Mohon tunggu...
Daniel Pasedan
Daniel Pasedan Mohon Tunggu... Guru - Berkeluarga, dua anak

Iklas, Jujur, Sederhana, Rajin, Peduli, Suka Berbagi, Cerdas, Berani, Tahu Diri, ... adalah Pondasi Pemimpin yang Dirindukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penulis Seperti Apakah Saya?

8 Mei 2018   21:58 Diperbarui: 8 Mei 2018   22:11 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah saya sudah layak disebut Penulis? Mengapa rasa tidak percaya diri lebih dominan dan cenderung menghalangi hasrat untuk menyatakan ekspresi melalui untaian kata kalimat?

Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada diri saya?

Saya memahami dan meyakini bahwa mewujudkan pikiran, rasa dalam wujud aksara adalah salah satu cara menjaga, memelihara kesehatan jiwa.

Kesadaran inilah yang memaksa saya untuk mulai menulis lagi.

Sejenak membuka dan membaca coretan masa lalu, hadir rasa bangga, memori berkelana menjangkau masa yang lampau.

Mencermati topik, persoalan yang sudah tertuang menjadikan tanya baru; sesungguhnya saya tukang coret macam apakah? Sebaiknya gaya menulis seperti apa yang terbaik dari diri ini?

Aghhh... saya maunya mengalir begitu saja tanpa harus mengikuti pakem tertentu.

Saya paham... menulis bukan untuk siapa-siapa dan apa-apa, namun tulisan adalah untuk diri sendiri; namun ingat,  yang membaca tulisan juga butuh mengerti sebenarnya apa yang hendak disampaikan.

Baik,

Saya pernah mengalami situasi kejepit tronton gandeng di bang jo down. Tatkala gelora menulis menggebu, apa saja yang terlintas di pikiran bisa tertuang nyaman, bahkan moment pup tidak terlepas dari onani ide. Rasanya sungguh nikmat ketika ide segar sesegera tertuang.

Namun alangkah naas, fakta yang terjadi di sekitar dan dituangkan dalam untaian kata secara jujur tanpa tendensi aneh-aneh terhadap pihak manapun mendapat komplain, tamparan, lebih tepatnya hardikan untuk : "hentikan menulismu...! orang bisa berprasangka lain terhadap kawanmu, pimpinanmu, lembagamu!"

Aghhhh... berdiam adalah baik dalam menghadapi beda pandang, oknum tidak mendidik? Nyatanya berdiam adalah cara jitu mematikan kegiatan sehat untuk diri sendiri.

Dari peristiwa ini, saya belajar bahwa menyatakan beda pandang terhadap ekspresi orang lain mesti dilakukan ala seni agar tidak mematikan apa yang semestinya dihidupkan, kecuali memang sengaja membunuh yang tumbuh bersemi.

Grrrrr... move on dong! Itu kata malaikat,

Nyatakan saja segala kebaikan dengan cara-cara baik, meski mereka tidak suka! Bukankah tulisanmu tidak porno, tidak sara, sopan, santun dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral, etika, de el es be? Jadi alasan apa untuk tidak bangkit?

Ya... harus bisa.

Lalu gaya seperti apa yang terbaik dari saya? Saya mau seiring umur, gaya bertutur, menyampaikan itu nyaman keluar, nyaman dibaca dan dicerna monyet cerdas yang membaca bisa terhibur, tersenyum meski sedang sedih apalagi bokek..., bertambah wawasan dan bla n bla...

...Apa adanya dalam konteks kebaikan diri sendiri, orang lain, lingkungan... kenapa harus ditunda? Bukankah kebaikan mesti dinyatakan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun