Dalam konteks ini, Pancasila digambarkan sebagai aset moral dan ideologis yang harus menjadi kompas, baik dalam kehidupan berbangsa maupun dalam hubungan luar negeri. Ini adalah pandangan yang normatif dan ideal, menekankan patriotisme dan peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia.
Retorika semacam ini terlihat kurang relevan atau tidak cukup efektif dalam menghadapi tantangan nyata diplomasi global yang lebih kompleks, seperti krisis Myanmar, Laut China Selatan, dan middle-east.Â
Di satu sisi, pendekatan Pancasila yang mengedepankan prinsip humanisme, keadilan sosial, dan perdamaian bisa memberikan landasan etis bagi diplomasi Indonesia. Tetapi di sisi lain, dinamika geopolitik internasional sangat transaksional dan acapkali mengabaikan prinsip-prinsip idealistik semacam itu.
Kritik tentang kegagalan Retno dalam menangani beberapa krisis utama dunia, seperti krisis Rohingya di Myanmar, sengketa Laut China Selatan, dan konflik Timur Tengah, sangatlah valid dalam konteks hasil nyata di lapangan.Â
Diplomasi Indonesia di bawah Retno kerap terjebak dalam posisi "bebas aktif" yang berupaya untuk menjaga netralitas, tetapi dalam beberapa kasus seperti Myanmar dan Laut China Selatan, terlihat tidak menghasilkan resolusi yang konkret.
Meski Indonesia terlibat dalam upaya ASEAN untuk menyelesaikan krisis Rohingya, hasil nyata dalam menekan militer Myanmar untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia sangat minim. Indonesia hanya dapat memberikan pernyataan diplomatik tanpa tindakan konkret yang bisa mengubah situasi.
Posisi Indonesia yang berusaha mempertahankan kedaulatan di perairan Natuna banyak bersinggungan dengan agresivitas China di Laut China Selatan. Meski Indonesia secara resmi tidak terlibat langsung dalam sengketa teritorial, tantangan dari China atas zona ekonomi eksklusif Indonesia menunjukkan diplomasi yang tidak menghasilkan pengaruh besar di kawasan itu.
Kebijakan luar negeri Indonesia di middle-east, terutama dalam konflik Israel-Arab Palestina, terkesan tidak netral. Meski Pancasila mengedepankan keadilan, Indonesia condong mendukung Arab-Palestina dan jarang mengambil posisi yang benar-benar adil dalam konflik yang lebih luas, termasuk dalam krisis di Yaman, Syria, atau Iran.
Pengakuan UNESCO terhadap Pancasila sebagai "Memory of the World" yang disinggung oleh Dr. Darmansyah Djumala menunjukkan apresiasi internasional terhadap filosofi Pancasila. Hanya yang perlu dicermati, pengakuan ini lebih bersifat simbolis. Dalam realitas hubungan internasional yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, militer, dan geopolitik, pengakuan semacam ini tidak cukup untuk mendorong perubahan kebijakan atau menyelesaikan krisis diplomatik yang memerlukan negosiasi yang lebih praktis dan efektif.
Kritik terkait kegagalan diplomasi dalam krisis Myanmar, Laut China Selatan, dan Timur Tengah, berakar pada kesenjangan antara idealisme Pancasila dan praktik diplomasi yang harus menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks. Retno menekankan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan moral dan ideologis diplomasi, tetapi dalam banyak kasus, tantangan-tantangan dunia nyata lebih sulit untuk diselesaikan hanya dengan prinsip-prinsip moral, tanpa strategi yang lebih pragmatis dan berorientasi hasil.
Selain itu, Indonesia banyak terjebak dalam peran "moderator" atau "juru damai," tetapi tanpa pengaruh atau kekuatan besar di panggung internasional, posisinya dalam banyak krisis cenderung marginal. Inilah yang dimaksud sebagai kegagalan Retno dalam menerapkan diplomasi Pancasila secara efektif di tengah krisis global.