Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, tidak suka berisik, dan menulis puisi bagian caraku menafsir tabir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lepas

8 Oktober 2024   10:48 Diperbarui: 8 Oktober 2024   11:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Melihat orang-orang dipinggir dari sedotan

Merah merona meronta saat terjebak

Ada yang hilang akal

Ada juga yang menunda akal

Bahkan sampai rela menanggalkan akal

Orang-orang berbaju lusuh

Berhambur diemperan bak serpihan kaca

Menggapai ranting kering dijadikannya tongkat

Memapah lapar yang nyaris putus

Diemperan ada yang bersendawa

Ada juga yang berisik

Mencaci lantaran siluet kelam membayang lagi

Bahkan ada juga yang bertanya tanya alamat palsu

Termasuk bertanya dimana nada sinismelankolis berkumandang lagi

Di bawah Mega yang nyaris lenyap 

Berkibar bendera putih 

Sebagai tanda berhenti sementara dari kekonyolan penuh eforia

Kita bertanya tentang arti sebuah ilusi

Permadani mengkelebat diantara puing dan jemari

Tanda jika atraksi segera akan dilangsungkan

Berduyun dari segala

Mercusuar terlalu elok untuk sementara

Kita berpepatah berolok seolah hanya seloroh 

Pada pagi yang kini hilang

Yang lagi tak peduli datangnya siang bahkan gulitanya

Kepala yang digaruk tak gatal

Pandang mata yang tak pernah mau mencerna

Kini seonggok duka bertanya

Masihkah kita berharap pada laba-laba yang kehilangan mangsa

Pada merpati yang kehilangan sayap

Pada lebah yang kehilangan sarang

Pada matahari yang kehilangan seonggok debu

Luka kau simpan dimana darah kristal itu

Yang dulu ku titip saat bulan sabit 

Apa kau akan berkata lupa saat tengkorak hidup kembali

Bagaimana mungkin cerita terulang saat air sumur mengering

Karang dilautan tlah musnah di hantam cerita

Mega kini tlah sirna saat hujan menggoda

Jejak kaki kini usai di libas debu

Burung di dahan menyeru

Semerbak menyeruak waktu yang kosong

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun