Melihat orang-orang dipinggir dari sedotan
Merah merona meronta saat terjebak
Ada yang hilang akal
Ada juga yang menunda akal
Bahkan sampai rela menanggalkan akal
Orang-orang berbaju lusuh
Berhambur diemperan bak serpihan kaca
Menggapai ranting kering dijadikannya tongkat
Memapah lapar yang nyaris putus
Diemperan ada yang bersendawa
Ada juga yang berisik
Mencaci lantaran siluet kelam membayang lagi
Bahkan ada juga yang bertanya tanya alamat palsu
Termasuk bertanya dimana nada sinismelankolis berkumandang lagi
Di bawah Mega yang nyaris lenyapÂ
Berkibar bendera putihÂ
Sebagai tanda berhenti sementara dari kekonyolan penuh eforia
Kita bertanya tentang arti sebuah ilusi
Permadani mengkelebat diantara puing dan jemari
Tanda jika atraksi segera akan dilangsungkan
Berduyun dari segala
Mercusuar terlalu elok untuk sementara
Kita berpepatah berolok seolah hanya selorohÂ
Pada pagi yang kini hilang
Yang lagi tak peduli datangnya siang bahkan gulitanya
Kepala yang digaruk tak gatal
Pandang mata yang tak pernah mau mencerna
Kini seonggok duka bertanya
Masihkah kita berharap pada laba-laba yang kehilangan mangsa
Pada merpati yang kehilangan sayap
Pada lebah yang kehilangan sarang
Pada matahari yang kehilangan seonggok debu
Luka kau simpan dimana darah kristal itu
Yang dulu ku titip saat bulan sabitÂ
Apa kau akan berkata lupa saat tengkorak hidup kembali
Bagaimana mungkin cerita terulang saat air sumur mengering
Karang dilautan tlah musnah di hantam cerita
Mega kini tlah sirna saat hujan menggoda
Jejak kaki kini usai di libas debu
Burung di dahan menyeru
Semerbak menyeruak waktu yang kosong
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H