aku mendengar nyanyian nyinyir
sepanjang arloji berdetak
kaki menghantam
sekejam alam kelam
sapu itu milik mu bukan
tak berpemilik bukan
tapi
itu berarti berpemilik
kata ku dalam hati
persembunyian
lesu pantai bersorak
dimana angin bertakhta
disemua kubangan
setiap pelipis cempaka
setiap denting kemarau yang layu
batu merah delima
hangat
jiwa berkhotbah
param
mataku beranjak menipis
hidung layu kembang di deru sipir
terompet berceloteh
nyawa siapa peduli
kami serdadu tulang
menghunus legam
dibalik tenda
mata tak berair
ramai tak rindu
siang tak panas
malam tak seljuk
diam tak kelam
siapa tuan
ini bukan luapan kegentingan
pulkam kembali berselisih seliwer
singgap pada kenyinyiran
dengki kehawatiran
tak inginkah kau
senyum peluk dan harum
bahak laksana hardik
setiap dan pada semua tiap tiap
senyum selebar hatiku yang lampau sangat
tapi
hayalanku dibatas
pada gepal dinding dan atap
aku membual
meringkih ringkik
ulu hatiku sakit
tak bertuan
tak bernama
tak bertujuan
adakah yang tahu geramku
ini hari apa
kenapa dunia meludah
aku sama bukan
kakiku kelu
diam saja mematung dipahat patah
tak ada mau aku
mataku hilang
hidungku direkam
aku dikekam
aku hanya tersungkur
menyingkir
mungkin hanya aku berandai
kalau satu diantara ku
aku tak mau berandai
bisa mati bukan
buat saja
semacam imajinasi
sugesti kehangatan
biar setidaknya kita tetap hangat
dan imajinasi tetap bertepi
sudahkah berlalu
tengok kanan kiri
tak bisa lagi
kaki melangkah pun
jangan mimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H