Mohon tunggu...
Patra Mokoginta
Patra Mokoginta Mohon Tunggu... Lainnya - Warga kotamobagu

Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Raja Raja Manado abad XVII (bagian 3)

29 September 2021   10:41 Diperbarui: 2 Oktober 2021   21:31 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Kotabunan, Tempat terdamparnya Pangeran Tadohe. Foto Koleksi Pribadi

Sambungan.............

Berbeda dengan di Manado saat Tadohe ditunjuk Ayahnya mewarisi tahta yang menimbulkan pertentangan antar pangeran hingga membentuk kubu oposan internal kerajaan, di Mongondow Tadohe yang telah melalui fit and propertest dari Dow, melenggang mulus dan dilantik secara adat Mongondow. Dow adalah sosok perempuan kharismatik yang memimpin pelantikan itu tanpa melahirkan kubu oposan  termasuk masyarakat Bolaang (pesisir pantai utara) yang pernah menjadi oposannya di Manado saat mewarisi tahta Ayahnya, Mokodompit.

Setelah didaulat menjadi Raja Bolaang, Tadohe melakukan berbagai pembenahan. Terdiri dari reformasi birokrasi dan pembenahan di bidang sosial kemasyarakatan. Adat juga dilembagakan dan melahirkan pakta perjanjian antara golongan rakyat dan pemerintah atau dikenal dengan Paloko-Kinalang. 

Berikut ini saya kutip sedikit hasil reformasi dan kebijakan-kebijakan yang lahir di masa Tadohe dikutip dari catatan Dunniebier dalam Over de Vorsten van Bolaang Mongondow:

  • Als de Radja op reis gaat naar Kotaboenan of naar Bolaang, moet hij worden gedragen, hij mag niet te voet of te paard gaan. Terjemahan bebasnya; ketika Raja melakukan perjalanan ke Kotabunan atau ke Bolaang, Raja harus ditandu (dipikul), tidak boleh berjalan kaki atau menunggang kuda. (Saat aturan ini dibuat, Tadohe masih tinggal di Tudu In Bakid, desa Pontodon saat ini).
  • De Radja heeft het recht n huis te Bolaang (aan de kust) en n in Mongondow te laten maken.Terjemahan bebasnya; Raja berhak atas satu rumah di Bolaang (di pantai) dan satu rumah di Mongondow (dataran tinggi/pedalaman).
  • Wanneer de Radja sterft -of zijn vrouw of een kind of kleinkind van hem -, dan moet geheel Bolaang Mongondow hem eren door het zingen van klaagliederen , door erewachten en door het dragen van zwarte kleren. Niemand mag dan rode kleren dragen. Ook mag men dan de lamp niet opsteken voor acht uur's avonds. Terjemahan bebasnya; Ketika Raja meninggal—baik istri, anak atau cucunya—maka  semua orang Bolaang Mongondow harus menghormatinya dengan menyanyikan ratapan, memakai pakaian berwarna hitam, tidak diperbolehkan memakai baju merah, tidak boleh menyalakan lampu selama delapan jam pada malam hari.
  • Wanneer de Radja buitenshuis komt, moet hij steeds een (grote hoed) dragen, want als hij dit niet doet, kan het gewas niet welig groeien. Terjemahan bebasnya; Ketika Raja keluar dari rumah, dia harus selalu menggunakan (topi besar), karena jika dia tidak melakukan ini, tanaman tidak bisa tumbuh subur

Di awal periode pemerintahannya, Raja Tadohe fokus melakukan pemebanahan sebagaimana dikutip dalam Dunnebier: setelah lembaga-lembaga tersebut di atas dikukuhkan dengan sumpah , Radja Tadohe' memberikan perintah yang diperlukan mengenai pembangunan rumah, pembangunan jalan desa, dan arahan untuk membuat kebun padi juga jagung.

Selain memperkuat ekonomi kerajaan, Tadohe mulai mengembangkan angkatan perang kerajaan Bolaang. Kekuatan angkatan perang Bolaang awal abad 17 sebagaimana dikutip pada Lopez menyebutkan: Di sisi lain, Bool (Bulan atau Bohol), tiga hari perjalanan dari selatan Cauripa,  telah mampu membuat mesiu sendiri. Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-17, hegemoninya di daerah itu meningkat, membentuk apa yang di masa depan disebut Bolaang Mongondow. 

Persenjataan angkatan perang berbahan mesiu ini menjadikan kerajaan Bolaang mampu memperkuat hegemoninya di jazirah utara Sulawesi. Aliansi klasik dengan Siau juga terus dipertahankan Tadohe dengan memanfaatkan hubungan kekeluargaan. Tradisi lisan Sangihe menyebutkan ibu dari Tadohe adalah cucu dari Lokonbanua II, selain itu salah satu isteri Tadohe berasal dari Tabukan, anak Raja Tabukan yang bernama Boki Rasingan.

Tadohe Kembali Menjadi Raja Manado

Dengan kekuatan armada perang yang telah terkonsolidasi, saatnya bagi Tadohe kembali ke Manado. Tujuannya jelas, ia hendak menuntut tahtanya yang pernah kandas akibat ulah para oposan yang diperparah dengan kedatangan Kaicil Tulo dari Manila ke Manado dan mendudukinya.

Beberapa saat sebelum kedatangan Tadohe menuntut tahtanya, Kaicil Tulo rupanya sudah digoyang lebih dulu oleh faksi yang pernah menolak tahta Tadohe. Tradisi di Mongondow menuturkan, faksi yang rupanya masih subur ini adalah faksi warisan yang oleh Riedel ditulis Loementoel atau Loemantoet atau Loemoentoek (Lumantut atau Lumuntuk; bhs.Mongondow),Tapi itu tak masalah bagi Tadohe. Armadanya telah cukup kuat dan terkonsolidasi. Kaicil Tulo yang uzur seolah telah menantikan Tadohe yang mendapat perlawanan dari faksi bajak laut Jailolo, Loloda, Makian, yang mulanya mendukung Kaicil Tulo kemudian terkonsolidasi oleh warisan Lumantut. Namun mereka berhasil dikalahkan Tadohe.

Selanjutnya adalah Tadohe memusatkan pemerintahannya di daratan besar, yang berdekatan dengan sungai tempat domisili mantan Raja Manado, Kaicil Tulo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun