"Kerja orang tua ya untuk anak"
Itu adalah kalimat yang sering saya dengar dari mulut orang tua. Tepatnya ketika berbincang antara sesama orang tua mengenai pengelolaan pendapatan, hasil jerih payah selama bekerja.
Ucapan tersebut sah-sah saja. Pesan dari kalimat tersebut pun tidak bisa dikatakan salah. Sebab anak adalah buah hati dari ibu bapaknya. Anak juga harapan orang tua. Anak akan menjadi kebanggaan ketika di usia tua. Melihat mereka tersenyum akan mendatangkan kebahagiaan.
Sebaliknya, anak juga dapat menyebabkan luka dan nelangsa. Kedurhakaan akan menggores luka. Kesedihan pun akan berkibar ketika mereka sengsara.
Karena kebahagiaan orang tua juga bergantung keceriaan anak. Akhirnya apa pun akan dilakukan orang tua untuk anak. Jungkir balik pun akan dikerjakan yang penting anak bahagia.
Namun, besarnya perhatian ke anak--- terkadang--- melalaikankan perhatian ke orang tua, yaitu kakek nenek dari anak-anak kita. Waktu 7 kali 24 jam digunakan penuh untuk bekerja, sisanya mengurus anak. Uang hasil kerja keras banting tulang ludes untuk keperluan anak. Tenaga dan pikiran pun dihabiskan untuk memikirkan anak.
Orang tua akhirnya tidak kebagiaan apa-apa selain keluh kesah. Terkadang bahkan ditambah segepok permohonan bantuan tenaga maupun harta untuk menutup lubang kebutuhan.
Simbah anak-anak pun terkadang tak sanggup menolak. Kasih sayang kepada anak dan cucu menjadikan hatinya tidak bisa menghindar dari permintaan anak. Padahal "mungkin" dalam hatinya berat. Karena fisik maupun keuangan sedang sakit.
Perintah Berbuat Baik kepada Orang Tua
Jika ditilik ayat-ayat al Qur'an, kebaikan kepada orang tua perlu diusahakan. Banyak ayat yang menunjukkan perintah berbakti untuk orang tua. Saya mengutip dua ayat yang menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada orang tua.
Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. [QS. Al-'Ankabut: Ayat 8]
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. [QS. Luqman: Ayat 14]
Dari dua ayat tersebut saja, jelas bahwa kita tidak boleh abai dengan orang tua. Dalam keadaan kepepet pun orang tua mesti dipedulikan. Sibuknya bekerja atau mengurus anak, tidak bisa dijadikan alasan melupakan orang tua. Minimnya penghasilan juga tidak dapat dijadikan sebab untuk tidak berbuat baik kepada orang tua. Besarnya pengeluaran untuk keperluan sehari-hari pun tidak dapat menjadi kausa untuk mengabaikan orang tua.
Mana yang Diutamakan?
Jika saya ditanya mana yang harus kita utamakan antara anak dan orang? Pasti ujungnya mumet, pusing, dan nggliyeng.
Anak dan orang tua jelas sama pentingnya. Tanpa orang tua saya tidak akan lahir. Jika tidak ada anak, hidup akan gersang tanpa semangat. Adanya anak akan menambah motivasi dalam menjalani hidup. Anak adalah pewaris yang akan menjadi kebanggaan. Di pundaknya dipikulkan harapan dan cita-cita orang tua.
Namun, jika ditanya idealnya bagaimana? Tentu akan saya akan menjawab orang tua yang harusnya diutamakan. Jawaban saya merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud. Meskipun---secara pribadi--- saya belum tentu bisa menerapkan jika pada kondisi tersebut.
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya memiliki harta dan anak, sementara orang tuaku membutuhkan hartaku?" Beliau bersabda: "Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anak-anak kalian termasuk hasil usaha kalian yang terbaik. Maka makanlah dari usaha anak-anak kalian." (HR. Abu Dawud no. 3063).
Namun, semua kembali pada situasi dan kondisi. Bagaimana situasi kehidupan kita beserta keluarga, termasuk istri dan anak di dalamnya. Juga situasi dan kondisi orang tua. Jika peran yang kita jalankan dilakukan secara proporsional tentu tidak akan menimbulkan gejolak.
Menyeimbangkan Peran Sebagai Orang Tua dan Anak
Sebagai anak sekaligus orang tua---seperti saya ---memang harus belajar banyak menyeimbangkan peran dari dua tugas tersebut. Tugas sebagai orang tua, juga peran sebagai anak. Keduanya tidak boleh saling meniadakan. Kedua harus tetap berjalan beriringan.
Jika orang tua mampu secara ekonomi, tentu tidak terlalu memerlukan harta untuk menutup kebutuhan. Mereka paling-paling hanya ingin mendapat kemudahan akses ke cucunya. Selain itu dikala ada persoalan--- menderita sakit atau persoalan lain, anaknya siap memberi perhatian. Menunjukkan perhatian dapat memberi semangat kepada mereka dalam menjalani hidup.
Jika orang yang tidak berpendapatan, tentu membutuhkan biaya untuk menopang hidup. Tidak hanya kebutuhan makan, namun kebutuhan sosial seperti kondangan atau sumbangan di lingkungan sekitar.
Anak mesti sadar akan kebutuhan orang tua yang kekurangan. Tanpa diminta pun anak harus turut memikirkan. Tidak perlu merasa berat. Sebab menjalankan tugas berbuat baik orang tua menjadi jalan meraih kerido'an Allah.
Di sisi lain, jika kita sebagai orang tua, memang semestinya juga mengurus dan membiayai keperluan anak. Kewajiban tersebut tidak boleh ditinggalkan. Sebagai orang tua, tentu tidak mau dicap lalai dalam mengurus amanah yang dititipkan Tuhan berupa anak tersebut.
Apakah saya sudah menjadi orang tua sekaligus anak yang ideal? Saya akan jawab dalam proses. Entah sampai kapan proses itu berjalan. Wallahu A'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H