Retno Marsudi Bersilat Dengan Diplomasi Pancasila
Dalam Detik Com edisi 23 Oktober 2024 yang baru lalu diberitakan mantan Menlu Indonesia Retno Marsudi (periode 2014-2024) memberi seminar di Universitas Pancasila, Jakarta. Seminar bertajuk "Diplomasi Pancasila Bagi Dunia". Seminar itu dalam rangka memperingati Dies Ke-58. Seminar tersebut bertujuan untuk membahas diplomasi Indonesia dapat terus berkontribusi terhadap perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Retno Marsudi dalam materinya menekankan nilai-nilai patriotisme dan penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyebut Pancasila adalah aset bangsa yang menyatukan berbagai suku, budaya, dan agama, seraya berharap generasi muda berpegang pada prinsip Pancasila sebagai kompas berbangsa dan bernegara.
Retno juga menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga martabat di tengah praktik transaksional global, serta pentingnya mendefinisikan kepentingan nasional.
Selain Retno, Dewan Pakar Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri BPIP Dr. Darmansyah Djumala, SE., MA juga menekankan Pancasila sebagai falsafah, dasar negara, dan ideologi yang diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Ia menggarisbawahi pengakuan Pancasila sebagai "Memory of the World" oleh UNESCO, yang diharapkan dapat menginspirasi hubungan internasional.
Mungkin saja topik seminar menarik secara normatif, tapi kita tahu dengan 1000 Pancasila sekalipun Retno semasa Menlu di pemerintahan Jokowi gagal dalam mewujudkan krisis politik di Myanmar terkait Rohingya, ia juga gagal dalam krisis Laut China Selatan dan terlebih gagal total dalam misi perdamaian di middle-east.
Di middle-east katakanlah diplomasi Pancasila adalah jurus silat andalan Indonesia, tapi ketidaknetralan Indonesia di middle-east justeru tidak pancasilais, maka gagal total.
Retorika Pancasila dan realitas lapangan
Diplomasi Pancasila yang digadang-gadang Retno bisa dianalisis dari dua perspektif, yaitu retorika Pancasila yang dikemukakan dalam seminar dan realitas di lapangan dalam diplomasi global yang sulit.
Dalam seminar yang diadakan di Universitas Pancasila, Retno menekankan pentingnya Pancasila sebagai dasar bagi diplomasi Indonesia, yang merupakan narasi yang sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang sering diidentifikasi dengan "bebas aktif."Â
Dalam konteks ini, Pancasila digambarkan sebagai aset moral dan ideologis yang harus menjadi kompas, baik dalam kehidupan berbangsa maupun dalam hubungan luar negeri. Ini adalah pandangan yang normatif dan ideal, menekankan patriotisme dan peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia.
Retorika semacam ini terlihat kurang relevan atau tidak cukup efektif dalam menghadapi tantangan nyata diplomasi global yang lebih kompleks, seperti krisis Myanmar, Laut China Selatan, dan middle-east.Â
Di satu sisi, pendekatan Pancasila yang mengedepankan prinsip humanisme, keadilan sosial, dan perdamaian bisa memberikan landasan etis bagi diplomasi Indonesia. Tetapi di sisi lain, dinamika geopolitik internasional sangat transaksional dan acapkali mengabaikan prinsip-prinsip idealistik semacam itu.
Kritik tentang kegagalan Retno dalam menangani beberapa krisis utama dunia, seperti krisis Rohingya di Myanmar, sengketa Laut China Selatan, dan konflik Timur Tengah, sangatlah valid dalam konteks hasil nyata di lapangan.Â
Diplomasi Indonesia di bawah Retno kerap terjebak dalam posisi "bebas aktif" yang berupaya untuk menjaga netralitas, tetapi dalam beberapa kasus seperti Myanmar dan Laut China Selatan, terlihat tidak menghasilkan resolusi yang konkret.
Meski Indonesia terlibat dalam upaya ASEAN untuk menyelesaikan krisis Rohingya, hasil nyata dalam menekan militer Myanmar untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia sangat minim. Indonesia hanya dapat memberikan pernyataan diplomatik tanpa tindakan konkret yang bisa mengubah situasi.
Posisi Indonesia yang berusaha mempertahankan kedaulatan di perairan Natuna banyak bersinggungan dengan agresivitas China di Laut China Selatan. Meski Indonesia secara resmi tidak terlibat langsung dalam sengketa teritorial, tantangan dari China atas zona ekonomi eksklusif Indonesia menunjukkan diplomasi yang tidak menghasilkan pengaruh besar di kawasan itu.
Kebijakan luar negeri Indonesia di middle-east, terutama dalam konflik Israel-Arab Palestina, terkesan tidak netral. Meski Pancasila mengedepankan keadilan, Indonesia condong mendukung Arab-Palestina dan jarang mengambil posisi yang benar-benar adil dalam konflik yang lebih luas, termasuk dalam krisis di Yaman, Syria, atau Iran.
Pengakuan UNESCO terhadap Pancasila sebagai "Memory of the World" yang disinggung oleh Dr. Darmansyah Djumala menunjukkan apresiasi internasional terhadap filosofi Pancasila. Hanya yang perlu dicermati, pengakuan ini lebih bersifat simbolis. Dalam realitas hubungan internasional yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, militer, dan geopolitik, pengakuan semacam ini tidak cukup untuk mendorong perubahan kebijakan atau menyelesaikan krisis diplomatik yang memerlukan negosiasi yang lebih praktis dan efektif.
Kritik terkait kegagalan diplomasi dalam krisis Myanmar, Laut China Selatan, dan Timur Tengah, berakar pada kesenjangan antara idealisme Pancasila dan praktik diplomasi yang harus menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks. Retno menekankan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan moral dan ideologis diplomasi, tetapi dalam banyak kasus, tantangan-tantangan dunia nyata lebih sulit untuk diselesaikan hanya dengan prinsip-prinsip moral, tanpa strategi yang lebih pragmatis dan berorientasi hasil.
Selain itu, Indonesia banyak terjebak dalam peran "moderator" atau "juru damai," tetapi tanpa pengaruh atau kekuatan besar di panggung internasional, posisinya dalam banyak krisis cenderung marginal. Inilah yang dimaksud sebagai kegagalan Retno dalam menerapkan diplomasi Pancasila secara efektif di tengah krisis global.
Masalahnya sekarang, bagaimana Diplomasi Indonesia ke depan ini dapat diperbaiki. Prabowo, beberapa saat setelah pelantikannya sebagai presiden baru Indonesia, telah menegaskan Indonesia akan terus berjuang untuk Arab-Palestina. Apa yang harus dilakukan Menlu Sugiono yang belum lama ini mengikuti KTT BRICS. Apakah tetap dengan Diplomasi Pancasila yang senantiasa tak berdaya di pentas global itu atau bagaimana.
Untuk memperbaiki diplomasi Indonesia di masa mendatang, terutama di bawah pemerintahan Prabowo yang menekankan dukungan kepada Arab-Palestina, beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan oleh Menlu Sugiono, yang kini berperan dalam lanskap global yang semakin kompleks.
1. Memperkuat posisi di BRICS dan organisasi multilateral
Mengingat Sugiono baru saja mengikuti KTT BRICS, Indonesia dapat memanfaatkan jaringan ini untuk memperkuat posisinya di kancah internasional. BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menawarkan peluang untuk mengurangi ketergantungan pada blok barat dan memperluas kerjasama dengan negara-negara ekonomi berkembang. Indonesia perlu mengusulkan inisiatif ekonomi dan diplomasi yang dapat menguntungkan anggota BRICS dan meningkatkan pengaruh Indonesia di antara negara-negara non-blok.
Strategi konkret disini adalah mendorong kerjasama ekonomi, terutama di bidang energi terbarukan, pangan, dan teknologi. Indonesia juga bisa memainkan peran sebagai mediator untuk isu-isu internasional yang melibatkan anggota BRICS, misalnya dalam krisis pangan global atau keamanan maritim.
2. Penerapan diplomasi Pancasila yang lebih progresif
Diplomasi Pancasila tetap bisa menjadi landasan, tetapi harus diimplementasikan secara lebih adaptif dan pragmatis, bukan hanya normatif. Artinya, Indonesia perlu mengedepankan prinsip keadilan dan keseimbangan, tetapi juga bersikap fleksibel sesuai dengan kepentingan nasional dan realitas politik internasional.
Strategi konkret disini adalah memperkuat diplomasi ekonomi dan pertahanan di kawasan ASEAN, khususnya di Laut China Selatan. Ini termasuk membangun aliansi strategis yang lebih kokoh dengan negara-negara yang memiliki kepentingan serupa, tanpa kehilangan netralitas.
Indonesia perlu mengambil sikap yang lebih nyaring dalam memperjuangkan hak-hak Arab-Palestina, tetapi dengan pendekatan yang mengedepankan dialog. Diplomasi Pancasila harus dimanfaatkan untuk menjembatani kesenjangan antara pihak-pihak yang berkonflik di middle-east, dengan mengedepankan keadilan dan perdamaian.
3. Meningkatkan pengaruh di middle-east dengan pendekatan baru
Dukungan kepada Arab-Palestina adalah elemen penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia, namun Indonesia perlu menghindari sikap yang terlalu berpihak agar tetap relevan di pentas global. Ini berarti, selain mendukung Arab-Palestina, Indonesia juga harus menunjukkan kesediaan untuk berdialog dengan semua pihak, termasuk Israel jika diperlukan, guna mencapai solusi damai.
Strategi konkret yang diperlukan disini, yaitu menginisiasi kembali pembicaraan damai di forum internasional dengan menjadikan Indonesia sebagai mediator netral yang mampu mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Mengadakan "Forum Jakarta" misalnya, bisa menjadi inisiatif Indonesia sebagai tuan rumah perundingan untuk mencari solusi di middle-east.
4. Mengadaptasi diplomasi ekonomi yang lebih fokus pada teknologi dan inovasi
Dunia semakin mengarah pada teknologi dan ekonomi berbasis pengetahuan, dan Indonesia harus beradaptasi. Sugiono bisa memanfaatkan momentum dari BRICS untuk menarik investasi dan transfer teknologi, khususnya di bidang energi hijau dan teknologi tinggi.
Strategi konkret yang diperlukan disini, yaitu mengembangkan diplomasi ekonomi yang lebih kuat dengan negara-negara yang memiliki potensi teknologi tinggi, seperti China, India, dan Rusia. Fokus pada investasi di bidang infrastruktur teknologi dan pendidikan untuk meningkatkan daya saing Indonesia.
5. Menjaga keseimbangan di Asia-Pasifik dan kawasan ASEAN
Mengingat ketegangan di Laut China Selatan dan pengaruh geopolitik AS serta China, Indonesia harus bermain cerdas dalam menjaga keseimbangan di kawasan. Diplomasi Pancasila yang adaptif bisa menekankan pentingnya stabilitas regional, kerjasama ekonomi, dan kemitraan yang saling menguntungkan.
Strategi konkret yang diperlukan disini, yaitu memperkuat aliansi regional dengan negara-negara ASEAN, tetapi tanpa mengasingkan China. Mengusulkan forum maritim yang menekankan keamanan dan kebebasan navigasi di Laut China Selatan, dengan melibatkan negara-negara besar di kawasan.
6. Merumuskan kebijakan luar negeri yang lebih berorientasi hasil
Diplomasi Indonesia seringkali terjebak dalam wacana idealis yang kurang menghasilkan perubahan konkret di lapangan. Di bawah Sugiono, Indonesia harus menargetkan hasil yang jelas dalam setiap kebijakan diplomasi yang diterapkan.
Strategi konkret yang diperlukan disini, yaitu menetapkan indikator keberhasilan diplomasi yang lebih terukur, misalnya dengan menyelesaikan sengketa perbatasan, meningkatkan perdagangan internasional, atau menurunkan ketegangan di kawasan konflik. Sugiono perlu bekerjasama dengan kementerian terkait untuk menyelaraskan diplomasi luar negeri dengan kepentingan ekonomi nasional.
Indonesia tidak perlu meninggalkan Diplomasi Pancasila, tetapi harus mengadaptasinya untuk menghadapi tantangan modern. Dengan pendekatan yang lebih pragmatis, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin regional dan memainkan peran yang lebih signifikan dalam isu-isu global, khususnya terkait Arab-Palestina dan kawasan Asia-Pasifik. Diplomasi yang lebih terarah pada hasil konkret dan kemitraan strategis adalah kunci untuk memastikan Indonesia tetap relevan di pentas internasional.
Joyogrand, Malang, Thu', Oct' 24, 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI