Sore itu kala matahari hampir terlelap
Aku dan segerombolan manusiaÂ
Di tepi waduk indah nan memanja
Bersenandung menghabiskan cilok pentolÂ
Terbahak lepas bersama angin kencang mengikis kulit menipis
Tak mau dirasa tapi begitu terasaÂ
Musim dingin bulan Agustus
Matahari nampak menjauh enggan
Luka dalam cerita yang kembali
Kisah durjana katanya dibawah sana yang indah
Tepat dibawah riakÂ
Secongkel cerita yang kurang ajar
Menghirup panjang dan melepas kembali
Aku serasa mual untuk mendengar
Tlah berlalu. Desa asri itu kini berubah bentuk
Kesempurnaan tlah lahir kembali
Disini tepat kakiku menginjak
Kini adalah aspal hitam memanjang mengeliling
Dimanakah lagu lirik dimainkan
Saat budaya harus digeser cepat
Mempertahankan hak atas tanah adalah tradisi manusia abad klasikÂ
Mengolah tanah adalah pergeseran dan tanda bahwa kita bukan homo sapien
Tak harus berpindah mencari sesuap demi sesuap
Kini mereka. Sekali lagi mereka berlari karena tak mau mati di sana
Kini pinggiran menjadi pemuki
Gunung menjadi tempat keduaÂ
dan air beserta isinya menjadi langkah baik untuk lalu di ambil manfaatnya
Mereka tidak pergi hanya merubah kebiasaan
Hamparan lampu kelap kelip dimalam hari
Tanda bahwa abad baru muncul
Dan kembali bertanya dunia tidak pernah berhenti berubah
Sekarang .....
Sambil mengancingkan baju berlalu
Entah esok apalagi kejutannya
Generasi nampak menikmati sebagian
Dan sebagian lagi hanya menjadi hiasanÂ
Kalau jujur mungkin tepatnya disebut pemalas yang hanya menari tanpa peduliÂ
Terbentang corak yang indah
Aku bersama kenangan dan masa lalu
PergiÂ
Menepati janji lagiÂ
Berharap matahari tetap dilangitÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H