Sambungan.............
Berbeda dengan di Manado saat Tadohe ditunjuk Ayahnya mewarisi tahta yang menimbulkan pertentangan antar pangeran hingga membentuk kubu oposan internal kerajaan, di Mongondow Tadohe yang telah melalui fit and propertest dari Dow, melenggang mulus dan dilantik secara adat Mongondow. Dow adalah sosok perempuan kharismatik yang memimpin pelantikan itu tanpa melahirkan kubu oposan termasuk masyarakat Bolaang (pesisir pantai utara) yang pernah menjadi oposannya di Manado saat mewarisi tahta Ayahnya, Mokodompit.
Setelah didaulat menjadi Raja Bolaang, Tadohe melakukan berbagai pembenahan. Terdiri dari reformasi birokrasi dan pembenahan di bidang sosial kemasyarakatan. Adat juga dilembagakan dan melahirkan pakta perjanjian antara golongan rakyat dan pemerintah atau dikenal dengan Paloko-Kinalang.
Berikut ini saya kutip sedikit hasil reformasi dan kebijakan-kebijakan yang lahir di masa Tadohe dikutip dari catatan Dunniebier dalam Over de Vorsten van Bolaang Mongondow:
- Als de Radja op reis gaat naar Kotaboenan of naar Bolaang, moet hij worden gedragen, hij mag niet te voet of te paard gaan. Terjemahan bebasnya; ketika Raja melakukan perjalanan ke Kotabunan atau ke Bolaang, Raja harus ditandu (dipikul), tidak boleh berjalan kaki atau menunggang kuda. (Saat aturan ini dibuat, Tadohe masih tinggal di Tudu In Bakid, desa Pontodon saat ini).
- De Radja heeft het recht n huis te Bolaang (aan de kust) en n in Mongondow te laten maken.Terjemahan bebasnya; Raja berhak atas satu rumah di Bolaang (di pantai) dan satu rumah di Mongondow (dataran tinggi/pedalaman).
- Wanneer de Radja sterft -of zijn vrouw of een kind of kleinkind van hem -, dan moet geheel Bolaang Mongondow hem eren door het zingen van klaagliederen , door erewachten en door het dragen van zwarte kleren. Niemand mag dan rode kleren dragen. Ook mag men dan de lamp niet opsteken voor acht uur's avonds. Terjemahan bebasnya; Ketika Raja meninggal—baik istri, anak atau cucunya—maka semua orang Bolaang Mongondow harus menghormatinya dengan menyanyikan ratapan, memakai pakaian berwarna hitam, tidak diperbolehkan memakai baju merah, tidak boleh menyalakan lampu selama delapan jam pada malam hari.
- Wanneer de Radja buitenshuis komt, moet hij steeds een (grote hoed) dragen, want als hij dit niet doet, kan het gewas niet welig groeien. Terjemahan bebasnya; Ketika Raja keluar dari rumah, dia harus selalu menggunakan (topi besar), karena jika dia tidak melakukan ini, tanaman tidak bisa tumbuh subur
Di awal periode pemerintahannya, Raja Tadohe fokus melakukan pemebanahan sebagaimana dikutip dalam Dunnebier: setelah lembaga-lembaga tersebut di atas dikukuhkan dengan sumpah , Radja Tadohe' memberikan perintah yang diperlukan mengenai pembangunan rumah, pembangunan jalan desa, dan arahan untuk membuat kebun padi juga jagung.
Selain memperkuat ekonomi kerajaan, Tadohe mulai mengembangkan angkatan perang kerajaan Bolaang. Kekuatan angkatan perang Bolaang awal abad 17 sebagaimana dikutip pada Lopez menyebutkan: Di sisi lain, Bool (Bulan atau Bohol), tiga hari perjalanan dari selatan Cauripa, telah mampu membuat mesiu sendiri. Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-17, hegemoninya di daerah itu meningkat, membentuk apa yang di masa depan disebut Bolaang Mongondow.
Persenjataan angkatan perang berbahan mesiu ini menjadikan kerajaan Bolaang mampu memperkuat hegemoninya di jazirah utara Sulawesi. Aliansi klasik dengan Siau juga terus dipertahankan Tadohe dengan memanfaatkan hubungan kekeluargaan. Tradisi lisan Sangihe menyebutkan ibu dari Tadohe adalah cucu dari Lokonbanua II, selain itu salah satu isteri Tadohe berasal dari Tabukan, anak Raja Tabukan yang bernama Boki Rasingan.
Tadohe Kembali Menjadi Raja Manado
Dengan kekuatan armada perang yang telah terkonsolidasi, saatnya bagi Tadohe kembali ke Manado. Tujuannya jelas, ia hendak menuntut tahtanya yang pernah kandas akibat ulah para oposan yang diperparah dengan kedatangan Kaicil Tulo dari Manila ke Manado dan mendudukinya.
Beberapa saat sebelum kedatangan Tadohe menuntut tahtanya, Kaicil Tulo rupanya sudah digoyang lebih dulu oleh faksi yang pernah menolak tahta Tadohe. Tradisi di Mongondow menuturkan, faksi yang rupanya masih subur ini adalah faksi warisan yang oleh Riedel ditulis Loementoel atau Loemantoet atau Loemoentoek (Lumantut atau Lumuntuk; bhs.Mongondow),Tapi itu tak masalah bagi Tadohe. Armadanya telah cukup kuat dan terkonsolidasi. Kaicil Tulo yang uzur seolah telah menantikan Tadohe yang mendapat perlawanan dari faksi bajak laut Jailolo, Loloda, Makian, yang mulanya mendukung Kaicil Tulo kemudian terkonsolidasi oleh warisan Lumantut. Namun mereka berhasil dikalahkan Tadohe.
Selanjutnya adalah Tadohe memusatkan pemerintahannya di daratan besar, yang berdekatan dengan sungai tempat domisili mantan Raja Manado, Kaicil Tulo.
Tahun 1620 Manado benar-benar lepas dari kekuasaan Kaicil Tulo. Informasi tentang Raja Manado paska Kaicil Tulo terkonfirmasi dalam Documenta Malucensia pada bagian report on Manado (Ternate, Second Half Of 1620) oleh para rabi yakni FR. Manuel De Avevedo, visitor Maluku, untuk FR. Andre Palmeiro, visitor India. Diperoleh keterangan dari para rabi bahwa, orang-orang (Manado) sangat tidak mampu menerima iman. Hanya ada 50 orang yang dibaptis, tetapi mereka adalah orang Kristen dalam nama saja. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Raja telah menikahi wanita Moor/ Islam (rey se tornou a cazar comhuma moura). Satu-satunya harapan adalah penaklukan itary, tetapi orang-orang Spanyol tidak tertarik dengan itu. Gubernur berencana untuk menarik tentara dari Manado. Semua Jesuit dan anak laki-laki jatuh sakit, dan Pdt. Scalamonti meninggal. Jika Gubernur memanggil kembali tentara, maka para rabi (frater) harus kembali juga. Posisi berisiko orang Spanyol tidak mengizinkan tindakan orisinil.
Keterangan soal Raja Manado telah menikahi wanita Moor/Islam diberi catatan kaki oleh Hubert Jacob bahwa Raja Manado memiliki beberapa Isteri, salah satunya perempuan Islam yang dinikahi raja. Perempuan ini bukan Istri satu-satunya dan masih diberi tanda tanya apakah perempuan ini yang menjadi Ratu? Dokumen pada tahun 1638 dan tahun sesudahnya telah nyata bahwa Isteri raja ini adalah seorang ratu, Queen of Manado atau sebutan lainnya Reyna de Bolan.
Dari laporan ini di peroleh informasi tentang kondisi keimanan Kristen di Manado dimana masih banyak orang orang Manado yang kekristenannya hanya dalam nama saja tapi perilakunya jauh dari Kristen. Selain telah beralih ke Islam, pengamal budaya pagan juga masih kental. Selain itu laporan ini menggambarkan kesulitan yang dialami oleh misi Jesuit asal Portugis, selain menderita penyakit (sakit) perhatian Spanyol terhadap misi ini mulai berkurang terlebih Raja Manado tidak membantu sepenuh hati.
Informasi penting lainnya nama Kaicil Tulo sudah tidak disebutkan lagi sebagai Raja. Andaikata Kaicil Tulo saat kunjungan ini masih hidup maka kakak dari Sultan Baabullah ini sudah pada usia Uzur yakni 94 tahun. Ratu yang menolak di Baptis oleh Fr Pinto adalah orang berbeda dengan Istri Raja dari kalangan Moor (Islam) yang baru dinikahi Raja Manado. Artinya raja yang dibahas dalam report on Manado 1620 (Documenta Molucensia) bukan lagi Kaicil Tulo.
Buktinya saat di kunjungi Fr Pinto tahun 1619, Isteri Kaicil Tulo sudah disebut sebagai Ratu, berarti perkawinan Raja sudah terjadi sebelum Tahun 1619, sementara itu Raja Manado yang dibahas dalam Report on Manado (Documenta Molucensia) baru menikahi seorang perempuan Muslim saat itu yakni tahun 1620 sehingga anaknya yang disebut Putra Mahkota oleh Aritonang dan disebut Moco dalam Documenta Malucensia, saat dikirim ke Ternate 17 tahun kemudian (pada Tahun 1637-1638 ) dikabarkan berusia 16 dan 17 tahun.
Ada hal yang menarik terkait pasang surutnya keimanan keluarga raja yakni sang raja memeluk Kristen dan Isterinya adalah pemeluk Muslim dari Tahun 1620 hingga tahun 1630-an hidup dalam kebudayaan tradisional yang cenderung paganism sebagaimana laporan Jesuit tahun 1620.
Tradisi lisan dari Mongondow mengungkapkan bahwa awalnya Tadohe menolak ritual Monibi, ritual pengobatan dengan mengundang arwah-arwah leluhur. Suatu waktu anak Tadohe yang masih kecil jatuh sakit dan diobati oleh 'dokter istana' namun tidak sembuh. Setelah diobati melalui upacara ritual Monibi, sang anak lantas sembuh. Akhirnya Tadohe yang Kristen ini menganjurkan di seluruh wilayah kerajaan agar mendirikan kuil untuk arwah para leluhur.
Ritual yang awalnya kurang dikenal Tadohe yang lahir di Siau dan dibesarkan di Manado. Tapi Tadohe memang seorang yang cerdas dan tahu menegaskan dirinya sekalipun dalam budaya pagan. Perilaku pagan yang bertentangan dengan iman Kristiani ini juga di catat oleh Dunnebier berdasarkan tutur dari para bangsawan dan tetua adat di zamannya.
Tadohe ini adalah orang yang sangat berpengaruh, seseorang yang tahu bagaimana menegaskan dirinya sendiri. Pengaruh tersebut juga menjadi saksi dari fakta bahwa dengan upacara pengorbanan tingkat desa lewat ritual Monibi, di halaman kepala desa didirikan 2 kuil yang dibuat terpisah satu sama lain. Di salah satunya dua patung ditempatkan, yang harus mewakili Tadohe dan Istrinya.
Ini yang dikeluhkan para Jesuit dalam report on Manado [Ternate, Second Half Of 1620] Documenta Molucensia : 'Mereka adalah orang Kristen dalam nama saja'. Kalimat ini merujuk ke perilaku paganism dalam masyarakat, dan Raja Tadohe yang Kristen inipun terlibat dalam praktek pagan bersama Isterinya yang muslim dengan menyisipkan syarat tambahan patung Tadohe dan Isterinya (Kijaba) dalam rumah / kuil pemujaan atau pengurbanan.
Setelah menguasai dan menjadi Raja Manado, Tadohe memusatkan perhatiannya untuk menundukkan kubu oposisi terutama faksi Batasina (Halmahera) di sekitaran perairan Manado hingga Belang. Kelompok yang paling terkenal dari faksi batasina ini adalah Loloda. Menguasai Manado dan mengabaikan kekuatan kelompok Loloda akan berbahaya bagi eksistensi kerajaan Manado. Loloda salah satu pengembara laut yang paling disegani di perairan Sulawesi Utara hingga Teluk Tomini.
Jika kita memperhitungkan tahun kelahiran putra mahkota (Loloda Mokoagow) anak dari Tadohe dengan memperhatikan umur saat putra mahkota dibaptis, maka kemungkinan Loloda Mokoagow dibaptis tahun 1637 dalam usia 17 atau 16 tahun, sehingga penaklukan faksi Loloda terjadi antara tahun 1620 - 1621.
Dari data ini dikaitkan dengan tradisi lisan Bolaang Mongondow terkait kelahiran Putra Mahkota bernama Moco atau Mocoago, hasil wawancara saya dengan sejarahwan Bolaang Mongondow, Anwar Syukur (Almahrum) tahun 2010 silam, Anwar menuturkan bahwa kelahiran putra Tadohe bernama Mokoagow bersamaan dengan peristiwa berhasilnya Tadohe mengalahkan dan merampas Kora-kora faksi Loloda dari Halmahera (Batachina), sehingga pangeran bernama Mokoagow ini selalu disapa dengan sebutan Loloda, guna mengenang peristiwa besar ini. Takluknya orang-orang Loloda ini di catat oleh Padtbrugge dalam Het Journaal Van Padtbrugge's Reis Naar Noord-Celebes En De Noordereilanden : De vader van den tegenwoordigen Koning van Boelang, wezende toen mede Koning van Manado en Loloda genaamd. artinya :Ayah dari Raja Boelang (Loloda Mokoagow) saat ini disebut juga sebagai Raja Manado dan Loloda.
Dengan status sebagai Raja Manado dan Raja Loloda, kekuasaan Tadohe atas Manado tak tergoyahkan lagi. Satu persatu kubu oposisi yang pernah menentangnya kini sudah sepihak dengan Raja Tadohe. Pertama kelompok Bolaang yang pernah menolak Tadohe sebagaimana saya kutip dalam Ridel kemudian kelompok Batasina.
Sementara itu konstalasi regional terus bergerak dinamis, Kaicil Tulo yang tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaanya atas Manado, berhasil menjadikan putranya sebagai Sultan Ternate atas bantuan Spanyol. Tanda awas untuk Raja Manado, Tadohe. Mengutip dari M. Adnan Amal : 'Tahun 1627, putra dari kaicil Tulo yang bernama Kaicil Hamzah di lantik menjadi Sultan Ternate. Kaicil Hamzah saat di Manila di baptis dengan nama Don Pedro Acuna. Sultan Hamzah saat di dukung oleh Spanyol menuju Tahta Sultan Ternate, namun situasi berbalik, saat akan di Lantik Kaicil Hamzah Kembali masuk Islam. Saat menjadi Sultan, Hamzah berpihak ke Belanda dan melepaskan diri dari Pengaruh Spanyol. Beberapa saat setelah Kaicil Hamzah di lantik menjadi sultan, di bentuk Ekspedisi Kaicil Ali untuk menundukan Daerah daerah seberang laut termasuk Sulawesi, dengan kekuatan 27 Juanga dan pasukan 1500 personil, tahun berikutnya di perbesar hingga 30 Juanga'. Ekspedisi Kaicil Ali tidak sampai di Sulawesi Utara tahun 1632 Kaicil Ali wafat di Buton.
Kini Ternate benar-benar terlepas dari genggaman Spanyol. Ternate dibawah Pemerintahan putra Kaicil Tulo yang bersekutu dengan Belanda mulai mengarahkan pengaruhnya di wilayah yang dipengaruhi oleh Spanyol. Dan Raja Tadohe harus memperkuat aliansi guna melawan pengaruh Ternate. Raja Tadohe yang sudah lama bersekutu dengan Siau juga berupaya menjalin persekutuan langsung dengan pihak Spanyol, apalagi di tahun 1630-an Tadohe mulai menghadapi faksi faksi lokal.
Kesan kurang baik dari saat para misionaris berkunjung ke manado di tahun 1620, berubah total demi menjalin aliansi dengan Spanyol. Tahun 1638 (menurut Aritonang;1637) Raja Tadohe bersama keluarganya melakukan pertobatan Kristen. Ratu bersama anak-anaknya dibaptis.
Dalam Documenta Malucensia pada bagian Surat laporan Tahunan, Scholastic Diogo Da Fonseca, Commissioned dari Fr. Provincial,untuk Fr. Muzio Vitelleschi, General, Rome (Desember 1644), peristiwa tahun 1638 yang terjadi atas keluarga kerajaan Manado dilapor kembali. Isinya adalah menyebutkan bahwa, ratu dan anak-anaknya, pada tahun masehi 1638, meninggalkan kehidupan berhala (dibaptis dan menjadi Kristen). Kepada raja yang telah setia pada waktu itu, kembali memperbaiki pernikahannya di depan Gereja.
Keterangan lain yang juga penulis kutip dalam Documenta Malucensia, penyebutan Ratu Bulan untuk Isteri Raja Manado ini. Berikut kutipannya : “Entre los que se bautizaron huvo una mora de mucha importancia, por ser madre del maestro de campo desta y isla y cunado del rey della, y de la reyna de Bolan,”. artinya : Diantara mereka yang dibaptis ada seorang Moor (Islam) yang sangat penting. karena menjadi ibu dari pemimpin di pulau ini dan ipar dari raja serta ratu dari Bolan. (Bolan yang dimaksd adalah Bolaang).
Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink dalam buku A History Of Christianity in Indonesia juga menyebutkan perihal ini tapi tidak mematok tahun 1638 : ''dalam tahun 1637 putra mahkota Manado dan Siau di kirim ke Ternate untuk mendapatkan didikan Jesuit. Manado di kunjungi dari Siau dan di tahun yang sama ratu dan anak anaknya dibaptis''.
Isteri raja yang di tercatat dalam Documenta Molucensia dengan sebutan Reyna de Bolan ( Ratu Bolaang ) atau oleh Aritonang di sebut sebagai Queen of Manado, pada dasarnya gambaran kedudukan domisili raja. Tadohe selain Raja Bolaang (Rey de Bolan) juga sebagai Raja Manado (Rey de Manado). Peristiwa ini terjadi di saat Kaicil Tulo telah wafat. Andaikan Kaicil Tulo masih hidup maka usianya sudah sangat uzur yakni 111 tahun. Raja dan keluarga raja ini dipastikan Raja Manado yang di temui Jesuit tahun 1620, bukan Kaicil Tulo tapi Tadohe.
Untuk menghadapi kemungkinan agresi dari putra Kaicil Tulo yang telah menjadi Sultan Ternate (Sultan Hamzah) serta menghadapi pemberontakan lokal, Raja Tadohe berupaya keras menjalin hubungan dengan Spanyol. Untuk meningkatkan kepercayaan Spanyol terhadap Raja Tadohe, Raja Manado ini mengirim pewaris tahtanya ke Ternate guna mendapatkan didikkan Spanyol sebagaimana catatan dalam Documenta Molucensia. Siapa yang dikirim Tadohe ini? Namanya adalah Moco.
Lebih lanjut laporan ini menyebutkan, selain Raja Manado, ada 40 liga dari Ternate dikirim untuk meminta bantuan Gubernur D. Pedro de Mindiola melawan beberapa pemberontaknya. Raja Manado (Tadohe) juga mempercayakan ahli waris mudanya yang berusia 16 hingga 17 tahun untuk dibina bersama orang Spanyol, dan meminta para Bapa untuk membaptiskan mereka. Disebutkan juga bahwa Moco dibesarkan di rumah Jesuit bersama dengan pangeran Siau yang seusianya.
Dari catatan di atas, di peroleh informasi antara lain, Raja Manado menghadapi pemberontakan di wilayahnya. Raja Manado memohon bantuan dari pihak spanyol untuk menghadapi pihak oposisi yang memberontak. Untuk memperlihatkan harapan akan bantuan dan kepercayaan pihak Spanyol dia mengirim putra pewarisnya yang berusia dari 16 hingga 17 tahun bersama pangeran Siau. Pangeran Siau (Don Ventura) dan Pangeran Manado ( Moco ) umurnya sebaya dan dibesarkan dalam binaan Spanyol. Keakraban antara Pangeran Siau (Ventura) dan Pangeran Manado (Moco) berlanjut hingga kelak mereka berkuasa menjadi Raja. Dikabarkan pula bahwa orang-orang melayu banyak yang lari menyelamatkan diri dan mereka di selamatkan oleh kapal Galleon.
Sampai Tahun 1640-an hubungan Manado dengan Spanyol di Ternate terjalin erat. Menurut Lopez, terlepas dari segalanya, kehadiran tentara di Manado tetap ada, karena meskipun langka dan terputus-putus, pasti selalu ada garnisun yang menjadi saksi aliansi antara Manado dan Spanyol. Jika garnisun ini tidak ada,setidaknya terjalin komunikasi reguler antara Ternate dan Manado agar tidak merusak aliansi.
Namun memasuki tahun 1642, terjadi konflik besar dengan orang orang Spanyol dengan rakyat kerajaan Manado. Lopez menulis, pada tahun 1642 beberapa desa (disebut Meados) dari kerajaan Manados bangkit melawan Spanyol, tampaknya karena perilaku orang-orang Spanyol di pedalaman dan dataran tinggi. Sekitar 22 orang Spanyol terbunuh dalam sebuah insiden di pedalaman. Dan Jesuit menjadi martir dalam konflik tersebut.
Raja Manado yang khawatir akan ada aksi balas dendam dari Spanyol, kini berupaya membangun aliansi baru dengan pihak Ternate-Belanda. Ia lantas mengutus delegasi ke Ternate meminta bantuan dari Belanda untuk menghadapi Spanyol di tahun 1643. David Henley menyebutkan, Catatan VOC, bagaimanapun, menunjukkan bahwa meskipun utusan dari Sulawesi Utara memang mencari perlindungan Belanda dari musuh Spanyol pada tahun 1643 dan 1654, mereka datang dua kali atas nama raja Manado dan Bolaang, bukan (atas nama) komunitas dataran tinggi (suku-suku alifuru).
Stella Mantiri dalam bukunya berjudul Datoe Binankang, Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara, menulis : ’Untuk mencegah jangan sampai orang Spanyol yang berada di Manila membalas dendam maka Raja Manado pun meminta bantuan belanda di Ternate, maka hal ini di laporan oleh Wouter Seroijen pada tanggal 21 April 1644 kepada Gubernur General dan dean pensaheta bahwa bulan februari muncul di benteng melayu Ternate sebuah perahu kecil dari Bandar Manado, membawa 8 awaknya yang atas nama Raja mereka memintakan kepada belanda dan Ternate perlindungan menghadapi bangsa Spanyol’.
Utusan Raja Manado yang berangkat sekitar akhir tahun 1643 tiba di Ternate bulan Februari 1644, dan diterima secara resmi 2 bulan kemudian. Melihat waktu pengiriman para utusan kerajaan Manado di tahun 1643 maka dipastikan Raja Manado yang di maksud adalah Raja Tadohe yang bernama Kristen Don Fernando, ayah dari Raja Loloda Mokoagow. Upaya kerja sama dengan Belanda melawan Spanyol inipun dilanjutkan oleh Raja Loloda Mokoagow Putra dari Raja Tadohe.
Dari uraian David Henley ini, bisa di lihat peliknya situasi saat itu. Suku suku alifuru di pedalaman terpecah dukungannya, kelompok kelompok alifuru lain (Tonsea, Tombulu dan lain lain ) berada dengan barisan Raja Manado-Bolaang melawan Spanyol yang di dukung oleh kelompok kelompok alifuru dari Tondano.
Tondano sejak pecah perlawanan melawan Spanyol sejak tahun 1642 hingga tahun 1660 masih menjadi loyalis utama Spanyol di pedalaman melawan Manado-Bolaang yang didukung oleh Belanda-Ternate. Dikatakan Lopez : ‘Padahal benar Belanda berhasil membuat Manado pada tahun 1660 putus dengan Spanyol, beberapa suku pedalaman masih berbaris di samping Spanyol. Mereka adalah penghuni La Laguna atau Tondano, sekitar 30 kilometer dari Manado'.
Di wilayah pedalaman, sesama suku alifuru sering terjadi pertikaian, ini nampak pada perlawanan terhadap Spanyol tahun ini, ketika suku Tonsea, Tombulu dan lain-lain berbaris bersama Raja Manado – Bolaang, Tondano bagian dari “anak sungai’’ Suku Tonsea memperkuat posisinya bergabung dengan Spanyol. Ini sebagaimana ulasan Lopez : ’Alasan keterlibatan ini dapat ditemukan dalam berbagai alasan, yang utamanya adalah posisi mereka sebagai anak sungai dari kelompok etnis Tonsea. (lebih jauh ke utara dan bertanggung jawab atas Pemberontakan anti-Spanyol tahun 1644), dengan demikian aliansinya dengan Spanyol itu akan memperkuat posisinya di depan para pemuka suku’.
Tahun 1644 merupakan tahun yang paling bersejarah untuk Manado-Bolaang. Perlawanan Sporadis Kerajaan Manado bersama rakyatnya yang terdiri dari berbagai macam suku alfur pedalaman melawan Spanyol yang di dukung oleh suku utama di pedalaman (Tondano). Perang terbesar yang terjadi di tahun ini, mengutip dari Lopez : “garnisun Spanyol masih berada di Manado sekarang akan menghadapi pemberontakan lokal paling kejam sampai saat ini: pemberontakan 10 Agustus 1644”.
BERSAMBUNG ( Ke Bagian 4)
Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara. 2008
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia. 2008
- Campo Lpez, Antonio C., "La presencia espa- ola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento espaol en el norte de Sulawesi ante la oposicin local y la amenaza holandesa (1606 - 1662). 2017
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies. 1992
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bolaang_Mongondow
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia III. 1984
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa . 1863
- P.J.B.C. Robid Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian "Buk Ouman Sinomongondou''
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow. 1949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H