Kudatuli 1996 Â Belum Bisa Final Sebagai Hari Kelam Nasional
Peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 adalah salah satu peristiwa politik penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada 27 Juli 1996.
Pada awal 1990-an, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengalami konflik internal antara kubu Megawati Soekarnoputri dan kubu Suryadi. Megawati, puteri Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Megawati mendapatkan dukungan luas dari masyarakat sebagai simbol oposisi terhadap pemerintah otoriter. Pemerintah Soeharto merasa terancam oleh popularitas Megawati dan mencoba untuk menggantikannya dengan Suryadi sebagai ketua partai.
Pada 27 Juli 1996, terjadi penyerbuan terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, oleh kelompok pendukung Suryadi dengan dukungan dari aparat keamanan. Tujuan dari serangan ini adalah untuk mengambil alih kantor partai yang saat itu dikuasai oleh pendukung Megawati.
Penyerangan ini memicu kerusuhan besar di Jakarta. Pendukung Megawati dan masyarakat yang simpatik terhadap perjuangannya terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Kerusuhan menyebar ke berbagai bagian kota, mengakibatkan kerusakan properti, penangkapan, dan korban luka-luka.
Peristiwa Kudatuli meningkatkan simpati publik terhadap Megawati dan oposisi terhadap pemerintah Soeharto. Hal ini mendorong konsolidasi kelompok-kelompok pro-demokrasi dan gerakan reformasi.
Peristiwa ini juga menarik perhatian internasional, yang semakin memberikan tekanan pada rezim Soeharto terkait pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi.
Kudatuli dianggap sebagai salah satu peristiwa yang menguatkan momentum menuju gerakan reformasi 1998, yang akhirnya menggulingkan Soeharto dari kekuasaan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan penerus dari PDI pro-Megawati, secara rutin memperingati peristiwa Kudatuli setiap tahunnya. Peringatan ini biasanya diadakan untuk mengenang perjuangan demokrasi dan komitmen partai terhadap reformasi politik di Indonesia.
Pada peringatan Kudatuli belum lama ini, PDIP mengadakan acara di kantor DPP PDIP Jakarta. Acara ini dihadiri oleh para petinggi partai dan simpatisan, dan dijadikan momen refleksi terhadap perjalanan demokrasi Indonesia serta peran PDIP dalam memperjuangkannya.
Kudatuli menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme dan korupsi rezim Orde Baru. Peristiwa ini mengingatkan tentang pentingnya demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan politik di Indonesia. Kudatuli juga menegaskan posisi Megawati sebagai salah satu tokoh penting dalam politik Indonesia dan berperan dalam transisi demokrasi yang terjadi kemudian.
Peristiwa Kudatuli menandai titik balik dalam sejarah politik Indonesia dan berkontribusi signifikan terhadap perubahan politik yang terjadi pada akhir dekade 1990-an.
Mengutip detiknews edisi  27  Juli 2024, Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyebut peristiwa Kudatuli bisa juga menimpa partai apa pun.
"PDIP mengalami serbuan secara fisik, mengalami tekanan. Kita merespons ke pengadilan dan seterusnya sampai kita menang. Tapi ingat, dalam bentuk lain, Kudatuli bisa terjadi pada parpol apa pun dan di mana pun," kata Ganjar mengingatkan.
Kudatuli adalah contoh nyata dari tekanan politik yang bisa dihadapi oleh partai mana pun. Ganjar menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap ancaman serupa di masa mendatang, terutama bagi partai-partai yang berusaha menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Disinyalir ada partai-partai atau pihak-pihak tertentu yang saat ini tunduk pada kekuasaan dan tidak berani bersuara. PDIP dalam konteks ini mengisyaratkan adanya degradasi demokrasi di Indonesia, di mana kebebasan berpendapat dan keberanian untuk melawan ketidakadilan semakin terkikis.
PDIP dalam kesempatan ini meminta pemerintah (regime Jokowi maksudnya) untuk secara resmi mengakui peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat. PDIP sudah lama berjuang untuk mendapatkan pengakuan bahwa peristiwa Kudatuli di masa lalu adalah "pelanggaran HAM berat".
Dalam pesannya Ganjar menekankan pentingnya keadilan sejarah dan pengakuan formal atas penderitaan yang dialami oleh korban. Ia pun mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam memastikan agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Pesan ini tidak terlepas dari dukungan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Sebagai pemimpin partai, Megawati dipastikan berada di belakang penyampaian pesan ini, mengingat pentingnya peristiwa Kudatuli dalam sejarah partai dan komitmen PDIP terhadap demokrasi. Megawati sendiri adalah simbol perjuangan demokrasi di Indonesia, dan peringatan Kudatuli adalah bagian dari narasi perjuangan PDIP.
Sayangnya, peringatan kali ini berada di tikungan tajam dimana Jokowi sebagai kader terbaik PDIP telah berpisah dari PDIP dengan segala spekulasi terkait di dalamnya.
Sikap politik PDIP terhadap situasi politik saat ini, adalah menegaskan posisinya sebagai partai yang pro-demokrasi dan anti-otoritarianisme. Pesan PDIP kali ini bisa dilihat sebagai peringatan bagi pihak-pihak yang mungkin mencoba untuk mengulangi tindakan represif terhadap partai-partai politik. Dengan pesan ini, PDIP berusaha menggalang dukungan publik untuk mendukung agenda reformasi dan perlindungan demokrasi. Mereka menyadari dukungan rakyat adalah kunci untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Dalam konteks sosial-politik, dukungan publik dapat memberikan tekanan tambahan pada pemerintah dan lembaga terkait untuk bertindak sesuai dengan harapan rakyat.
