Apakah saya sudah layak disebut Penulis? Mengapa rasa tidak percaya diri lebih dominan dan cenderung menghalangi hasrat untuk menyatakan ekspresi melalui untaian kata kalimat?
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada diri saya?
Saya memahami dan meyakini bahwa mewujudkan pikiran, rasa dalam wujud aksara adalah salah satu cara menjaga, memelihara kesehatan jiwa.
Kesadaran inilah yang memaksa saya untuk mulai menulis lagi.
Sejenak membuka dan membaca coretan masa lalu, hadir rasa bangga, memori berkelana menjangkau masa yang lampau.
Mencermati topik, persoalan yang sudah tertuang menjadikan tanya baru; sesungguhnya saya tukang coret macam apakah? Sebaiknya gaya menulis seperti apa yang terbaik dari diri ini?
Aghhh... saya maunya mengalir begitu saja tanpa harus mengikuti pakem tertentu.
Saya paham... menulis bukan untuk siapa-siapa dan apa-apa, namun tulisan adalah untuk diri sendiri; namun ingat, Â yang membaca tulisan juga butuh mengerti sebenarnya apa yang hendak disampaikan.
Baik,
Saya pernah mengalami situasi kejepit tronton gandeng di bang jo down. Tatkala gelora menulis menggebu, apa saja yang terlintas di pikiran bisa tertuang nyaman, bahkan moment pup tidak terlepas dari onani ide. Rasanya sungguh nikmat ketika ide segar sesegera tertuang.
Namun alangkah naas, fakta yang terjadi di sekitar dan dituangkan dalam untaian kata secara jujur tanpa tendensi aneh-aneh terhadap pihak manapun mendapat komplain, tamparan, lebih tepatnya hardikan untuk : "hentikan menulismu...! orang bisa berprasangka lain terhadap kawanmu, pimpinanmu, lembagamu!"
Aghhhh... berdiam adalah baik dalam menghadapi beda pandang, oknum tidak mendidik? Nyatanya berdiam adalah cara jitu mematikan kegiatan sehat untuk diri sendiri.
Dari peristiwa ini, saya belajar bahwa menyatakan beda pandang terhadap ekspresi orang lain mesti dilakukan ala seni agar tidak mematikan apa yang semestinya dihidupkan, kecuali memang sengaja membunuh yang tumbuh bersemi.
Grrrrr... move on dong! Itu kata malaikat,
Nyatakan saja segala kebaikan dengan cara-cara baik, meski mereka tidak suka! Bukankah tulisanmu tidak porno, tidak sara, sopan, santun dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral, etika, de el es be? Jadi alasan apa untuk tidak bangkit?
Ya... harus bisa.
Lalu gaya seperti apa yang terbaik dari saya? Saya mau seiring umur, gaya bertutur, menyampaikan itu nyaman keluar, nyaman dibaca dan dicerna monyet cerdas yang membaca bisa terhibur, tersenyum meski sedang sedih apalagi bokek..., bertambah wawasan dan bla n bla...
...Apa adanya dalam konteks kebaikan diri sendiri, orang lain, lingkungan... kenapa harus ditunda? Bukankah kebaikan mesti dinyatakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H