Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tarik-ulur Otoritarianisme dan Demokrasi Terbuka

23 Agustus 2024   16:52 Diperbarui: 23 Agustus 2024   16:52 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi kawal keputusan MK pada Kamis,  22-8 ybl. (Sumber : Antonius Aditya Mahendra via  nasional.kompas.com).

Tarik-Ulur Otoritarianisme dan Demokrasi Terbuka

Di Indonesia, kekuasaan adalah seuatu yang tak terbagi, kata MAW Brouwer suatu ketika. Mengapa demikian. Karena kalau dibagi kekuasaan itu menjadi terbatas. Dan si Raja tak bisa menjalankan Kedaulatan mutlak tuanku.

Ini adalah pandangan kritis terhadap sifat kekuasaan yang terpusat dan otoriter, yang sering terlihat dalam pemerintahan otoriter seperti di era Orde Baru Soeharto. Dalam konteks ini, Brouwer menyoroti kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan yang absolut dan tak terbagi sebagai cara untuk menjaga kendali penuh atas pemerintahan dan rakyat.

Di bawah Orde Baru, Soeharto memegang kendali yang sangat kuat atas semua aspek pemerintahan. Kekuasaan tidak dibagi antara lembaga-lembaga negara atau pemerintahan daerah, melainkan terkonsentrasi pada presiden dan lingkaran dekatnya. Hal ini memungkinkan Soeharto untuk menjalankan kekuasaan tanpa banyak perlawanan atau hambatan dari pihak lain.

Ketika kekuasaan dibagi, biasanya ada sistem checks and balances yang berfungsi untuk mengawasi dan mengendalikan kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Namun, dengan kekuasaan yang tak terbagi, kontrol tersebut menjadi lemah atau bahkan tidak ada, memungkinkan penguasa untuk bertindak sewenang-wenang tanpa ada konsekuensi nyata.

Pernyataan Brouwer bisa kita lihat sebagai kritik terhadap sistem otoriter di mana kekuasaan absolut seringkali berujung pada penyalahgunaan, korupsi, dan penindasan. Di penghujung era Orde Baru, banyak intelektual, aktivis, dan rakyat mulai menyadari bahaya dari kekuasaan yang tidak terbatas dan mulai mendorong perubahan menuju demokrasi yang lebih terbuka dan transparan.

Pernyataan Brouwer juga bisa dilihat dalam konteks sejarah dan budaya kekuasaan di Indonesia, di mana model kepemimpinan tradisional seperti kerajaan seringkali bersifat sentralistik dengan raja yang memegang kekuasaan absolut. Hal ini menciptakan pola kekuasaan yang cenderung bertahan hingga masa modern.

Secara keseluruhan, pernyataan ini menggambarkan kritik tajam terhadap sistem kekuasaan yang mengedepankan sentralisasi dan otoritarianisme, yang di penghujung era Orde Baru mulai dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia yang menginginkan perubahan menuju pemerintahan yang lebih demokratis dan akuntabel.

Orba pun kemudian menghilang dari pentas Sejarah. Muncullah era yang disebut Reformasi. Sayangnya, setelah era reformasi berjalan beberapa dekade, muncul kembali fenomena kekuasaan tak boleh lagi dibagi berlebihan. Kita lihat misalnya fenomena pilkada 2024 sekarang, Dimana orang sibuk menjagokan jagoan yang sebetulnya tak terlalu ambil pusing dengan Parpol. Maka muncul jagoan KIM plus akan melawan kotak kosong, karena hanya Nasdem yang mengusung Anies Baswedan si jagoan yang tak ambil pusing dengan Parpol.

Tak lama kemudian lahirlah Keputusan MK yang melabrak tentang thresh hold partai pengusung calon, yang semula 20% menjadi cukup hanya 7,5%, sehingga partai kecil yang tak punya kursi di legislatif pun dapat mencalonkan jagoannya.

Bukankah fenomena ini kembali berulang bahwa kekuasaan itu harus dikelola oleh pemenang pemilu apapun nanti tricknya. Ini semua untuk menghadang bakal calon lawan politik yang akan mengusung visi lain dalam demokrasi.

Ini adalah dinamika politik yang malah berputar arah ke masa lalu. Ini tentu kompleks dan paradoksal dalam sistem demokrasi di Indonesia. Setelah beberapa dekade reformasi, terdapat pola di mana kekuasaan kembali dikelola dengan cara yang sangat terpusat, meskipun dengan mekanisme yang berbeda dibandingkan dengan era Orde Baru.

Beberapa aspek yang perlu dikaji lebih jauh

1. Kekuasaan dan pengendalian politik

Fenomena sekarang menunjukkan kekuasaan di Indonesia cenderung dikendalikan oleh aktor-aktor politik yang kuat, baik melalui partai politik besar maupun koalisi yang didominasi oleh beberapa partai besar. Dalam konteks Pilkada 2024, ini terlihat dari koalisi KIM (Koalisi Indonesia Maju) yang didukung oleh sejumlah partai besar, yang seakan mendominasi percaturan politik dan mungkin akan melawan kotak kosong jika hanya Nasdem yang mendukung Anies Baswedan.

2. Keputusan MK dan threshold calon

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan dari 20% menjadi 7,5% membuka peluang bagi partai-partai kecil untuk mengajukan calon mereka sendiri. Meskipun ini terlihat sebagai upaya untuk memperluas partisipasi dan memperkuat demokrasi, ada juga interpretasi langkah ini bisa digunakan untuk mencegah munculnya calon-calon alternatif yang membawa visi yang berbeda dari status quo. Dengan demikian, ini bisa dilihat sebagai cara untuk memastikan kekuasaan tetap berada di tangan kelompok atau koalisi yang sudah mapan.

3. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan

Meskipun reformasi telah memperkenalkan desentralisasi kekuasaan, fenomena terkini menunjukkan adanya upaya untuk kembali memusatkan kekuasaan, baik melalui kontrol partai-partai besar maupun melalui manipulasi aturan-aturan politik. Ini mencerminkan kekhawatiran kekuasaan yang terlalu tersebar atau dibagi akan mengancam stabilitas politik atau kepentingan kelompok tertentu.

4. Dinamika politik dan manipulasi demokrasi

Apa yang kita saksikan sekarang bisa dianggap sebagai bentuk manipulasi demokrasi, di mana aturan dan prosedur diubah atau disesuaikan untuk memastikan kekuasaan tetap dipegang oleh kelompok tertentu. Fenomena ini bisa dianggap sebagai upaya untuk menjaga kontinuitas kekuasaan dan mencegah munculnya alternatif yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan kelompok penguasa.

5. Visi lain dalam demokrasi

Salah satu alasan mengapa kekuasaan cenderung dikelola dengan cara yang sangat terpusat adalah untuk mencegah munculnya visi alternatif yang mungkin mengganggu tatanan politik yang ada. Dalam demokrasi, seharusnya ada ruang untuk berbagai visi dan perspektif yang berbeda, tetapi ketika kekuasaan terlalu terpusat, ruang tersebut cenderung dipersempit.

6. Implikasi bagi masa depan demokrasi Indonesia

Jika tren ini berlanjut, ada risiko demokrasi di Indonesia akan menjadi lebih terkonsolidasi di tangan beberapa elite politik, dengan partisipasi dan perbedaan pendapat yang semakin terbatas. Ini bisa berujung pada pengulangan sejarah di mana kekuasaan absolut dipertahankan oleh kelompok kecil yang mengendalikan seluruh mekanisme politik, meskipun dalam kerangka demokrasi yang lebih formal.

Secara keseluruhan, fenomena ini menunjukkan meskipun reformasi telah membawa perubahan signifikan, tantangan terbesar bagi demokrasi Indonesia saat ini adalah memastikan kekuasaan tetap terdistribusi secara adil dan tidak terkonsentrasi pada satu kelompok atau koalisi tertentu. Ini memerlukan upaya yang lebih besar untuk memperkuat institusi-institusi demokrasi dan menjaga agar proses politik tetap inklusif dan terbuka untuk berbagai visi dan suara.

Apakah ini kesalahan Presiden Jokowi yang lalai membaca perkembangan demokrasi itu sendiri karena terlalu memperhatikan kritikan-kritikan vulgar dari orang-orang seperti Rocky Gerung, Fadli Zon, Hasto dll yang sebetulnya adalah jubir dari kekuatan-kekuatan politik yang dominan seperti PDIP, Gerindra, Golkar dll.

Ini kompleks tentunya, mengingat dinamika politik yang terus berubah dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Beberapa perspektif untuk memahami situasi ini :

1. Fokus pada kritik publik dan dominasi politik

Jokowi, seperti pemimpin lainnya, tentu harus merespons kritik dari berbagai pihak, termasuk dari para vokalis seperti Rocky Gerung, Fadli Zon, dan Hasto Kristiyanto. Kritik dari mereka seringkali sangat vokal dan bisa dianggap sebagai representasi dari kepentingan partai-partai besar seperti PDIP, Gerindra, dan Golkar. Namun, jika presiden terlalu fokus pada kritik-kritik ini dan mengabaikan suara-suara lain atau dinamika yang lebih mendalam dalam masyarakat, ini bisa menjadi masalah.

Dominasi partai-partai besar ini memang bisa membuat demokrasi terlihat kurang inklusif, dan jika presiden terlalu terpengaruh oleh tekanan dari partai-partai ini, ada risiko keputusan-keputusan yang diambil lebih mencerminkan kepentingan elite politik daripada kebutuhan rakyat secara luas.

2. Kurangnya respons terhadap Isu Demokrasi yang lebih luas

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Jokowi adalah memastikan demokrasi tetap inklusif dan terbuka. Jika Jokowi terlalu sibuk merespons kritik-kritik dari tokoh-tokoh tertentu dan tidak cukup memperhatikan perkembangan struktural demokrasi, seperti bagaimana kekuasaan didistribusikan, bagaimana partai kecil berperan, atau bagaimana proses politik tetap adil, maka ini bisa dianggap sebagai kelalaian.

Keputusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan adalah salah satu contohnya. Meski secara teori ini bisa memperluas partisipasi, jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat dan komitmen untuk menjaga integritas proses politik, maka ini bisa digunakan oleh kekuatan politik dominan untuk mengonsolidasikan kekuasaan mereka.

3. Peran kritik dalam pemerintahan

Jokowi juga harus menghadapi kritik dalam berbagai bentuk, termasuk kritik vulgar atau keras. Kritik seperti ini bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, terutama jika presiden merasa perlu untuk merespons kritik tersebut secara langsung atau jika kritik tersebut dianggap mewakili sentimen publik yang lebih luas.

Namun, kritik keras ini tidak selalu mencerminkan kebutuhan atau keinginan rakyat secara keseluruhan. Jika Jokowi terlalu fokus pada kritik yang datang dari elite politik, ada risiko perspektifnya menjadi terbatas dan tidak cukup mempertimbangkan aspirasi dari kelompok masyarakat yang lebih luas, termasuk mereka yang tidak memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.

4. Keseimbangan antara responsivitas dan kepemimpinan visioner

Sebagai presiden, Jokowi berada dalam posisi di mana dia harus menyeimbangkan antara responsivitas terhadap kritik dan kepemimpinan yang visioner. Jika presiden terlalu reaktif terhadap kritik, ini bisa menghambat kemampuannya untuk mengambil langkah-langkah yang lebih berani dan strategis dalam memperkuat demokrasi. Di sisi lain, jika dia tidak cukup responsif, dia bisa kehilangan dukungan publik atau gagal menangani isu-isu penting yang membutuhkan perhatian.

Fernomena parlemen jalanan sekarang bukanlah sepenuhnya kesalahan Jokowi jika terjadi perkembangan yang cenderung mengarah pada konsolidasi kekuasaan oleh kelompok politik tertentu. Namun, ada argumen jika dia lebih fokus pada pengembangan sistem demokrasi yang lebih inklusif dan adil, serta menghindari terlalu banyak terpengaruh oleh kritik dari elite politik tertentu, hasilnya bisa berbeda.

Ini memerlukan pemahaman mendalam tentang dinamika politik yang lebih luas dan komitmen untuk menjaga integritas demokrasi. Jokowi dihadapkan pada tugas yang sulit untuk menavigasi kepentingan politik yang kuat sambil memastikan demokrasi tetap hidup dan berfungsi sesuai dengan aspirasi rakyat.

Joyogrand, Malang, Fri', August 23, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun