Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, tidak suka berisik, dan menulis puisi bagian caraku menafsir tabir

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bahas A

10 September 2024   14:20 Diperbarui: 10 September 2024   14:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

untaian simbolik

Makna pasti

Siapa yang tahu

Tak ada kejelasan

Ketegasan

Dan tak akan bisa

Mengajegkan nilai itu ibarat membangunkan diri dari tidur panjang

Menelan ludah berkali kali bahkan harus menginjak serpihan cahaya

Dan bergandeng dengan benalu

Kini kita hanya tahu dari pelantun

Menaruh harapan pada embun yang hilang

Menggosok setiap lempengan batu

Harap akan mampu menebas seonggok kebodohan

Tapi kebodohan sayangnya bergandengan dengan ketidakmauan

Kita berdiri seolah inilah simbol diatas simbol

Algoritma di ujung penalti

Siapa punya siapa lupa

Kita diresahkan seolah kita berada diujung

Nyatanya kita hanya membolak balikkan kertas dan membacanya berulang kali

Kata kata yang bersahabat lama

Nyatanya bagai delima yang dicampur sianida

Tangkai makna tak lagi sama

Jeruji dibalik itu hanya sebuah tanda bahaya

Tak ada hukum yang jelas hanya permainan makna

Kita benar benar diperolok oleh suatu yang akan menjadi jerami kembali

Kalau pernah melihat udara menganga diatas aspal hitam

Itulah sejatinya kamu memiliki rasa

Dan kalaulah pernah merasakan panas di sisi lain dari titilmu berdiri

Disanalah kamu akan bertemu dengan pertanyaan tanpa jawaban pasti

Pertanyaan tentang Mu yang nyaris tak berbahasa

Bertuan pada siapa lagi kami setelah Kau pun panggil menemuiMu

Kami hanya meraba

Menebas seberapa kami harus mendaur ulang titik kebobrokan yang sengaja

Kami hanya mendapatkan apa

Selain segumpal empedu yang tak ada habisnya

Sebagian menganggap ber rasa

Sebagian memasukkannya pada kotak pandora

Dan tak tahulah apa yang diperbuat dengan maklumat dia mulai mencampakkan dan hilang pulalah nyanyian nyanyian yang biasa kita dengar di bawah sana

Inilah cerita yang kelak akan menjadi catatan akhir

Bahwa tak ada apapun selain rasa

Sebut saja sejarah dalam sebingkai coretan pada kanvas tak bernama

Siapapulalah pelantum itu sebenarnya

Pemilik makna tunggal yang tak lagi bisa di lantunkan bebas

Hujan dan bunyi suar di telinga

Terdengar biasa saja

Ini awal dari perhitungan musim

Semua menganggap ini

Tak ada penolakan hanya segelintir orang bodoh lupa akan dirinya

Dan bernyanyi saja sepanjang dengkulnya bergerak

Inikah bahasa yang dengan pongahnya berdiri tanpa kuasa

Inikah bahasa yang selalu berbentur dengan dirinya

Bahasa yang sebagian orang menganggap selesai tanpa coretan

Jeruji demi jeruji dibuka

Nampak jelas di wajahnya

Bagaimana lagi

Klausul hanya cerita akhir dan dibuka lagi

Berjalan seenaknya samping kanan dan kiri

Dalam ke masgulan sekalipun

Bukankah tak berpemilik

Berpemilik bagi yang merasa

Pada akhirnya bukan meningkat

Bukan pula menjeda

Kehilangan arti bukan berarti kehilangan simbol

Bukan pula simbol tak berarti

Coba kau sesikit menohok

Apa yang terjadi hanya sebuah puisi

Coba pula kau membalik disana hanya orang linglung yang sedang mencari lembaran imajinasi

Sama saja di depan terlihat rute rute yang di labeli agar kita tahu mana yang standar dan tidak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun