(Sabdo Palon/Ramalan Jayabaya/Semar Bodronoyo/Noyo Genggong)
Sejarah dan folklor yang hidup dalam kearifan lokal Nusantara yang menjadikan kaya akan biodiversitas dan keragaman. Anugerah ini patut disyukuri karena perbedaan telah menyatukan dalam naungan tempat yang bernama Nusantara. Kisah tentang Sabdo Palon, Uga Wangsit Siliwangi, Ramalan Jayabaya, Kalki Avatar, Jesus The Messiah, Imam Mahdi, Satria Piningit, Ratu Adil, dan cerita tentang akhir zaman lainnya. Untuk mengetahui Sabdo Palon, ada baiknya dimulai dari Grojogan Sewu. Grojogan Sewu bukan hanya sekedar nama air terjun di Tawang Mangu, Solo, nama tersebut menjadi nama gelar dan tempat tapa Brata untuk meraih ilmu kesempurnaan. Grojogan Sewu merupakan sais dokar. Kisah awalnya dimulai saat ia berkenalan dengan pengembara bernama Rangga Seto yang menumpangi dokarnya.
Melihat pengembara itu menggunakan jubah dan sorban putih berbeda dengan adat Jawa, ia langsung bertanya pada pengembara itu.
"Dari mana Anda berasal?"
Ronggo Seto menjawab pertanyaan tersebut
"Saya ini saudara kamu, karena semua manusia bersaudara. Karena kita anak keturunan Adam".
Mendengar jawaban tersebut, Grojogan Sewu tersentuh dan bertanya siapa Adam? Ronggo Seto menjawab Adam adalah nenek moyang kita. Nenek moyang semua manusia. Mendengar jawaban tersebut, Grojogan Sewu semakin penasaran dan ingin belajar pada Ronggo Seto. Alasannya ingin belajar karena ia ingin cerdas, ingin pandai. Melihat tekad dan keyakinan Grojogan Sewu untuk belajar, akhirnya Ronggo Seto menerimanya sebagai murid dan pengajaran dimulai dari Aji Kalimosodo. Grojogan Sewu memiliki kecerdasan yang tinggi, mudah mengerti dan cepat memahami. Pada pengajaran yang terakhir, Grojogan Sewu diperintahkan untuk semedi di suatu tempat. Ronggo Seto menunjukkan goa dibalik air terjun. Grojogan Sewu menyanggupi perintah tersebut sekaligus perpisahan keduanya.
Pada saat itu, Ronggo Seto berpesan pada Grojogan Sewu, suatu saat mereka akan bertemu kembali. Jadilah insan yang bermanfaat dan menegakkan keadilan.
Saat menoleh dan mencari air terjun tersebut, air terjun tidak terlihat. Kisah ini seperti kisah Prabu Kian Santang ketika diperintahkan oleh Sayyidina Ali untuk mencari bukit dan akhirnya tiba di Bukit Godog, Garut. Setelah semedi, sempurna aji kalimosodonya. Selain berguru pada Ronggo Seto, Grojogan Sewu juga belajar pada Semar Bodronoyo dan diberikan Cemeti Amarasuli yang berbentuk seperti gagang tongkat yang panjangnya 30cm. Jika senjata ini digunakan maka cahayanya akan memancar seperti pedang atau cemeti.
Lalu, siapakah Grojogan Sewu?
Grojogan Sewu adalah pembimbing raja-raja Nusantara dan para wali. Karena ia diberikan mandat oleh Semar Bodronoyo untuk mengajarkan hikmah dan ilmu kesempurnaan.
Siapakah yang pernah belajar kepada Grojogan Sewu?
Raja-raja Nusantara diantaranya adalah Prabu Brawijaya yang moksa di Gunung Lawu dan Prabu Siliwangi Raja Pajajaran yang tilem ngahiyang/fana Fillah. Inilah benang merah dan hubungan Sabdo Palon, Uga Wangsit Siliwangi. Grojogan Sewu adalah Sabdo Palon juga Noyo Genggong. Grojogan Sewu adalah gelar bagi orang yang mampu mengajarkan ilmu, mengucurkan ilmu laksana air yang mengucur. Setiap ucapan yang dituturkan pada muridnya disebut Sabdo. Palon artinya filosofi atau hikmah yang dalam.
Setiap Grojogan Sewu mengeluarkan sabda-sabdanya dihadapan raja-raja nusantara itu dilantunkan seperti tembang atau syair yang merdu. Ada intonasinya dan diiringi oleh gerakan tubuh maupun tangannya (gaya mengajar multiple intelligent). Jadi nuansa pengajarannya itu enak didengar dan dilihat, sehingga mudah diingat dan dipahami.
Jadi Noyo Genggong adalah gaya mengajarnya Grojogan Sewu ketika mengucapkan sabdanya seperti melantunkan tembang dan diiringi gerakan anggota tubuh (pendekatan seni budaya). Kurang lebih seperti gaya Konghucu memberika pengajaran.
Prabu Siliwangi menghilang di bagian selatan Kerajaan Pajajaran. Lalakon Raja Brawijaya meninggalkan cerita tentang Sabdo Palon, Lalakon Prabu Siliwangi meninggalkan cerita Uga Wangsit Siliwangi. Â
Cerita Sabdo Palon : Kelak dia akan kembali mengasuh pemimpin nusantara. Cerita Uga Wangsit Siliwangi adalah temui Ki Santang karena kelak dari keturunan-keturunan yang pergi ke Barat-lah yang akan mengingatkan saudara-saudara sedaerah dan yang sependirian.
Tafsir Uga Wangsit Siliwangi dan kebangkitan nusantara dengan tokoh kunci 1 : Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong belajar kepada Ronggo Seto dan diperintahkan mencari Goa dibelakang air terjun untuk bersemedi yang kelak air terjun itu bernama Grojogan Sewu.
Tokoh Kunci 2 : Ki Santang (Syech Sunan Romat Suci Prabu Kian Santang) abad 14 M atau Rakean Sancang (abad 7 M) yang belajar dan diperintahkan untuk mencari tempat untuk berdzikir dan bertafakur, yang akhirnya Ki Santang menemukan bukit didaerah Garut diberi nama Bukit Godog Suci.
Kisah Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi tentang pemimpin nusantara di akhir zaman adalah ciri dari waskitanya Raja Brawijaya V dan Prabu Siliwangi VI. Kewaskitaan tersebut diajarkan oleh Syech Grojogan Sewu. Grojogan Sewu diajar oleh Ronggo Seto dan Ranggo Seto diajar oleh Semar Bodronoyo.
Cerita Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu naskah skenario dengan sumber yang sama walaupun dari tempat yang berbeda yaitu Majapahit dan Pajajaran. Kedua kisah itu bak gayung bersambut yang berujung kepada dua tokoh Ronggo Seto dan Semar Bodronoyo.
Secara genealogis, Prabu Siliwangi VI di Kemaharajaan Pajajaran dan Brawijaya V di Kemaharajaan Purihita (Majapahit) sebenarnya juga masih saudara sepupu, satu keturunan dari Prabu Jaya Darma bin Prabu Darmasiksa dari Kerajaan Sunda Galuh (cikal bakal Pakuan Pajajaran dan Majapahit).
Mengapa Prabu Siliwangi memerintahkan para pengikutnya yang pergi ke Barat untuk menemui Ki Santang, padahal konon katanya hilangnya Prabu Siliwangi karena terdesak Ki Santang? Tidak masuk akal bukan?
Menurut Ahmad Y. Samantho, cerita pemaksanaan agama Islam oleh Kian Santang kepada bapaknya Prabu Siliwangi III (Sri Baduga Maharaja/Raden Pemanah Rasa) adalah mitos yang sengaja diciptakan kolonial Belanda untuk kepentingan devide et impera kepada Nusantara.
Dialah "Budak Angon" dan Pemuda Berjanggut yang diasuh oleh Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong dan Ki Santang dan dibelakangnya didampingi oleh Ronggo Seto pemilik kuda putih dan pedang (simbol kalki avatar) serta didampangi Guru Besar Semar Bodronoyo.
Budak Angon dan Pemuda Berjanggut menguasai 4 unsur (api, angin, air dan tanah) karena hakikatnya semua penciptaan berasalah dari 4 unsur tersebut. Mengapa dia dapat menguasainya? Karena dialah pancernya, menemukan sejatinya diri (sedulur papat, kelima pancer).
Hakikatnya api adalah cahaya merah, angin adalah cahaya kuning, air adalah cahaya putih, tanah adalah cahaya hitam. Merah hakikatnya adalah Abu Bakar, Kuning adalah Umar, Putih adalah Usman, hitam adalah Ali.
"Akan datang dari sulbi ini (Ali Bin abi Tholib) seorang pemuda yang akan memenuhi bumi dengan keadilan. Maka apabila kamu meyakini yang demikian itu, hendaklah kamu turut menyertai pemuda dari Bani Tamim itu. Sesungguhnya dia datang dari sebelah timur dan dialah pemegang panji-panji Al Mahdi" (At-Tabrani)
Singkatnya Budak Angon dan Pemuda berjanggut adalah insan kamil, orang yang telah mengerti hakikat dirinya, mengetahui tasjid didalam dirinya, menjadi Hamba Allah yang terpuji, karena sudah mengetahui sejatinya syahadat dalam dirinya. Menjadi pancer akan menebarkan rahmat kedelapan arah mata nagin. Bukankah lambang Majapahit Siwa ditengah dan ada 8 batu merah delima pada kedelapan arah.
Lambang garuda ditengah dan 8 bintang didelapan arah. Delapan adalah Dalapan pada aksara Jawa berdasarkan filosofi aksara Jawa.
Da adalah Dumadining Zat Kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya)
La adalah Lir Handaya Paseban Sejati (Mengalirkan Hidup Semata pada Tuntunan Illahi)
Pa adalah Papan Kang Tanpa KIblat (Hakikat Allah yang ada di segala arah)
Na adalah Nur candra, Gaib Candra, Warsitaning Candara (pengharapan manusia hanya selalu ke Cahaya Illahi)
Jumlah aksara Jawa Dalapan :
Da = 6, La=10, Pa=11, Na=2
6+10+11+2 = 29, 2+9 = 11, 1+1=2
Mustika Merah Delima = Maraha Dalama
Ma adalah Madep Mantep Manembah Mring Illahi (Mantap dalam menyembah Illahi)
Ra adalah Rasa ingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)
Ha adalah Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci)
Da adalah Dumadining Zat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya)
La adalah Lir Handaya Paseban Sejati (Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi)
Ma adalah Madep mantep manembah mring Illahi (Mantap dalam menyembah Illahi).
ma = 16, Ra =4, Ha =1, Da=6, La=10, Ma=16
16+4+1+6+10+16 = 53, 5+3 = 8
Delapan/Dalapana = 2
Merah Delima/Maraha Dalama = 8
2 Simbol Zat dan Sifat
8 Malaikat Penjaga Arsy.
Delapan merah delima dalam lambang Majapahit menceritakan bahwa Gambar Shiwa adalah lambang pancer dalam diri manusia, sama seperti lambang dada Garuda Pancasila. Dalam konsep Sudan adalah ingsun yang menguasai 4 unsur tadi, merah delima disegala penjuru kemanapun kamu menghadap mantap dalam menyembah illahi.
Budak Angon dan Pemuda Berjanggut sejatinya adalah Aji Kalimasodo/Dua Kalimat Syahadat yang dapat menghancurkan gunung, yang dapat mensejahterakan ke penjuru alam, yang dapat memuliakan manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras maupun golongan. Dua itu yaitu menjadikan dirinya dicintai semua orang bahkan seluruh makhluk, karena dua itulah yang menjadikan welas asih, yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit baik zhohir maupun batin.
Dua itu ketentuan, saling berpasangan, hukum penciptaan. Dua itulah yang diajarkan oleh Rangga Seto, Grojogan Sewu/Sabdo Palon.
Kalimat Syahadat adalah Kun Fayakun, awal dan akhir alam semesta, dibuka dengan syahadat ditutup oleh syahadat, kalimat yang menjadikan. Itulah sejatinya Aji Kalimasodo, Sakti Mandraguna tanpa ajimat, sabdanya sebada mukti (saucap Nyata Saciduh Metu) apa yang diinginkan terkabul, karena dari Aji Kalimasodo itu akan menjadi 2 kembali yaitu Rohman dan Rohim (welas asih). Manusia yang mendapatkan Rohman dan Rohim dari Tuhan yang akan memimpin dunia ini dan mewarisinya. Sejatinya bukan Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang merubah dunia, Tapi Tuhan Yang Maha Esa yang Menghendakinya.
Ini adalah lalakon jagat, Tuhan-lah Maha Sutradaranya. Perbedaan adalah ketentuan, kerena perbedaan itulah cerita menjadi menarik, perbedaan bukan untuk bermusuhan, perbedaan supaya manusia mengenal pencipta. Karena kebenaran adlaah Tuhan yang memilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H