BPK terjun mengurus masalah lingkungan hidup Freeport
Isu lingkungan hidup yang akhir-akhir ini digunakan sebagai alat bargaining Inalum dalam berunding untuk menguasai 51% saham Freeport, pernah diberitakan media massa nasional setahun yang lalu a.l. oleh Koran Tempo, Senin, 8 Mei 2017. Termuat keterangan dari bapak Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) bahwa, kegiatan operasional Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan di area kerjanya di Papua.Â
BPK memperkirakan kerugian mencapai Rp 185 triliun. Nilai kerusakan terbesar terjadi di laut yaitu  diperkirakan sebesar Rp 166 triliun. Diberitakan juga bahwa perhitungan kerugian didasarkan kepada ekosistem yang rusak, nelayan yang rugi, dan semuanya dihitung bersama tim dari Institut Pertanian Bogor dengan dukungan citra satelit dari Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional.
Kita memahami bahwa fungsi utama BPK adalah mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh berbagai institusi pemerintah termasuk Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar tepat sasaran sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.Â
Namun ketika lembaga ini memasuki wilayah yang secara teknis menjadi urusan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup maka langkah ini patut dipertanyakan. Ada dua pertanyaan sederhana yang patut direnungkan. Pertama: Sampai sejauh mana BPK boleh memasuki urusan departemen teknis? Kedua: Apakah Kementerian ini sudah tidak berfungsi lagi sehingga membutuhkan intervensi BPK dalam urusan sehari-harinya?
Selama ini yang kita fahami adalah, bahwa kementerian inilah yang sesuai fungsi dan tugas pokoknya lebih berkompeten melakukan penyelidikan dan memberikan pendapat teknis tentang suatu kejadian yang berdampak terhadap lingkungan hidup. Itulah gunanya dibentuk kementerian ini dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman pelaksanaan tugasnya.Â
Kita sulit membayangkan betapa beratnya tugas BPK kelak apabila semua urusan teknis berbagai departemen pemerintah ikuti diurusi sampai kepada hal-hal yang bersifat detail. Katakanlah ikut menyelidiki tugas sehari-hari dari para bupati dan gubernur seluruh Indonesia dengan mem-bypass Kementerian Dalam Negeri. Â Pasti tidak ada lagi waktu untuk mengurus tugas pokoknya.
Tentang soal Freeport, kita semua maklum bahwa dalam setiap usaha pertambangan, tidak dapat dipungkiri terjadinya tingkat kerusakan tertentu terhadap lingkungan, khususnya permukaan tanah yang dibuka untuk mengambil kandungan mineral, batu bara dan bahan galian golongan C. Demikian juga risiko kerusakan lingkungan yang terjadi akibat proses pengolahan.Â
Selama kerusakan-kerusakan tersebut masih dalam batas kendali dan batas toleransi yang disepakati bersama antara pemerintah dengan Freeport, kementerian yang dipimpin oleh Ibu DR. Ir. Siti Nurbaya Bakar M.Sc ini secara teknis lebih memahami duduk perkaranya. Dan bila terjadi hal-hal yang melewati kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan yang diperkenankan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasti sudah ada peringatan dan tindakan yang diambil terhadap perusahaan tanpa harus didikte oleh pihak manapun.Â
Quo vadi pemerintah dengan bola liar politik ini?
Terlepas dari akurat tidaknya metodologi yang digunakan BPK untu cepat tiba pada kesimpulan yang mengejutkan ini, adalah hak dan tanggungjawab Kementerian KLH untuk meminta penjelasan yang obyektif, mendetail dan komprehensif dari BPK tentang cara yang dipakai untuk tiba pada temuan tersebut.Â
Dengan demikian Kementerian dapat meng-klarifikasinya kepada publik dan pihak perusahaan. Â Bila tidak ada penjelasan maka akan memberi kesan telah terjadi politisasi isu lingkungan yang bertendensi memojokkan Freeport. Apalagi dilakukan oleh BPK pada saat perundingan antara Pemerintah dan Freeport sedang berlangsung serta dengan mem-by-pass tugas dan tanggungjawab kementerian yang mestinya secara teknis lebih berwewenang melakukan penilaian terhadap kerusakan lingkungan yang diduga terjadi.
Sangat disayangkan belum ada klarifikasi tentang isu ini selama setahun. Bahkan terkesan Kementerian KLH cenderung memanfaatkan hasil BPK untuk menekan Freeport dengan mengeluarkan kebijakan pengelolaan tailing yang lebih memberatkan dan mustahil dilaksanakan di lapangan oleh perusahaan manapun.Â
Selama setahun ini, berita temuan BPK terus menurus digulirkan media massa dan dibiarkan menjadi bola liar politik, Â Orang awam pun bisa membaca, bahwa isu ini boleh jadi sengaja diciptakan sebagai bagian dari taktik dan strategi negosiasi Pemerintah dengan Freeport untuk penguasaan 51% saham.Â
Faktanya, Harian Kontan tanggal 24 April 2018 secara implisit membenarkan hal ini ketika memberitakan bahwa Inalum dalam negosiasinya dengan Rio Tinto terang-terangan meminta harga sahamnya didiscount karena alasan akan membenahi masalah lingkungan, suatu alasan yang sungguh absurd.Â
Siasat ini juga nampaknya berhasil merontokkan nilai saham Freeport di Pasar Modal New-York. Pemberitaan Reuters dan Bloomberg online tanggal 24 April sebagaimana dikutip oleh Detikcom on line, CNN Indonesia maupun Tribune news pada tanggal 25 April 2018, menyatakan saham Freeport merosot US$ 2,73 atau jatuh sekitar 15% menjadi US$16,08. Sedangkan Wall Steet Journal online tanggal 2 Mei 2018, memberitakan nilai saham Freeport jatuh lebih dari 20%.
Sebagai orang awan kita bertanya: Apakah ini suatu kemenangan bagi  pemerintah dan kekalahan bagi Freeport ataukah hanya suatu kemenangan kosong yang tidak menguntungkan pihak manapun? Waktu dan proses selanjutnyalah yang akan menjawabnya.Â
Ironisnya, di satu sisi kita akan menjadi pemilik saham mayoritas tetapi di sisi lain kita membiarkan isu lingkungan menjadi bola liar yang mengurangi kepercayaan para investor dan menghantam perusahaan yang bakalan kita kuasai sahamnya dalam waktu dekat. Jangan lupa, bola liar ini juga boleh jadi akan mendiscourage konsorsium perbankan asing (Jepang) yang konon khabarnya sudah didekati untuk memodali  pembelian 51% saham.
Perlunya memahami Undang-Undang secara komprehensif
Di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah diamanatkan kepada Pemerintah dan pihak-pihak yang melakukan usaha agar menempuh berbagai proses dan prosedur yang diatur dalam undang-undang dan aturan pelaksanaannya untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup demi meminimize dampak yang merugikan tanpa mengorbankan kepentingan pembangunan.Â
Pada Bab III tentang Perencanaan, yaitu di dalam pasal 5 tentang Perencanaan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, undang-undang mengamanatkan agar dilakukan melalui tahapan a)inventarisasi lingkungan hidup, b)penetapan wilayah ekoregion dan c) penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).Â
Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi: a)potensi dan ketersediaan, b) jenis yang dimanfaatkan; c) bentuk penguasaan; d) pengetahuan pengelolaan; e) bentuk kerusakan; dan f) konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Pada pasal 7 yang menyangkut ekoregion, Â salah satu hal yang dipertimbangkan adalah kesamaan ekonomi, yang dalam implementasinya memposisikan Kabupaten Mimika secara ekonomis sebagai ekoregion/kawasan ekonomi pertambangan. Terkait dengan itu, inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam. Undang-undang juga mengamanatkan untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selanjutnya pada Paragraf 1 yang menyangkut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dalam pasal 16 termuat hal-hal yang mencakup KLHS, antara lain: a)kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b) perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c) kinerja layanan dan jasa ekosistem; d) effisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e) tingkatan kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
KLHS menjadi paragraf penting dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009 dengan tujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya dikotomi antara kepentingan pembangunan diperhadapkan dengan isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang sekarang dimunculkan oleh  BPK dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Kabupaten Mimika bila dikaitkan dengan KLHS adalah suatu kawasan ekonomi pertambangan yang memiliki kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang memadai baik untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan maupun untuk kepentingan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang berbasis pertambangan. Sudah terbukti selama bertahun-tahun bahwa masalah-masalah lingkungan yang terjadi di kawasan ini dapat dikelola dan teratasi dengan baik oleh perusahaan sesuai arahan pemerintah. Â
Dampak lingkungan yang dipersoalkan BPK mestinya ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas, mencakup berbagai aspek kepentingan pembangunan dan manfaat ekonomi yang terkait dengan kehadiran Freeport di Indonesia dan khususnya di Papua. Semestinya institusi yang bersangkutan juga memerhatikan berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang secara konsisten terus dilakukan Freeport sesuai amanat undang-undang. Isu Lingkungan Hidup tidak mungkin diperlakukan sebagai isu yang berdiri sendiri.
Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan pembangunan, Ibarat dua sisi mata uang yang bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Keharmonisannya harus terus dijaga demi kepentingan manusia itu sendiri.
 Penutup
Freeport sudah menjalankan usahanya di Indonesia selama lebih dari 50 tahun dan saat ini sedang berunding dengan Pemerintah untuk kelanjutan usahanya  sampai tahun 2041, yaitu 20 tahun lagi dengan investasi sekitar US$ 20 miliar.Â
Secara akal sehat tidak mungkin Freeport dengan sengaja mau membuat suatu blunder atau kesalahan bodoh untuk meniadakan semua usaha dan kerja kerasnya selama ini. Sebagai sebuah perusahaan publik dengan reputasi international, Freeport tidak akan semudah itu mengorbankan reputasi dan nama besarnya. Apalagi terkait dengan masalah lingkungan hidup yang sudah menjadi isu global yang menjadi komitmen para pemimpin dunia.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup diharapkan tidak terlalu lama membiarkan Freeport dalam kondisi ketidakpastian yang berkepanjangan. Hal ini akan mengundang tafsir seakan politisasi isu lingkugan telah dijadikan "modus operandi"Â bila ingin mencaplok saham sebuah perusahaan.
 Diharapkan polemik ini segera diakhiri. Sebab pada akhirnya mayoritas saham Freeport akan menjadi milik Indonesia. Dan jangan lupa, dunia usaha dan khususnya para investor asing sedang memperhatikan cara kita memperlakukan "seorang kawan lama." Bila Freeport yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari pembangunan nasional kita diperlakukan seperti ini, boleh jadi akan menjadi contoh buruk bagi iklim investasi di negeri kita. Mari kita renungkan hal ini dengan akal sehat.
Jakarta, 7 Mei 2018.
(Penulis adalah mantan Anggota DPR-RI -- anggota Komisi VII yang terlibat dalam pembuatan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H