Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Worklife Spirituallity Pengaruhi Machiavelli, Percaya?

22 Januari 2022   07:32 Diperbarui: 22 Januari 2022   07:47 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Integritas SDM sangat dibutuhkan untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan. Salah satunya yaitu melalui sifat dan attitude SDM. Hampir sepertiga bagian waktu karyawan dihabiskan dilingkungan kerja.

Istilah 9 to 5 tepat untuk menggambarkan peliknya kehidupan seseorang di tempat kerja. Selain dilingkungan keluarga, sekolah dan teman bermain, karakter SDM dibentuk melalui keseharian di tempat kerja. 

Salah satu bentuk tanggung jawab perusahaan adalah membentuk seseorang menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya, berkomitmen, memiliki jiwa leadership yang baik, multitalent, mampu meregenerasi talenta yang dimiliki dan memiliki kemampuan manajerial yang baik. 

Membangun talenta berintegritas tinggi bukan hanya tanggung jawab pemimpin atau human capital/personalia.Ternyata workplace spirituallity turut ambil andil. Mengapa demikian? Mari kita pahami secara runut!

Apa itu Workplace Spirituallity?

Spiritualitas melihat kedalam batin menuju kesadaran akan nilai-nilai universal, sedangkan agama formal melihat keluar menggunakan ritus formal dan kitab suci. Dimensi spiritualitas manusia mulanya kurang diterima dalam dunia kerja. 

Hakikatnya dunia kerja hanya melibatkan kegiatan bisnis, transaksional dan profesionalitas. Konsep spiritual dalam dunia kerja perlahan diterima karena aksi publikasi jurnal dan konferensi-konferensi yang bertema workplace spirituallity. Konsep workplace spirituallity ini mulai tampak di negara Amerika Serikat secara mondial.

Tekanan kompetisi global telah  membuat pemimpin perusahaan berpikir bahwa kreativitas karyawan dibutuhkan untuk mengekspresikan diri secara penuh dalam bekerja dan hal ini akan terjadi jika pekerjaan tersebut dirasa bermakna bagi karyawan. Workplace spirituality menjadi harapan baru untuk terjadinya perbaikan moral, etika, nilai, kreativitas, produktivitas dan sikap kerja.

Gagasan Workplace Spirituallity ini dikembangkan oleh Maslow pada tahun 1970. Maslow melihat pekerjaan hanyalah gerakan yang bersifat mekanistik tanpa adanya pemaknaan. 

Sejatinya, manusia selalu mencari pemaknaan dan hakikat kesejatian diri. Indikator dimensi yang dapat digunakan dalam menerapkan konsep workplace spirituallity adalah arti dari kerja, bagaimana rasanya menjadi bagian suatu perusahaan, dan nilai keseimbangan setiap aspek pekerjaan. 

Jika pekerjaan itu terasa bermakna dan mengikat secara emosional untuk karyawan, maka ia akan memiliki komitmen terhadap perusahaan dan komunitas yang menaungi.

Jika komitmen seorang karyawan sudah terbentuk melalui dimensi konsep workplace spirituallity, maka kemungkinan untuk mengundurkan diri, keluar dari pekerjaan akan sangat minim.

Bentuk workplace spirituallity yang dapat diterapkan dalam lingkungan kerja

1. Strong sense of purpose 

Sebenarnya apa yang mau dicari ketika karyawan bekerja? Mencapai tujuan. Tujuan yang mana? Tujuan perusahaan dan karyawan. Keduanya harus saling bersinergi antara hak dan kewajibannya, reward and punishment. Tujuan perusahaan mengejawantah melalui visi dan misi. Sedangkan tujuan karyawan berkarya dan mencari penghidupan.

2. Trust and Respect 

Bagaimana nilai keselarasan akan tercipta jika tidak ada konsep mitra kepercayaan? Kondisi yang harmonis dan budaya kerja yang baik akan tercipta jika saling percaya, jujur dan terbuka. Karyawan salah, harus berani mengakui kesalahan dan jangan mencari pembenaran apalagi lempar kesalahan ke bagian lain.

Begitupun sebaliknya, fair jika seorang pimpinan salah, mengakui kesalahan dan sama-sama saling memperbaiki diri serta mencari solusi. Jika nilai keselarasan ini tercipta, karyawan dan organisasi akan memberikan umpan balik yang serasi dan dapat berjalan bersama.

3. Humanistic Work Practices

Komponen organisasi tersusun dari 6M yaitu Man, Money, Method, Machine, Material dan Market. Salah satu komponen yang paling dinamis dan kompleks adalah manusia. 

Secara psikologis, manusia membutuhkan pengakuan, penghargaan, perlindungan, self esteem dan dukungan manusiawi lainnya. Jangan abaikan unsur psikologis dan kemanusiaan jika spiritual dalam organisasi ingin berkembang dengan baik. 

Karyawan perlu mendapatkan perlindungan dalam bentuk jaminan sosial,  keamanan, jam kerja yang fleksibel, perlakuan baik, dihargai dan saling menghargai, percaya dan saling percaya. 

Jika selama ini organisasi memiliki pemimpin yang selalu bermain strategi/bermain catur untuk mendongkrak motivasi bagi karyawan, evaluasi lagi caranya. Terkadang niat yang tersirat itu tak nampak dan tidak mudah dimengerti. Jika perlu, evaluasi pula pemimpin tersebut. 

Cara ortodoks tak cukup menentang paradoks. Jangan sampai ada kubu yang saling berseberangan karena cara-cara yang diterapkan untuk memotivasi tidak tepat. Baik belum tentu benar, benar belum tentu baik.

4.Toleration Of Employee Expression

Organisasi yang menerapkan konsep workplace spirituallity akan memiliki budaya kerja yang baik dan sikap toleransi serta sukarela untuk berbagi. Misalnya ketika ada teman yang sakit, mereka akan merasakan tenggang rasa, empati dan simpati, saling mengasihi. 

Memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung untuk kebaikan bukan bersatu padu untuk saling menghancurkan. Perhatikan etika dalam pergaulan, toleransi dan empati bukan berarti mengesampingkan etika antara privacy dan kepentingan bersama. Atasan harus mengerti privacy bawahan begitupun sebaliknya.

***

Membangun konsep workplace spirituallity tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi dapat dilakukan. Pada level pertama, pemimpin dapat menanamkan nilai kebenaran yang universal, misalnya tentang tidak mencuri, tidak boleh saling menghina, menghargai hasil pekerjaan orang lain, jangan mengeluarkan kalimat serapah dan sampah, tidak boleh licik. 

Setelah nilai (value), karyawan akan memiliki keyakinan (belief) asalkan pemimpin juga melaksanakan nilai universal yang telah disepakati. Misalnya, ketika karyawan tidak boleh licik, maka pemimpin harus mencerminkan sikap yang tidak licik. 

Jika ingin mengubah nilai menjadi keyakinan, maka contoh dan konsistensi untuk melakukan antara kedua belah pihak haruslah berjalan sinergis. Jika keduanya tak seimbang, jangan berharap umpan balik dan sikap positif dalam organisasi akan tercipta. Jika karyawan bobrok, maka pemimpinnya bobrok. Bukankah ikan busuk dari kepalanya?

Organisasi perlu memiliki spiritual untuk meningkatkan performa kerja, mengubah sikap individu,  menghindari terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang, dan menjaga reputasi organisasi. 

Sama halnya dengan organisasi yang harus memiliki spiritual, karyawan juga harus memiliki spiritual dan kepribadian yang baik. Jika pemimpin menanamkan cara dan nilai yang salah, jangan diaplikasikan dalam bekerja tetapi diingatkan diberitahu nilai kebenarannya.

Bisa jadi, krisis SDM yang dialami secara berlarut dan tidak terselesaikan dengan cara-cara lama ternyata akar masalahnya pada spiritual yang hilang atau bahkan tak pernah diterapkan sama sekali.

Karena, kesesuaian nilai spiritual organisasi dan nilai spiritual karyawan akan menghasilkan persamaan persepsi, sejalan dan seirama serta keterlibatan dalam operasionalisasi suatu organisasi.

Lalu apa hubungannya workplace spirituallity dengan bangkitnya sifat machiavelli?

Saya secara pribadi mengatakan bangkitnya sifat machiavelli dengan alasan setiap diri memiliki sisi gelap dan terang, baik dan buruk. Semuanya dapat dikontrol dan dibuat agar tidak mencuat merugikan orang lain. 

Machiavellian adalah pandangan seorang filsuf Italia, Nicollo Machiavelli (1469-1527). Sifat machiavellian mengarah pada perilaku negatif dengan memanipulasi dengan cara tidak etis untuk mencapai tujuan.

Apa hubungannya workplace spirituallity dengan bangkitnya sifat machiavellian?

Sekali lagi perlu ditekankan, spiritual itu tidak hanya berkaitan dengan dogma agama. Berbicara spiritual, lantas saja organisasi langsung merekrut jemaah gereja atau jamaah masjid dan alim ulama. 

Spiritual berkaitan dengan kondisi kebatinan dalam melihat kondisi yang universal. Perangai yang baik, lingkungan kerja akan baik. Satu kuncinya, spirit yang dibawa oleh organisasi harus sejalan dengan nilai universal yang disepakati.

Bisa jadi, karyawan yang memiliki perangai baik, berubah menjadi kurang baik karena mengikuti spirit atau budaya yang kurang baik dalam suatu organisasi. 

Begitupun organisasi yang memiliki spirit yang baik, akan memilih karyawan yang memiliki perangai baik. Jangan ada tuntutan yang tidak seimbang antara organisasi dan karyawan.

Pernah mendengar karyawan kena mental gara-gara diperlakukan tidak baik oleh teman kantor, atasan dan organisasinya yang kurang memperhatikan unsur humanis? Ada yang bertindak memilih resign dan mencari pekerjaan yang lain, ada juga yang memilih untuk membalas dengan perlakuan buruk karena sifat Machiavellian telah bangkit dan menguasai diri? Sesederhana itu memahami hubungan workplace spirituallity dan Machiavellian.

Itulah pentingnya retreat atau pelatihan spiritual dan pemahaman psikologis bagi karyawan. Bentuklah kesadaran bukan paksaan yang berakhir pada tindakan machiavellian. Jangan sampai karyawan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan, makna lain tidak didapatkan seperti kebutuhan psikologis dan fisiologis. 

Bogor, 22 Januari 2022 

Salam, 

Sri Patmi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun