Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

ICJ dan Sandiwara Keadilan di Den Haag

24 Juli 2024   18:20 Diperbarui: 24 Juli 2024   18:20 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ICJ di Den Haag, Netherland. (Sumber : https://www.opb.org)

ICJ dan Sandiwara Keadilan di Den Haag

Micah Halpern adalah suara yang signifikan dalam diskusi mengenai Timur Tengah di Amerika Serikat. Dia dikenal karena pandangannya yang kuat dan komitmennya untuk memperjuangkan isu-isu yang dia yakini penting.

Dalam kolom terbarunya di newsmax.com, ia menyoroti kehebohan sejumlah negara lantaran keputusan ICJ atau Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag.

Pada bulan Januari 2024 lalu ICJ memutuskan melawan Israel. ICJ menyarankan Israel untuk bertindak dengan cara yang dapat mencegah genosida.

Menurut Halpern Itu adalah keputusan yang aneh. Israel sebenarnya tidak melakukan genosida, tetapi menurut pendapat ICJ, ada kondisi yang dapat menyebabkan genosida dan mereka ingin Israel mencoba mencegah hal itu terjadi.

Sekarang, sekali lagi, pada 19 Juli 2024, ICJ yang sama memutuskan melawan Israel. Kali ini, ada kecaman keras terhadap Israel, dimana ICJ memutuskan aneksasi Israel, kebijakan Israel, dan kendali Israel di wilayah Israel yang banyak diplesetkan sebagai tanah Palestina itu, sebagai tindakan diskriminatif terhadap warga Arab-Palestina dan pelanggaran hukum internasional.

Keputusan ICJ bulat. Bukan pertama, kedua, atau ketiga kalinya hal ini terjadi, dan yakinlah ini bukan yang terakhir.

Sebagai pengingat, Israel tidak mengakui pengadilan tersebut dan karenanya, Israel tidak membela diri, tetapi mengajukan catatan tertulis yang menegaskan proses pengadilan ini tidak mempertimbangkan kebutuhan keamanan Israel.

Keputusan ICJ panjangnya 80 halaman. Yang sangat mengejutkan, kata Halpern, ketua pengadilan tersebut adalah Nawaf Salam dan Salam bukanlah hakim yang tidak memihak. Dari tahun 2007 hingga 2017, Salam menjabat sebagai duta besar Lebanon untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selama masa jabatannya sebagai duta besar, Salam berulang kali memberikan suara untuk mengutuk Israel. Salam memberikan suara untuk mengutuk Israel sebanyak 210 kali.

UN Watch adalah organisasi non-pemerintah yang independen, yang memiliki mandat untuk memantau Perserikatan Bangsa-Bangsa. UN Watch merilis beberapa pernyataan yang dibuat oleh Salam saat menjabat sebagai duta besar.

Pada tahun 2008, Salam menyampaikan pidato yang menuduh "organisasi Yahudi teroris" melakukan "pembantaian terorganisasi." Pada tahun 2015, ia menyebut Israel sebagai "Kemenangan pilihan rasis dan kolonialis yang mencolok". Opini itu dipostingnya di Twitter.

Pada bulan Juni 2015, ia mencuitkan "#PendudukanIsrael di #Gaza & #TepiBarat: ULANG TAHUN YANG BURUK BAGI ANDA - 48 TAHUN PENDUDUKAN". Ia juga menulis "Israel harus menghentikan kekerasan dan mengakhiri pendudukan" dan "menggambarkan para pengkritik kebijakan Israel sebagai antisemit adalah upaya untuk mengintimidasi dan mendiskreditkan mereka, yang kami tolak."

Salah satu alasan Israel tidak mengakui Mahkamah Internasional, kata Halpern,  adalah karena hakim utama ICJ, dalam perkara melawan Israel, secara terang-terangan dan tanpa malu-malu, bias terhadap Israel. Itulah salah satu alasan Israel tidak mengakui ICJ.

Sisi baik dari putusan terhadap Israel ini, satu-satunya unsur positif dalam sandiwara keadilan ini, adalah Mahkamah Internasional tersebut tidak memiliki kekuasaan apa pun, tegas Halpern. Mahkamah ini adalah pengadilan pengucap fatwa. Dan kasus terhadap Israel ini diajukan atas usulan Arab-Palestina --- yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, oleh karena itu, tidak memiliki kedudukan hukum.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres-lah yang membawa kasus ini ke ICJ atas nama Arab-Palestina. Guterres kini akan membawa kembali keputusan ICJ ke Majelis Umum yang, sebagai catatan, seperti ICJ, juga tidak memiliki kewenangan.

Sidang Umum tidak lebih dari sekadar kelompok yang beranggotakan 193 negara yang mengeluarkan resolusi. Tidak mengherankan, banyak dari resolusi tersebut ditujukan terhadap Israel.

Majelis Umum, tanpa diragukan lagi, meloloskan lebih banyak resolusi anti-Israel daripada resolusi terhadap negara lain mana pun di seluruh dunia.

Pemerintah Israel mengeluarkan kecaman yang dapat diprediksi atas putusan tersebut. Kemudian Yerusalem menambahkan bahwa proses hukum yang dilakukan Arab-Palestina merupakan taktik untuk memberikan tekanan internasional kepada Israel agar memaksakan penyelesaian politik atas konflik yang hanya dapat diselesaikan secara diplomatis.

Israel mengatakan keputusan ini akan merusak proses perdamaian, sebuah proses yang telah terhenti selama lebih dari satu dekade.

Pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor perdana menteri Israel berbunyi : "Bangsa Yahudi bukanlah penakluk di tanah mereka sendiri - tidak di ibu kota abadi kami, Yerusalem, dan tidak di tanah leluhur kami di Yudea dan Samaria atau yang sering disebut sebagai tepi barat ... Keputusan palsu di Den Haag itu takkan pernah mendistorsi kebenaran sejarah ini dan dengan demikian legalitas pemukiman Israel di semua wilayah tanah air kami tidak dapat diganggu gugat."

Sementara itu, penasihat Presiden Arab-Palestina Mahmoud Abbas, Riad Maliki, menyebut kasus tersebut sebagai "momen penting bagi Arab-Palestina, bagi keadilan, dan bagi hukum internasional." Ia menyatakan negara-negara lain kini harus "menegakkan kewajiban yang jelas" yang digariskan oleh pengadilan. "Tidak boleh ada tindakan apa pun ... untuk mendukung pendudukan ilegal Israel."

Itulah tekanan internasional terhadap Israel yang dimaksud oleh kantor perdana menteri Israel.

Bias Hakim dan proses hukum

Pandangan Micah Halpern sangatlah kritis terhadap badan internasional tersebut, serta menyoroti bias politik yang sangat-sangat terasa dalam proses hukum yang dilakukan oleh ICJ dan PBB terhadap Israel.

Halpern mengkritik ketua hakim ICJ, Nawaf Salam, karena dianggap memiliki sejarah bias terhadap Israel. Dia mencatat rekam jejak Salam sebagai duta besar Lebanon di PBB yang sering mengutuk tindakan Israel.

Kritikannya tentang bias hakim sangatlah relevan dalam konteks netralitas hukum. Dalam sistem hukum internasional, integritas dan ketidakberpihakan hakim adalah krusial untuk menjaga kepercayaan semua pihak terhadap hasil putusan. Kritik ini menunjukkan perlunya lebih banyak transparansi dan objektivitas dalam penunjukan hakim dalam kasus yang sangat sensitif dan berpotensi kontroversial seperti ini.

Sandiwara keadilan

Halpern menyebut keputusan ICJ sebagai "sandiwara keadilan" karena dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan pengadilan tersebut hanyalah memberikan saran.

ICJ memiliki peran sebagai badan penasehat dalam banyak kasus, terutama yang berkaitan dengan pendapat hukum dan bukan sengketa antar negara. Keputusan ICJ ini tidak mengikat secara hukum, tetapi hanya membawa bobot moral sepihak yang diharap dapat mempengaruhi opini internasional dan kebijakan negara-negara terkait. Lihat misalnya Indonesia dan Malaysia yang sudah seperti cacing kepanasan, bahkan China tiba-tiba menjelma seakan Nabi dengan menggandeng Fatah dan Hamas di kedua sisinya.

Argumen kedaulatan

Israel menolak putusan ICJ dengan menegaskan hak historis dan legal mereka atas wilayah yang dipermasalahkan, seperti Yerusalem, Yudea, dan Samaria (Tepi Barat).

Argumen kedaulatan ini adalah bagian dari narasi nasional Israel yang menegaskan hak historis dan religius mereka atas tanah tersebut. Pernyataan ini menyoroti ketegangan yang sedang berlangsung antara klaim historis dan legal dengan konsensus internasional yang bersifat sepihak

Tekanan Internasional

Halpern berpendapat keputusan ini merupakan taktik politik untuk menekan Israel agar menerima solusi politik tertentu terhadap konflik tersebut.

Dalam banyak kasus, keputusan internasional bisa digunakan sebagai alat untuk menekan pihak tertentu dalam negosiasi konflik. Namun, ini juga bisa dilihat sebagai langkah untuk memastikan solusi yang dicapai adil dan sesuai dengan standar hukum internasional. Proses perdamaian di Timur Tengah sangat kompleks dan telah berlangsung lama, dan banyak yang percaya tekanan internasional diperlukan untuk memajukan dialog menuju penyelesaian damai, tetapi seyogyanya tidak sepihak tentunya.

Pernyataan Arab-Palestina

Pernyataan dari pihak Arab-Palestina, seperti yang diungkapkan oleh Riad Maliki, menyoroti pentingnya keputusan ICJ sebagai kemenangan bagi hukum internasional dan keadilan.

Opini Micah Halpern menggambarkan perspektif yang sangat skeptis terhadap peran dan motif ICJ dalam konteks konflik Israel-Arab Palestina. Kritik terhadap bias dan motivasi politik dari keputusan-keputusan internasional memang penting dalam diskusi ini, namun perlu diingat pandangan ini adalah salah satu dari banyak perspektif yang ada dalam debat yang sangat kompleks dan multi-dimensional.

Inggeris dan Perancis

Inggeris dan Perancis seharusnya tampil menengahinya karena kedua negara imperialis tempo doeloe inilah yang membagi tanah legacy Israel itu yang sebagiannya untuk orang Arab. Dan mereka juga harus menjelaskan tanah itu secara keseluruhan adalah tanah legacy Israel. Kalaupun namanya berubah jadi Palestina. Itu sudah dilakukan imperium Romawi sejak 2000 tahun lalu dalam rangka menghapus nama Israel dari peta bumi. Karenanya ICJ juga harus mengadakan pengadilan lain yang tersendiri bahwa Palestina itu tak ada dalam kosa kata Arab. Itu hanya ada dalam kosa kata Greek kuno. Orang Arab  didorong ke tanah legacy Israel, itu semata hanya karena Inggeris dan Perancis hendak mendekolonisasinya tak lama setelah Perang Dunia II berakhir.

Perjanjian Sykes-Picot (1916)

Dalam rangka memperluas perspektif, kedua negara imperialis utama tempo doeloe itu perlu dihadirkan.

Mari kita lihat Perjanjian Sykes-Picot, yaitu perjanjian rahasia antara Inggeris dan Perancis pada tahun 1916 yang membagi wilayah Kekaisaran Ottoman di Timur Tengah menjadi zona pengaruh kolonial.

Perjanjian ini menciptakan batas-batas politik yang tidak sesuai dengan kelompok etnis dan agama yang ada di wilayah tersebut, dan menjadi akar banyak konflik di Timur Tengah modern, termasuk konflik Israel-Arab Palestina.

Deklarasi Balfour (1917)

Deklarasi Balfour adalah pernyataan oleh pemerintah Inggeris yang mendukung pendirian "national home for the Jewish people" di tanah Israel atau lebih banyak diplesetkan sebagai tanah Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman.

Deklarasi ini meningkatkan migrasi Yahudi ke tanah Palestina dan memicu ketegangan dengan penduduk Arab eks Mesir dan eks Yordan yang didotong untuk tinggal disana di era Ottoman dan di era Inggeris. Ini adalah salah satu titik awal dari konflik antara komunitas Yahudi dan Arab di wilayah tersebut.

Mandat Inggeris di Palestina

Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggeris untuk mengelola Palestina, yang kemudian berlangsung hingga 1948.

Inggeris menghadapi tekanan dari kedua belah pihak: Yahudi dan Arab. Inggeris mencoba mengatur batas migrasi dan hak-hak tanah, tetapi ketegangan terus meningkat, berujung pada pemberontakan Arab dan konflik dengan komunitas Yahudi.

Pembagian tanah dan pembentukan Israel

Setelah Perang Dunia II, Inggeris memutuskan untuk menarik diri dari Palestina, dan masalah ini diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB mengusulkan rencana pembagian Palestina pada tahun 1947, yang diterima oleh Yahudi tetapi ditolak oleh negara-negara Arab.

Israel mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1948, yang segera diserbu oleh negara-negara Arab tetangganya. Konflik ini mengakibatkan banyak orang Arab-Palestina eksodus ke negara-negara sekitar. Itulah fondasi utama dari konflik yang berlanjut hingga hari ini.

Inggeris dan Perancis memiliki peran penting dalam membentuk peta politik Timur Tengah saat ini, tetapi keterlibatan langsung mereka dalam proses perdamaian Israel-Arab Palestina lebih terbatas dibandingkan dengan pengaruh Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam beberapa dekade terakhir.

Nama "Palestina"

Nama "Palestina" berasal dari istilah "Philistia" yang digunakan oleh orang-orang Yunani kuno untuk menggambarkan wilayah yang dihuni oleh bangsa Filistin. Nama ini kemudian digunakan oleh Kekaisaran Romawi setelah pemberontakan Yahudi sebagai cara untuk menghapus jejak Israel kuno dari peta bumi.

Perdebatan tentang penggunaan nama "Palestina" sering kali muncul dalam diskusi mengenai legitimasi klaim atas tanah tersebut, bahwa orang Arab tak berhak menyandang nama Palestina. Bangsa Palestina sudah punah 1000 tahun sebelum masehi. Mereka tetaplah Arab yang berasal dari tanah Arab dan bukan berasal dari tanah Israel.

Dampak dekolonisasi

Setelah Perang Dunia II, banyak negara kolonial mulai melepaskan kekuasaan mereka di Timur Tengah, termasuk Inggeris dan Perancis. Proses dekolonisasi ini sering kali meninggalkan kekosongan kekuasaan dan ketidakstabilan yang mempengaruhi perkembangan politik di wilayah tersebut.

Dekolonisasi memang berkontribusi terhadap peningkatan ketegangan di Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Arab Palestina. Namun, banyak faktor lain, termasuk dinamika politik lokal dan regional, juga berperan dalam membentuk situasi saat ini.

Peran Mahkamah Internasional (ICJ)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, ICJ lebih berfungsi sebagai badan penasehat dan tidak memiliki kekuatan untuk memberlakukan keputusan yang mengikat. Namun, Keputusan ICJ bisa saja mempengaruhi opini internasional dan meningkatkan tekanan diplomatik pada pihak-pihak yang terlibat.

Ada argumen bahwa ICJ dapat mempertimbangkan lebih dalam konteks sejarah dan legal dalam memberikan putusan terkait isu-isu seperti klaim tanah dan hak nasional. Namun, tanggungjawab utama untuk mencapai perdamaian terletak pada negosiasi langsung antara pihak-pihak yang terlibat, dengan dukungan dan fasilitasi dari komunitas internasional.

Inggeris dan Perancis memiliki peran sejarah yang signifikan dalam membentuk konflik Israel-Arab Palestina melalui kebijakan kolonial mereka. Kendati demikian, konflik ini adalah hasil dari berbagai faktor yang kompleks, termasuk aspirasi nasional, kepentingan politik, dan dinamika regional. Meskipun keduanya mungkin memiliki tanggungjawab historis, penyelesaian konflik ini memerlukan pendekatan yang lebih luas dan inklusif, melibatkan berbagai aktor internasional dan lokal dalam mencari solusi yang adil dan damai.

Jadi bukan seperti opini Hikmawanto bahwa perlu ada negara yang harus tegas dan berani memukul mundur Israel dari tanah tersebut. Pertanyaannya siapa yang mau dipukul dari tanah airnya sendiri. Dan negara mana yang mau memukul mundur Israel hingga terjungkal dan tenggelam ke Laut Tengah. Irankah itu.

Saya pikir dunia sebaiknya sudah harus memikirkan kemana orang-orang Arab dengan nama Palestina ini ditaruh dengan benar. Ke Yordankah, atau ke Mesirkah. Sayang, kedua negara Arab ini tak mau menerima pengungsi saudaranya sendiri. Bagaimana kalau ke Syria. Saya kira Inilah yang terbaik, karena Assad sudah semakin pikun jadi boneka Syiah Iran sejak musim semi Arab 1 dekade lalu.

Pada akhirnya, keputusan ICJ dan reaksi terhadapnya mencerminkan dinamika global yang sedang berlangsung, di mana hukum internasional, hak asasi manusia, dan kepentingan nasional berinteraksi dalam konteks yang penuh dengan ketegangan dan tantangan. Pandangan Halpern memberikan wawasan penting tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dipandang dari sudut pandang tertentu, dan karenanya perlu dijaga keseimbangan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang situasi ini.

Lihat :

https://www.newsmax.com/micahhalpern/israel-international-court/2024/07/22/id/1173537/?s=09

Joyogrand, Malang, Wed', July 24, 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun