Memutus Lingkaran Setan Konflik Israel Vs Arab-Palestine
Berbicara tentang konflik Arab-Palestina Vs Israel adalah pembicaraan yang sesungguhnya kosong karena penuh dengan propaganda yang telah diulang milayaran kali. Kita yang rasional pun khawatir bahwa yang kita yakini sekarang  ternyata adalah sebuah kebohongan sejarah.
Coba kita tilik asal-muasal Istilah "Palestine" (Philistia) yang berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang mengacu pada wilayah tempat tinggal bangsa Filistin di pantai selatan Levant sekitar abad ke-12 SM. Romawi mengadopsi istilah ini setelah memadamkan pemberontakan Yahudi pada abad kedua Masehi, mengganti nama wilayah Yudea menjadi "Palestine" sebagai upaya menghapus identitas Yahudi.
Dalam bahasa Arab modern, kata "Filastin" digunakan untuk merujuk pada wilayah yang dikenal sebagai Palestine. Meskipun bukan istilah asli Arab, penggunaan ini telah diterima secara luas di dunia Arab dan Islam sejak zaman Kekhalifahan.
Konteks demografi sejarah
Sebelum Perjanjian Sykes-Picot (1916), wilayah Palestine berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah. Penduduk mayoritas adalah Muslim Arab, dengan minoritas Yahudi, Kristen, dan komunitas kecil lainnya. Identitas "Palestine" ketika itu lebih bersifat geografis ketimbang etnis atau nasional.
Setelah Perjanjian Sykes-Picot yang membagi wilayah Utsmaniyah, Inggeris kemudian mendukung pembentukan "tanah air Yahudi" melalui Deklarasi Balfour (1917), yang memicu konflik antara penduduk Arab lokal dan imigran Yahudi.
Identitas Palestine modern
Identitas Palestine mulai menguat pada era mandat Inggeris (1920-1948) sebagai respons terhadap meningkatnya imigrasi Yahudi dan gerakan Zionisme. Warga Arab di wilayah itu mulai menyebut diri mereka sebagai "Arab-Palestine" untuk menegaskan identitas kolektif mereka, baik terhadap Zionis maupun kolonialisme Inggeris.
Peran PBB dan Majelis Umum
Resolusi PBB, seperti Partition Plan (1947), memberi pengakuan kepada dua negara di wilayah Palestine - satu Yahudi dan satu Arab. Konflik berikutnya (1948 dan seterusnya) membuat sebagian besar dunia, terutama negara-negara yang baru merdeka, bersimpati pada rakyat Arab-Palestine yang terusir atau hidup di bawah pendudukan Israel.
Negara-negara di Majelis Umum PBB yang mendukung Arab-Palestine mayoritas berasal dari negara-negara berkembang. Hal ini berkaitan dengan solidaritas terhadap isu anti-kolonialisme, mengingat perjuangan Arab-Palestine dianggap mencerminkan perjuangan melawan pendudukan dan dominasi asing.
Mengapa dunia mendukung Arab-Palestine
Konflik Israel-Arab-Palestina dianggap sebagai salah satu bentuk ketidakadilan global. Pendudukan militer, pembangunan permukiman ilegal, dan pengungsian besar-besaran menciptakan narasi yang menempatkan Arab-Palestine sebagai korban.
Sebagian besar dunia mendukung solusi dua negara berdasarkan batas 1967, sebagaimana diatur dalam resolusi-resolusi PBB. Israel dianggap melanggar prinsip ini dengan memperluas wilayahnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Solidaritas terhadap Arab-Palestine sering menjadi simbol persatuan dunia Islam, meskipun tidak semua negara Arab benar-benar mendukung Arab-Palestine secara konsisten.
"Underdog"
Identitas Arab-Palestine adalah "nama kedok", terlepas dari respons historis terhadap dinamika politik dan sosial di wilayah tersebut. Dukungan dunia untuk Arab-Palestine adalah fenomena underdog, dan bukan cerminan perjuangan panjang untuk keadilan dan penegakan hukum internasional. Konflik ini hanya dapat diselesaikan jika orang-orang Arab bernama kedok Palestine itu dimukimkan kembali entah di Yordan, Irak, Syria atau Mesir.
Landasan historis Israel
Benar bahwa wilayah yang sekarang dikenal sebagai Israel, termasuk Yerusalem, merupakan pusat kerajaan Israel kuno, seperti Kerajaan Daud dan Salomo. Bukti arkeologis dan teks-teks keagamaan (Torah dan Alkitab) menunjukkan hubungan kuat bangsa Yahudi dengan tanah tersebut.
Sebagai tempat lahir Yesus, Bethlehem dan Yerusalem memiliki arti khusus dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan kemudian Islam, yang menjadikan tanah ini sangat diperebutkan.
Romawi mengubah nama wilayah ini menjadi "Syria Palestine" setelah menghancurkan pemberontakan Yahudi (132-136 M). Langkah ini bertujuan untuk memutuskan hubungan bangsa Yahudi dengan tanah tersebut, yang menjadi awal istilah "Palestine" dalam konteks geografis.
Konteks sejarah modern
Selama berabad-abad di bawah Ottoman, wilayah ini tidak dikenal sebagai negara Palestine tetapi bagian dari propinsi yang lebih luas. Penduduknya mayoritas Muslim Arab, dengan komunitas Yahudi kecil yang telah lama tinggal di sana.
Setelah Perang Dunia I, Inggeris dan Perancis melalui Perjanjian Sykes-Picot membagi wilayah ini, menciptakan mandat Inggeris di Palestine. Kebijakan kolonial ini membuka jalan bagi konflik modern antara Yahudi dan Arab, terutama setelah Deklarasi Balfour 1917, yang mendukung pembentukan tanah air Yahudi.
Pendudukan atau hak warisan
Penduduk Arab di wilayah ini memandang pendirian Israel pada 1948 sebagai "pendudukan" karena tanah yang mereka huni sejak zaman Ottoman kini menjadi negara baru melalui imigrasi Zionis besar-besaran, disertai pengungsian (Nakba) 700.000 Arab-Palestine.
Dari perspektif Israel dan banyak pendukungnya, tanah ini adalah warisan sejarah Yahudi yang telah dirampas selama berabad-abad. Gerakan Zionisme muncul untuk mengembalikan hak atas tanah yang mereka klaim sebagai tanah air nenek moyangnya.
Resolusi PBB tahun 1947 membagi wilayah ini untuk dua negara (Yahudi dan Arab), tetapi konflik 1948, 1967, dan seterusnya memperumit klaim ini. Wilayah seperti Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza dianggap "pendudukan" oleh sebagian besar dunia internasional setelah perang 1967.
Peran Inggeris, Perancis, dan ICC
Keduanya memiliki tanggungjawab besar dalam menciptakan ketidakstabilan modern melalui kebijakan pasca-Ottoman yang tidak konsisten. Dukungan awal terhadap Zionisme diikuti oleh pengabaian terhadap komunitas Arab yang sudah tinggal di wilayah tersebut.
Kritik terhadap Israel seringkali menyasar kebijakan modernnya, seperti permukiman ilegal dan blokade Gaza, yang dianggap melanggar hukum internasional. Namun, tuduhan ICC terhadap Netanyahu sangat diperdebatkan karena dianggap mengabaikan narasi historis dan konflik yang lebih kompleks.
Sebagian pihak menilai bahwa propaganda Arab sering mengabaikan fakta sejarah Yahudi atas tanah ini.
Peran Hamas, Hezbollah, dan Houthi
Hamas, Hezbollah, dan Houthi oleh banyak negara Barat dan PBB dianggap sebagai organisasi teroris karena taktik mereka, termasuk menyerang warga sipil. Namun, di dunia Arab dan Muslim, mereka sering diglorifikasi sebagai simbol perlawanan terhadap Israel dan dominasi Barat.
Dukungan terhadap kelompok-kelompok ini di beberapa kalangan mencerminkan frustrasi terhadap kondisi Arab-Palestine di tanah Israel sekarang, meskipun metode kekerasan mereka dipertanyakan.
Kebenaran sejarah dan solusi
Turki sebagai penerus Ottoman memiliki perspektif unik, tetapi posisinya sering mendukung Arab-Palestine berdasarkan hubungan dunia Islam. Turki jarang menegaskan klaim Yahudi atas tanah itu meskipun menjadi saksi sejarahnya.
Salah kaprah ini hanya dapat diakhiri melalui pendidikan sejarah yang adil, mengakui klaim sah Yahudi, serta penyelesaian politik yang melibatkan kompromi.
Potensi mobilisasi dukungan umat Kristen
Sekitar 2 miliar umat Kristen di dunia memiliki keterikatan spiritual dengan tanah Israel karena tempat-tempat seperti Betlehem dan Yerusalem dianggap suci. Narasi ini memiliki daya tarik yang kuat dan dapat digunakan untuk memperkuat legitimasi Israel sebagai penerus sah tanah tersebut.
Banyak kelompok Kristen, terutama di Amerika Serikat, telah lama mendukung Israel melalui gerakan Zionisme Kristen. Mereka percaya bahwa keberadaan Israel adalah bagian dari rencana ilahi. Namun, dukungan ini seringkali terisolasi dalam kelompok evangelis dan belum menyentuh gereja-gereja besar seperti Katolik atau Ortodoks secara global.
Meski umat Kristen memiliki alasan teologis untuk mendukung Israel, propaganda Arab telah berhasil membangun narasi bahwa konflik ini adalah perjuangan keadilan dan hak asasi manusia, memposisikan Arab-Palestine sebagai "underdog." Hal ini merusak dukungan terhadap Israel di kalangan Kristen arus utama.
Tantangan propaganda Arab terhadap komunitas Kristen
Arab-Palestine, termasuk Kristen-Palestine, mempromosikan narasi bahwa mereka adalah korban penjajahan Israel. Ini menciptakan dilema bagi umat Kristen global yang melihat sesama Kristen-Palestine menderita.
Dukungan Kristen global terhadap Israel sering bertabrakan dengan realitas politik di wilayah Arab, di mana banyak komunitas Kristen hidup di bawah tekanan. Dukungan terbuka terhadap Israel dapat mengancam keberadaan mereka di negara-negara seperti Mesir, Lebanon, atau Syria.
Israel seringkali dipersepsikan sebagai sekutu eksklusif Yahudi, sehingga gagal membangun citra bahwa tanah suci juga adalah milik umat Kristen. Hal ini menghambat mobilisasi dukungan lebih luas dari gereja global.
Strategi untuk merangkul umat Kristen global
Israel dapat lebih mempromosikan tempat-tempat suci Kristen seperti Gereja kelahiran Yesus di Betlehem dan Gereja Makam Kudus di Yerusalem sebagai bagian integral dari warisan Israel. Ini akan memperkuat ikatan emosional umat Kristen dengan tanah Israel.
Menekankan fakta sejarah bahwa tanah Israel adalah pusat kehidupan Yesus dan kerajaan Yahudi kuno jauh sebelum penaklukan Islam. Narasi ini dapat membingkai konflik sebagai perebutan atas warisan sejarah yang sah.
Israel perlu membangun hubungan strategis dengan gereja-gereja besar seperti Katolik, Ortodoks, dan Protestan untuk memastikan dukungan teologis terhadap keberadaan negara Israel sebagai bagian dari warisan Kristen.
Israel harus membantah narasi Arab dengan menunjukkan fakta-fakta sejarah dan kehadiran Kristen di bawah pemerintahan Israel yang lebih aman dibandingkan di negara-negara Arab.
Israel memiliki potensi besar untuk merangkul umat Kristen global sebagai sekutu alami dalam konflik ini. Dengan memanfaatkan narasi historis dan spiritual yang sudah ada, Israel bisa membangun dukungan global yang lebih kuat untuk melawan propaganda Arab. Namun, ini membutuhkan pendekatan strategis yang sensitif terhadap realitas politik di middle-east dan dinamika komunitas Kristen di negara-negara Arab.
ICC dan Surat Perintah Penangkapan Benyamin Netanyahu adalah kesalahkaprahan yang harus diluruskan dengan memutus Lingkaran Setan Konflik Israel Vs Arab-Palestine dengan analisis terurai di atas.
Joyogrand, Malang, Fri', Nov' 29, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H