Tarik-Ulur Otoritarianisme dan Demokrasi Terbuka
Di Indonesia, kekuasaan adalah seuatu yang tak terbagi, kata MAW Brouwer suatu ketika. Mengapa demikian. Karena kalau dibagi kekuasaan itu menjadi terbatas. Dan si Raja tak bisa menjalankan Kedaulatan mutlak tuanku.
Ini adalah pandangan kritis terhadap sifat kekuasaan yang terpusat dan otoriter, yang sering terlihat dalam pemerintahan otoriter seperti di era Orde Baru Soeharto. Dalam konteks ini, Brouwer menyoroti kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan yang absolut dan tak terbagi sebagai cara untuk menjaga kendali penuh atas pemerintahan dan rakyat.
Di bawah Orde Baru, Soeharto memegang kendali yang sangat kuat atas semua aspek pemerintahan. Kekuasaan tidak dibagi antara lembaga-lembaga negara atau pemerintahan daerah, melainkan terkonsentrasi pada presiden dan lingkaran dekatnya. Hal ini memungkinkan Soeharto untuk menjalankan kekuasaan tanpa banyak perlawanan atau hambatan dari pihak lain.
Ketika kekuasaan dibagi, biasanya ada sistem checks and balances yang berfungsi untuk mengawasi dan mengendalikan kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Namun, dengan kekuasaan yang tak terbagi, kontrol tersebut menjadi lemah atau bahkan tidak ada, memungkinkan penguasa untuk bertindak sewenang-wenang tanpa ada konsekuensi nyata.
Pernyataan Brouwer bisa kita lihat sebagai kritik terhadap sistem otoriter di mana kekuasaan absolut seringkali berujung pada penyalahgunaan, korupsi, dan penindasan. Di penghujung era Orde Baru, banyak intelektual, aktivis, dan rakyat mulai menyadari bahaya dari kekuasaan yang tidak terbatas dan mulai mendorong perubahan menuju demokrasi yang lebih terbuka dan transparan.
Pernyataan Brouwer juga bisa dilihat dalam konteks sejarah dan budaya kekuasaan di Indonesia, di mana model kepemimpinan tradisional seperti kerajaan seringkali bersifat sentralistik dengan raja yang memegang kekuasaan absolut. Hal ini menciptakan pola kekuasaan yang cenderung bertahan hingga masa modern.
Secara keseluruhan, pernyataan ini menggambarkan kritik tajam terhadap sistem kekuasaan yang mengedepankan sentralisasi dan otoritarianisme, yang di penghujung era Orde Baru mulai dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia yang menginginkan perubahan menuju pemerintahan yang lebih demokratis dan akuntabel.
Orba pun kemudian menghilang dari pentas Sejarah. Muncullah era yang disebut Reformasi. Sayangnya, setelah era reformasi berjalan beberapa dekade, muncul kembali fenomena kekuasaan tak boleh lagi dibagi berlebihan. Kita lihat misalnya fenomena pilkada 2024 sekarang, Dimana orang sibuk menjagokan jagoan yang sebetulnya tak terlalu ambil pusing dengan Parpol. Maka muncul jagoan KIM plus akan melawan kotak kosong, karena hanya Nasdem yang mengusung Anies Baswedan si jagoan yang tak ambil pusing dengan Parpol.
Tak lama kemudian lahirlah Keputusan MK yang melabrak tentang thresh hold partai pengusung calon, yang semula 20% menjadi cukup hanya 7,5%, sehingga partai kecil yang tak punya kursi di legislatif pun dapat mencalonkan jagoannya.