kekecewaan yang diluapkan.Â
Bapak Wakil Presiden berulang-ulang mengatakan kita sudah kasih subsidi yang besar ke Papua dengan assumsi bahwa dengan uang kita bisa menyelesaikan segala persoalan. Memang uang diperlukan, tetapi soal harga diri manusia Papua seringkali kita abaikan. Orang asli Papua yang terdiri dari kurang  lebih 250 suku dan berjumlah sekitar 1,5 sampai 2 juta jiwa, masih merupakan fenomena yang belum dipahami sepenuhnya oleh pemerintah. Â
Pembangunan yang dilaksanakan untuk mensejahterakan mereka justru telah membuat mereka merasa tersisih, terasing, termarginalisasi  dan merana di negerinya. Kita cenderung menggunakan pendekatan keamanan terhadap semua masalah ketika kita tidak mampu memilah-milahnya untuk diatasi dengan cara-cara yang lebih bermartabat.
Situasi Papua sekarang ini mirip dengan apa yang dilukiskan oleh DR. Jan Van Baal (pejabat pemerintah kolonial di Semarang sebelum Perang Dunia II yang kemudian menjadi gubernur pertama di Nederlands Nieuw Guinea -Tanah Papua sekarang sesudah PD II) tentang keadaan di pulau Jawa sebelum perang.Â
Dalam bukunya "Mensen in Verandering" ia melukiskan dengan baik perasaan orang Jawa ketika Belanda membangun pulau Jawa sesuai dengan selera dan kepentingan orang Belanda sehingga membuat orang Jawa tersisih dan terasing di negerinya sendiri, penulis kutip ..................."Java dat wij gebouwd hadden, met zijn wegen, zijn fabrieken, zijn grote irrigatieleidingen, zijn spoorwegen, zijn huizen, zijn alles wat Java maakte.Â
Ons Java, zeiden wij, want wij voelden er ons thuis ............. Het is wel duidelijk, waar de pijn ligt. Wij hadden ons geidentificeerd met het land, waarvan wij het aangezicht veranderden. Ons land. Men kan niet ergens thuis zijn en dat thuis veraderen zonder de ander, die er eigenlijk thuis hoort, te alieneren.Â
Ons thuis zijn maakte the Javaan, vreemdeling in eigen huis, een verbouwd huis bovendien. ...... Een regime, dat het land grondig veranderde en welks invloed tot in de verste uithoeken merkbaar was in verandering van levensgewonten en vooral van levensmogelijkheden was onvedraaglijk. --Â
(Jawa yang telah kita bangun, dengan jalan-jalannya, pabrik-pabriknya, saluran irigasinya, jaringan kereta apinya, rumah-rumahnya, semua kemajuan yang telah dicapai Jawa. Jawa kita, kata kita (orang Belanda) karena kita merasa seperti di rumah kita sendiri ........... Jadi jelaslah di mana letak rasa sakitnya. Kita (orang Belanda) telah mengidetifikasikan diri kita dengan negeri itu (Jawa) yang sudah kita robah wajahnya.Â
Negeri kita (orang Belanda). Tak seorang pun (orang Belanda) akan merasa kerasan di rumah yang telah dirobahnya tanpa membuat pemilik asli rumah itu ikut berobah, dan bukan dengan membuat pemilik rumah yang sebenarnya terasing di rumah sendiri.Â
Rasa kerasan dan rasa memiliki rumah  (Jawa) oleh kita (baca-orang Belanda) telah membuat orang Jawa menjadi orang asing dalam rumahnya sendiri, sebuah rumah yang telah dibangun oleh kita (Belanda). ...... Sebuah pemerintah yang secara mendasar merubah keadaan suatu negeri sehingga pengaruhnya terasa sampai ke sudut-sudut yang terjauh di negeri itu, meliputi perubahan dalam kebiasaan sehari-harinya dan terutama kesempatan untuk hidup adalah suatu keadaan yang tak tertahankan/menyakitkan -- terjemahan penulis). Â
Bila pemerintah ingin berhasil membangun orang asli Papua ke depan, ada baiknya memerhatikan pandangan van Baal tersebut dan mengevaluasi pembangunan yang sudah dan sedang dilaksanakan selama kurang lebih 56 tahun ini demi mendesign suatu konsep pembangunan yang lebih sesuai untuk membangun orang asli Papua dan membuatnya kerasan di negerinya.Â
Jangan sampai tujuan mulia kita membangun orang asli Papua justru membuat mereka terasing, tersisih dan merana di negerinya dan pada gilirannya menolak semua yang kita buat untuk mereka. Kita tidak mungkin membangun Papua hanya menurut selera dan ambisi kita dan mengabaikan pandangan, identitas kultural, persepsi politik, serta faktor-faktor lainnya yang memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.Â
Membangun orang asli Papua tidak sama dengan membangun orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Bali atau suku-suku lainnya. Masing-masing suku bangsa memiliki budaya, pengalaman hidup, tingkat pendidikan dan kemajuan yang berbeda-beda serta lain-lain aspek yang membentuk persepsi masing-masing terhadap masa depannya dan terhadap segala perobahan yang berlangsung disekitar kehidupannya.Â
Tanpa memerhatikan aspek-aspek tersebut, maka pembangunan yang kita laksanakan meskipun tujuannya baik, akan menciptakan keterasingan dan bahkan penolakan dan perlawanan dari masyarakat yang ingin kita bangun.
Kasus Nduga yang menimbulkan krisis kemanusiaan, yaitu dengan mengungsinya lebih dari 40.000 orang meninggalkan kampung halamannya dan hidup tak menentu di tempat pengungsian, merupakan suatu bukti betapa kita mengabaikan aspirasi dan persepsi masyarakat ketika kita membangun jalan ke Nduga.Â
Kita mungkin berpandangan atau berasumsi bahwa jalan itu dibangun demi  kebaikan mereka sehingga kita enggan menjelaskan tujuannya dan meminta dukungan atau persetujuan mereka padahal mereka adalah pemilik wilayah itu.
Semoga pemerintah kita semakin menjadi bijaksana dalam menangani masalah Papua ke depan serta akan dengan kebesaran jiwa akan membuka ruang kebebasan untuk berdialog tentang berbagai hal yang selama ini kita tabukan.Â
Kiranya dalam periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, akan ada ruang bagi orang Papua untuk berdialog dengan Jakarta demi memikirkan bersama suatu peta jalan pembangunan baru yang benar-benar menjawab persoalan yang mendasar di Papua seperti ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan social dan budaya, serta harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua yang sering kita langgar melalui pendekatan keamanan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kearifan kolektif untuk belajar dari kesalahan-kesalahannya serta berani memperbaikinya sehingga dalam perjalanan selanjutnya ke depan tidak akan terbebani kesalahan-kesalahan masa lalunya.
Jakarta, 22 Agustus 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H