Peringatan Kudatuli 2024 juga menampilkan serangkaian acara simbolis seperti pembacaan puisi karya Wiji Thukul dan penaburan bunga, yang bertujuan untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para aktivis pro-demokrasi. Acara ini tidak hanya bersifat seremonial tetapi juga sebagai momen refleksi dan motivasi untuk melanjutkan perjuangan demi tegaknya demokrasi di Indonesia.
Masalahnya bisakah Presiden Jokowi mengakomodasi permintaan PDIP untuk mengakui peristiwa Kudatuli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat, terutama dengan latar belakang politik yang terkait dengan pergantian estafet kekuasaan ke Prabowo Soebianto.
PDIP memiliki sejarah konflik dengan Orde Baru, di mana Megawati Soekarnoputri menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Kudatuli adalah momen penting yang menguatkan oposisi terhadap rezim tersebut.
Sementara Prabowo Soebianto, calon penerus estafet kekuasaan, memiliki sejarah panjang di militer dan pernah menjabat sebagai Pangkostrad. Perannya selama periode akhir Orde Baru dianggap sebagai faktor sensitif dalam konteks ini.
Pemerintahan Jokowi sejauh ini berusaha untuk mendorong rekonsiliasi nasional dan penegakan HAM, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan politik. Ada beberapa inisiatif di bawah pemerintahan Jokowi untuk menangani kasus pelanggaran HAM di masa lalu, tetapi belum ada langkah signifikan untuk menempatkan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat secara resmi.
Sebagai partai yang di masa pra-Pilpres 2024 mendukung Jokowi, PDIP tentu tidak lagi memiliki pengaruh signifikan dalam pemerintahan saat ini. Namun, kepekaan politik terhadap pergantian kekuasaan bisa saja mempengaruhi langkah-langkah yang akan diambil.
Dengan kemungkinan Prabowo menjadi penerus, dinamika koalisi politik yang mencakup dukungan lintas partai, termasuk dari PDIP, bisa mempengaruhi keputusan terkait isu-isu sensitif seperti pengakuan Kudatuli.
Mengakui Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat dapat menimbulkan ketegangan dengan kalangan militer dan pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan Orde Baru. Pengakuan ini bisa memperumit hubungan politik, terutama jika Prabowo berperan dalam transisi kekuasaan. Dengan kata lain menyatakan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat dapat dianggap sebagai kritik tidak langsung terhadap era di mana Prabowo aktif di militer.
Pengakuan resmi memerlukan investigasi menyeluruh dan bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran HAM tersebut. Komnas HAM harus memiliki bukti dan rekomendasi yang kuat untuk mendukung klaim tersebut, yang memerlukan proses hukum yang panjang dan seringkali dipolitisasi.
Tanpa rekonsiliasi Jokowi-Mega, sulit berharap jauh terhadap sang Presiden yang tinggal 3 bulan lagi masa kekuasaannya, bahkan pasca dikukuhkannya Prabowo sebagai presiden terpilih Indonesia, pada saat itu pula regime Jokowi sesungguhnya sudah demisioner, semua yang dilakukan Jokowi sampai dengan perayaan 17 Agustus nanti di IKN hanyalah peran simbolis saja. Di sisi yang berlawanan kelompok-kelompok yang merasa tersudutkan dengan pengakuan tersebut, termasuk dari kalangan yang masih loyal terhadap ideologi Orde Baru, masih kuat pengaruhnya. Mengakui Kudatuli now akan menimbulkan polarisasi politik dan sosial, yang mungkin tidak diinginkan dalam situasi politik yang sudah kompleks saat ini.
Pemerintah bisa saja memberikan dukungan simbolis terhadap upaya pengakuan ini, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan resmi atau memfasilitasi diskusi lebih lanjut mengenai hal tersebut, misalnya mempromosikan rekonsiliasi nasional yang lebih luas, termasuk langkah-langkah non-formal untuk mengakui penderitaan korban Kudatuli; melakukan dialog dengan pihak militer dan partai politik untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak, terutama dalam menjelang transisi kekuasaan.
Kemungkinan Jokowi mengakomodasi permintaan PDIP terkait pengakuan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat sangat dipengaruhi oleh berbagai dinamika politik dan pertimbangan sensitivitas terhadap peralihan kekuasaan ke Prabowo. Meski ada tekanan dari PDIP, pemerintah perlu menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan menjaga stabilitas nasional. Langkah konkret untuk mengakui Kudatuli mungkin tidak akan dilakukan secara penuh dalam jangka pendek, namun pemerintah bisa mengambil langkah simbolis atau mendukung inisiatif rekonsiliasi yang lebih luas.
Keputusan ini akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah dapat mengelola hubungan dengan berbagai pihak yang terlibat dan merespons tuntutan publik untuk penegakan HAM dan keadilan sejarah. Pengakuan ini, jikapun harus dilakukan, harus dirancang secara hati-hati untuk meminimalkan risiko konflik dan polarisasi lebih lanjut.
Apa boleh buat, Kudatuli 1996 belum bisa difinalkan sebagai Hari Kelam Nasional menuju fajar nan cerah di negeri nyiur melambai ini.
Joyogrand, Malang, Mon', July 29, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H