Dan aku makin yakin, Ayah adalah lelaki perkasa yang tak mudah goyah menghadapi kerasnya tantangan kehidupan.Â
"Kenapa Ayah tadi lama sekali?" tanyaku, sesaat setelah kami sampai dan melabuhkan jangkar di tepian takat Bungin Lure.
"Ibumu murka, ayah dengarkan dulu sampai reda."
"Murka masalah apa?"
"Masalah gelang yang dijual bulan kemarin."
"Buat apa menjualnya?"
Ayah menghela nafas. Bola matanya berat merengkuh wajahku. Aku pun memaklumi, sabar menunggu jawaban Ayah. Aku tahu, seberat apapun masalahnya, Ayah akhirnya akan bicara.Â
"Saya menjual gelang ibumu buat biaya tambahan membangun mushola."
Sontak aku termangu. "Pantas wajah Ayah tak ceria", batinku. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku berharap hari ini rezki datang melimpah, sehingga Ayah bisa menyisihkan uang untuk mengganti gelang Ibu.Â
Sejak hari ini, berapapun hasil melaut bersama Ayah, aku takkan meminta bagian sampai gelang Ibu tergantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H