Hingga dewasa, aku sudah terbiasa mengurus keperluan sendiri tanpa mengiba pada orangtua. Dan, setiap hari libur seperti hari ini, Ayah akan mengajakku melaut agar sebagian hasilnya bisa kupakai sendiri sesuka hati.Â
Semenjak sekolah dasar, bagiku sudah lumrah tak berharap Ibu memberi uang jajan lebih. Ibu pun pantang melanggar amar Ayah yang melarang memanjakan anak-anaknya dengan melebih-lebihkan uang jajan. Setiap berangkat sekolah, uang sakuku hanya untuk membeli es lilin dan sepotong pisang goreng.
Meskipun, Ayah sangat sayang pada anak-anaknya, lebih-lebih pada ibu. Saking sayangnya, Ayah sering terdiam berjam-jam di samping Ibu hanya untuk mendengar tumpahan rasa kesal.Â
Pernah sekali waktu, saat wajah Ibu sedang merah padam dan dengan suara tinggi menumpahkan rasa kesal, Ayah berucap perlahan kepadaku. "Diam dan dengarkan kalau perempuan sedang marah, itu sama nilainya dengan 10 gram emas."
Mendengar nasihat kocak Ayah kala itu, aku pun tertawa lebar. Meskipun wajahnya tampak garang, Ayah adalah penyuka humor.Â
"Tapi kenapa Ayah lama sekali?" batinku lagi. Aku sudah tak sabar terkatung-katung menunggu di buritan perahu.Â
Aku pun berniat turun dari perahu untuk mencari Ayah ke rumah. Kebetulan, rumah kami hanya berjarak puluhan langkah dari bibir pantai. Saat cuaca teduh, tidur di rumah berasa seperti rebah di atas perahu yang terapung tenang sambil menikmati embusan angin.Â
Bagi anak tepi laut sepertiku, mendengkur di atas perahu bukan hal asing. Laut adalah rumahku juga. Aku bahkan menulis puisi yang begitu panjang tentang laut dan menyimpannya dengan baik. Puisi itu berjudul: Rumahku Laut.
Namun, sebelum niatku mencari Ayah tunai, secara tak terduga Ayah muncul dari pintu belakang rumah dan berjalan gontai ke perahu dimana aku sudah jemu menunggu.Â
Perahu pun lepas tali tambat dan menuju ke timur, ke arah sebuah takat. Sepanjang perjalanan, aku duduk tak jauh dari Ayah yang memegang kemudi. Kencangnya angin tak terkira, membuat perahu mungil kami seperti berlari di atas ombak. Rasanya sedang berselancar.Â
Tiba-tiba tempias ombak meloncat ke dalam perahu, aku tercekat pucat. Air yang tertinggal segera kubuang kembali ke laut menggunakan centong. Diam-diam aku mulai kuatir, namun melihat wajah Ayah yang tenang hatiku kembali kuat.Â