Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rumahku Laut

1 November 2020   14:32 Diperbarui: 3 Juli 2021   03:39 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Nelayan menerjang gelombang tinggi saat berangkat melaut di lepas pantai Pandanarang, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: KOMPAS.COM/MOHAMAD IQBAL FAHMI)

Laut masih seperti dulu. Tapi ombak pagi ini lebih berbuih dari kemarin. Aku berdiri di buritan perahu dan berharap Ayah lekas datang. Selepas tidur tadi, aku tak kuasa menolak ajakan Ayah untuk melaut. 

"Satu-satunya kekuasaanku yang kokoh adalah mengunyah ikan pindang hingga remuk ke tulang-belulang dan otak-otaknya," batinku, sebenarnya aku masih ingin tidur melanjutkan mimpi bertemu Zaliha, anak putri seorang penghulu yang menjadi buah bibir karena keelokan perangainya. 

Sang penghulu adalah sahabat Ayah juga. Sudah pasti aku bisa menaklukkan Zaliha, meski belum pernah mencoba mendekati. Aku punya modal sebagai putra Haji Ali Daeng Sandre, Kepala Desa Sapeken yang memimpin lebih dari 20 tahun. 

Kharisma Ayah masih segar kesohor. Namun, dielu-elukan warga tak membuat Ayah lantas tinggi hati. "Orang angkuh dan sombong itu musuh Allah Ta'ala," aku ingat betul taklimat Ayah yang satu ini. 

Di masa Orde Baru, kepala desa bisa dipilih berulang-ulang. Demikian pula Ayah yang sudah terpilih untuk ketigakali. 

Ayah bahkan menggantikan Kakek yang menjabat Kepala Desa Sapeken hingga tutup usia. Dalam banyak hal, Ayah dan Kakek punya kesamaan, terutama tentang kejujuran dan keteguhan menunaikan keadilan.

Setiapkali menasihati orang, tak jarang Ayah meminjam ungkapan Kakek: Tidak ada artinya uang dan ilmu segudang kalau hati bengkok.

Maka aku tak heran, Ayah masih saja mencari makan dari jala dan pancing sendiri. Hasil tanah bengkok yang salah gunanya diberikan negara sebagai tunjangan kepala desa ternyata juga tak masuk ke dompet Ibu. Melainkan mengalir ke kas sekolah taman kanak-kanak yang Ayah dirikan beberapa tahun lalu. 

"Kalau hanya mau jadi nelayan, mundurlah dari jabatanmu!" entak Ibu kala itu, saat sedang kesal karena tak kunjung bisa mengambil kembali perhiasan yang digadaikan. 

Ibu memang gemar menyimpan perhiasan emas sebagai tabungan. Ayah pun tak menampik pentingnya menabung buat keperluan tak terduga karena Ayah bukan Shah Jahan, sang penguasa Mogul, pengagum cinta dan keindahan yang kuasa membangun Taj Mahal demi sang pujaan hati. 

Ayah justeru bersusah payah menghidupi keluarga dengan menjadi nelayan sembari menjadi tauke ikan asin kecil-kecilan. Ayah yang sukar punya uang lebih karena banyaknya keperluan di luar urusan keluarga membuat masa kecilku tak mudah berleha-leha seperti anak orang kaya. 

Hingga dewasa, aku sudah terbiasa mengurus keperluan sendiri tanpa mengiba pada orangtua. Dan, setiap hari libur seperti hari ini, Ayah akan mengajakku melaut agar sebagian hasilnya bisa kupakai sendiri sesuka hati. 

Semenjak sekolah dasar, bagiku sudah lumrah tak berharap Ibu memberi uang jajan lebih. Ibu pun pantang melanggar amar Ayah yang melarang memanjakan anak-anaknya dengan melebih-lebihkan uang jajan. Setiap berangkat sekolah, uang sakuku hanya untuk membeli es lilin dan sepotong pisang goreng.

Meskipun, Ayah sangat sayang pada anak-anaknya, lebih-lebih pada ibu. Saking sayangnya, Ayah sering terdiam berjam-jam di samping Ibu hanya untuk mendengar tumpahan rasa kesal. 

Pernah sekali waktu, saat wajah Ibu sedang merah padam dan dengan suara tinggi menumpahkan rasa kesal, Ayah berucap perlahan kepadaku. "Diam dan dengarkan kalau perempuan sedang marah, itu sama nilainya dengan 10 gram emas."

Mendengar nasihat kocak Ayah kala itu, aku pun tertawa lebar. Meskipun wajahnya tampak garang, Ayah adalah penyuka humor. 

"Tapi kenapa Ayah lama sekali?" batinku lagi. Aku sudah tak sabar terkatung-katung menunggu di buritan perahu. 

Aku pun berniat turun dari perahu untuk mencari Ayah ke rumah. Kebetulan, rumah kami hanya berjarak puluhan langkah dari bibir pantai. Saat cuaca teduh, tidur di rumah berasa seperti rebah di atas perahu yang terapung tenang sambil menikmati embusan angin. 

Bagi anak tepi laut sepertiku, mendengkur di atas perahu bukan hal asing. Laut adalah rumahku juga. Aku bahkan menulis puisi yang begitu panjang tentang laut dan menyimpannya dengan baik. Puisi itu berjudul: Rumahku Laut.

Namun, sebelum niatku mencari Ayah tunai, secara tak terduga Ayah muncul dari pintu belakang rumah dan berjalan gontai ke perahu dimana aku sudah jemu menunggu. 

Perahu pun lepas tali tambat dan menuju ke timur, ke arah sebuah takat. Sepanjang perjalanan, aku duduk tak jauh dari Ayah yang memegang kemudi. Kencangnya angin tak terkira, membuat perahu mungil kami seperti berlari di atas ombak. Rasanya sedang berselancar. 

Tiba-tiba tempias ombak meloncat ke dalam perahu, aku tercekat pucat. Air yang tertinggal segera kubuang kembali ke laut menggunakan centong. Diam-diam aku mulai kuatir, namun melihat wajah Ayah yang tenang hatiku kembali kuat. 

Dan aku makin yakin, Ayah adalah lelaki perkasa yang tak mudah goyah menghadapi kerasnya tantangan kehidupan. 

"Kenapa Ayah tadi lama sekali?" tanyaku, sesaat setelah kami sampai dan melabuhkan jangkar di tepian takat Bungin Lure.

"Ibumu murka, ayah dengarkan dulu sampai reda."

"Murka masalah apa?"

"Masalah gelang yang dijual bulan kemarin."

"Buat apa menjualnya?"

Ayah menghela nafas. Bola matanya berat merengkuh wajahku. Aku pun memaklumi, sabar menunggu jawaban Ayah. Aku tahu, seberat apapun masalahnya, Ayah akhirnya akan bicara. 

"Saya menjual gelang ibumu buat biaya tambahan membangun mushola."

Sontak aku termangu. "Pantas wajah Ayah tak ceria", batinku. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku berharap hari ini rezki datang melimpah, sehingga Ayah bisa menyisihkan uang untuk mengganti gelang Ibu. 

Sejak hari ini, berapapun hasil melaut bersama Ayah, aku takkan meminta bagian sampai gelang Ibu tergantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun