Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudatuli 1996 Belum Bisa Final Sebagai Hari Kelam Nasional

29 Juli 2024   18:49 Diperbarui: 29 Juli 2024   18:49 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa Kudatuli 1996 belum lama ini di Jakarta. (Sumber : cnnindonesia.com)

Sikap politik PDIP terhadap situasi politik saat ini, adalah menegaskan posisinya sebagai partai yang pro-demokrasi dan anti-otoritarianisme. Pesan PDIP kali ini bisa dilihat sebagai peringatan bagi pihak-pihak yang mungkin mencoba untuk mengulangi tindakan represif terhadap partai-partai politik. Dengan pesan ini, PDIP berusaha menggalang dukungan publik untuk mendukung agenda reformasi dan perlindungan demokrasi. Mereka menyadari dukungan rakyat adalah kunci untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Dalam konteks sosial-politik, dukungan publik dapat memberikan tekanan tambahan pada pemerintah dan lembaga terkait untuk bertindak sesuai dengan harapan rakyat.

Peringatan Kudatuli 2024 juga menampilkan serangkaian acara simbolis seperti pembacaan puisi karya Wiji Thukul dan penaburan bunga, yang bertujuan untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para aktivis pro-demokrasi. Acara ini tidak hanya bersifat seremonial tetapi juga sebagai momen refleksi dan motivasi untuk melanjutkan perjuangan demi tegaknya demokrasi di Indonesia.

Masalahnya bisakah Presiden Jokowi mengakomodasi permintaan PDIP untuk mengakui peristiwa Kudatuli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat, terutama dengan latar belakang politik yang terkait dengan pergantian estafet kekuasaan ke Prabowo Soebianto.

PDIP memiliki sejarah konflik dengan Orde Baru, di mana Megawati Soekarnoputri menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Kudatuli adalah momen penting yang menguatkan oposisi terhadap rezim tersebut.

Sementara Prabowo Soebianto, calon penerus estafet kekuasaan, memiliki sejarah panjang di militer dan pernah menjabat sebagai Pangkostrad. Perannya selama periode akhir Orde Baru dianggap sebagai faktor sensitif dalam konteks ini.

Pemerintahan Jokowi sejauh ini berusaha untuk mendorong rekonsiliasi nasional dan penegakan HAM, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan politik. Ada beberapa inisiatif di bawah pemerintahan Jokowi untuk menangani kasus pelanggaran HAM di masa lalu, tetapi belum ada langkah signifikan untuk menempatkan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat secara resmi.

Sebagai partai yang di masa pra-Pilpres 2024 mendukung Jokowi, PDIP tentu tidak lagi memiliki pengaruh signifikan dalam pemerintahan saat ini. Namun, kepekaan politik terhadap pergantian kekuasaan bisa saja mempengaruhi langkah-langkah yang akan diambil.

Dengan kemungkinan Prabowo menjadi penerus, dinamika koalisi politik yang mencakup dukungan lintas partai, termasuk dari PDIP, bisa mempengaruhi keputusan terkait isu-isu sensitif seperti pengakuan Kudatuli.

Mengakui Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat dapat menimbulkan ketegangan dengan kalangan militer dan pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan Orde Baru. Pengakuan ini bisa memperumit hubungan politik, terutama jika Prabowo berperan dalam transisi kekuasaan. Dengan kata lain menyatakan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat dapat dianggap sebagai kritik tidak langsung terhadap era di mana Prabowo aktif di militer.

Pengakuan resmi memerlukan investigasi menyeluruh dan bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran HAM tersebut. Komnas HAM harus memiliki bukti dan rekomendasi yang kuat untuk mendukung klaim tersebut, yang memerlukan proses hukum yang panjang dan seringkali dipolitisasi.

Tanpa rekonsiliasi Jokowi-Mega, sulit berharap jauh terhadap sang Presiden yang tinggal 3 bulan lagi masa kekuasaannya, bahkan pasca dikukuhkannya Prabowo sebagai presiden terpilih Indonesia, pada saat itu pula regime Jokowi sesungguhnya sudah demisioner, semua yang dilakukan Jokowi sampai dengan perayaan 17 Agustus nanti di IKN hanyalah peran simbolis saja. Di sisi yang berlawanan kelompok-kelompok yang merasa tersudutkan dengan pengakuan tersebut, termasuk dari kalangan yang masih loyal terhadap ideologi Orde Baru, masih kuat pengaruhnya. Mengakui Kudatuli now akan menimbulkan polarisasi politik dan sosial, yang mungkin tidak diinginkan dalam situasi politik yang sudah kompleks saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun