Meski Anton memiliki catatan sebagai mantan narapidana korupsi, hasil survei menunjukkan warga Kota Malang lebih memprioritaskan faktor-faktor lain, seperti program-program yang pernah ia jalankan, kharisma pribadi, atau hubungan yang terjalin dengan komunitas lokal. Popularitas dan penerimaan ini bisa jadi menunjukkan sebagian besar masyarakat lebih fokus pada pencapaian dan koneksi personal daripada masa lalu hukum.
Rendahnya tingkat "menginginkan kembali" terhadap Sutiaji dan Wahyu Hidayat menunjukkan adanya krisis kepercayaan pada kepemimpinan mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan terhadap kinerja mereka selama menjabat atau ketidakmampuan mereka untuk membangun popularitas yang kuat di masyarakat. Ini memberi Anton ruang untuk kembali mencalonkan diri meskipun ada ganjalan hukum.
Keputusan MK terkait jeda waktu bagi mantan terpidana korupsi sebelum dapat mencalonkan diri kembali dalam pemilu menjadi faktor penting. Jika Anton telah memenuhi syarat dua tahun setelah bebas, secara hukum ia memang memiliki hak untuk mencalonkan diri. Namun, masa lalu si Abah ini anytime dapat dieksploitasi oleh lawan politik.
Tak heran, partai-partai politik mungkin menahan diri untuk mendukung kandidat lain yang lebih kuat. Ini menciptakan situasi di mana banyak kandidat "gimmick" muncul, tetapi tidak ada figur yang benar-benar kuat selain Anton. Jika Anton bisa mencalonkan diri, partai-partai ini mungkin akan berbondong-bondong mendukungnya, atau sebaliknya, memilih mencari figur alternatif yang lebih bersih secara hukum.
Meskipun tidak ditemukan aliran dana ke rekening Anton oleh PPATK, persepsi publik tetap menjadi isu krusial. Lawan politik kemungkinan akan mencoba menggali kembali kasus ini untuk melemahkan posisi Anton. Namun, jika Anton berhasil meyakinkan publik ia adalah korban atau setidaknya tidak bersalah dalam kasus tersebut, ini bisa memperkuat dukungannya.
Secara keseluruhan, posisi Anton dalam Pilkada 2024 kuat, tetapi bukan tanpa tantangan. Faktor hukum, persepsi publik, dan manuver politik dari lawan-lawan potensial akan sangat menentukan hasil akhir dari kontestasi ini.
Flasback Pilwali 2018
Fenomena awal di Pilkada Kota Malang 2024 ini tampak berbeda jauh dengan proses di awal Pilkada Kota Malang 2018. Flashback di tahun 2017, meskipun saat itu Mochamad Anton berstatus petahana dan memiliki tingkat elektoral yang juga tinggi, namun penantang-penantang serius Mochamad Anton ketika itu sudah berani bermunculan dan Partai -- partai pun juga aktif menggalang konsolidasi. Maka tak heran, nama -- nama seperti Ya'qud Ananda Gudban, Arief Wicaksono, hingga Sutiaji berani muncul sebagai penantang jauh-jauh hari ketika itu, dan terbukti akhirnya muncul 3 Pasangan Calon yang diusung Koalisi Parpol dalam Pilkada Kota Malang 2018 meskipun pada akhirnya berakhir anti klimaks seiring terdampak kasus korupsi yang dikenal sebagai bancakan massal badan legislatif kota Malang di tengah pelaksanaan kampanye Pilkada Kota Malang 2018.
Tentunya publik menanti  keberanian para kandidat penantang Mochamad Anton untuk benar-benar muncul, atau menanti Partai Politik pemilik kursi mengusung jagoannya melawan Anton, sambil menanti fatwa MK terhadap status hukum Mochamad Anton, apakah bisa benar-benar melaju dalam Pilkada Kota Malang 2024 atau harus terganjal aturan jeda 5 tahun bagi mantan terpidana korupsi. Ini yang harus dipercepat di MK dan dalam konteks ini MK haruslah lentur.
Kondisi saat ini memperlihatkan dominasi Mochamad Anton dalam survei elektabilitas, tetapi dengan tantangan besar terkait status hukumnya dan ketidakpastian dukungan dari partai-partai politik. Jika benar-benar terwujud, pertarungan antara Anton dan mantan pejabat lain seperti Sutiaji, Wahyu Hidayat, atau Sofyan Edi Jarwoko bisa menjadi "Battle of the Mayors," yang akan sangat menarik bagi publik.
Berbeda dengan 2018, partai-partai politik dan kandidat potensial tampaknya lebih berhati-hati dalam menentukan langkah. Ini boleh jadi disebabkan oleh ketidakpastian hukum yang mengelilingi pencalonan Anton, serta pengalaman pahit dari Pilkada 2018 di mana kasus bancakan massal mempengaruhi hasil akhir. Partai-partai mungkin menunggu fatwa MK terkait aturan jeda 5 tahun bagi mantan terpidana korupsi sebelum menentukan siapa yang akan mereka usung.