Aggressive Behavior dan Dampak Antisosial dari Konflik Etnis-Politik
Jalan-jalan membaca perpustakaan online Wiley cukup menarik, karena disitu banyak hasil penelitian dari berbagai area yang pernah terjadi kekerasan, ntah itu di middle-east, Afrika, Asia dan Amerika latin.
Saya pilih kajian paparan kekerasan etnis-politik secara kumulatif di masa lalu dan bersamaan di kalangan pemuda Israel dan Arab-Palestina. Para peneliti memprediksi perilaku kekerasan yang serius dan dampak antisosial terhadap kelompok dalam dan luar kelompok.Â
Mereka mengumpulkan empat gelombang data dari 162 pemuda Israel dan 400 pemuda Arab-Palestina (tiga kelompok usia : 8, 11, dan 14 tahun) dan orangtua mereka. Tiga gelombang pertama merupakan penilaian tahunan berturut-turut, dan gelombang keempat dilakukan 4 tahun setelah gelombang ketiga, dengan kelompok usia masing-masing berusia 14, 17, dan 20 tahun.
Berdasarkan model sosial-kognitif-ekologis dari perkembangan agresi (Dubow et al., 2009, Clinical Child and Family Psychology Review, 12, 113-126; Huesmann, 1998) dan model pengembangan keyakinan tentang "orang lain, " (Bar-Tal, 2004, European Journal of Social Psychology, 34, 677-701; Tajfel & Turner, 1986), diperkirakan dampak kekerasan serius yang ditujukan baik kepada kelompok dalam maupun kelompok luar akan berkaitan dengan keduanya. Paparan kekerasan politik etnis yang terjadi secara bersamaan dan terus-menerus di masa lalu.
Model regresi bivariat (sebelum memasukkan kovariat) menunjukkan baik paparan kumulatif awal terhadap kekerasan etnis-politik selama masa kanak-kanak dan remaja maupun paparan bersamaan selama masa remaja akhir/masa dewasa awal meramalkan keenam dampak kekerasan dan antisosial yang serius.Â
Ketika peneliti menambahkan ke dalam model kovariat subkelompok etnis, usia, jenis kelamin, pendidikan orang tua, dan agresi fisik remaja sebelumnya, paparan terhadap kekerasan etnis-politik secara bersamaan masih secara signifikan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan keenam kekerasan serius dan kekerasan secara bersamaan.
Bentuk-bentuk perilaku antisosial tanpa kekerasan, dan keterpaparan kumulatif sebelumnya tetap berhubungan secara signifikan dengan tiga hal berikut : agresi fisik yang parah, berpartisipasi dalam demonstrasi yang disertai kekerasan, dan keseluruhan indeks perilaku kekerasan/antisosial.
Penelitian ini menunjukkan paparan kekerasan etnis-politik yang berlangsung terus-menerus dari masa kanak-kanak hingga remaja dan kekerasan yang terjadi bersamaan di masa remaja akhir atau awal dewasa, berkontribusi pada perilaku kekerasan dan antisosial yang serius. Hal ini menggarisbawahi pentingnya memahami dampak jangka panjang dan jangka pendek dari kekerasan etnis-politik terhadap perkembangan agresi dan perilaku antisosial di kalangan pemuda.
Kekerasan dogmatis
Jangan pula diabaikan kekerasan yang sudah berlangsung puluhan tahun di Israel erat kaitannya dengan ideologi atau dogma yang seakan tak bisa ditawar. Di kalangan anak-anak Arab-Palestina sejak kecil sudah ditanamkan bahwa bersembunyi di balik batu sekalipun orang Yahudi harus kita dapatkan dan kita musnahkan.Â
Di sisi sebelah anak-anak Yahudi sudah ditanamkan keyakinan bahwa tanah Palestina itu sesungguhnya adalah tanah legacy Israel sejak ribuan tahun lalu, dan nama itu kemudian diubah menjadi tanah Palestina oleh pemerintah Romawi, diikuti pemerintah kolonial Ottoman dan terakhir pemerintah kolonial  Inggeris  dan Perancis.
Mengubah mindset anak-anak dari kedua belah pihak dalam konflik Israel-Arab Palestina adalah tantangan yang sangat kompleks, mengingat betapa dalamnya ideologi dan dogma yang telah tertanam sejak usia dini. Proses ini memerlukan pendekatan yang multi-dimensi dan komprehensif.
Beberapa langkah yang dapat diambil dari perspektif psikologis dan sosial untuk membantu mengubah mindset tersebut sementara PBB dan dunia mengabaikannya selama ini, antara lain :
1. Pendidikan inklusif dan sejarah bersama
Mengembangkan kurikulum yang mencakup perspektif yang lebih seimbang tentang sejarah konflik, termasuk narasi dari kedua belah pihak, dapat membantu mengurangi prasangka dan meningkatkan pemahaman.
Implementasi program pendidikan yang menekankan pentingnya perdamaian, resolusi konflik, dan koeksistensi.
2. Interaksi antar kelompok
Program yang mempertemukan anak-anak dari kedua belah pihak untuk bekerjasama dalam proyek bersama dapat membantu mengurangi stereotip dan membangun hubungan positif.
Fasilitasi dialog antar-kelompok untuk membicarakan pengalaman dan perspektif masing-masing dengan tujuan membangun empati dan pemahaman.
3. Dukungan psikososial
Menyediakan layanan kesehatan mental untuk mengatasi trauma akibat kekerasan dan konflik, yang dapat membantu anak-anak mengembangkan coping mechanisms yang lebih sehat.
Mengajarkan keterampilan seperti empati, kontrol emosi, dan resolusi konflik untuk membantu anak-anak mengatasi perbedaan secara konstruktif.
4. Peran model panutan
Mempromosikan tokoh masyarakat yang mendukung perdamaian dan koeksistensi dapat memberikan contoh positif bagi anak-anak.
Menggunakan media untuk menyebarkan cerita-cerita positif tentang kerjasama dan koeksistensi antara orang Israel dan Arab-Palestina.
5. Lingkungan sosial yang mendukung
Mendukung organisasi dan komunitas yang bekerja untuk perdamaian dan dialog antar kelompok.
Mendorong kebijakan yang mempromosikan inklusivitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
6. Pendekatan berbasis komunitas
Melibatkan komunitas lokal dalam upaya perdamaian untuk memastikan solusi yang dikembangkan relevan dan diterima oleh masyarakat setempat.
Menyertakan keluarga dalam program pendidikan dan dukungan psikososial untuk memperkuat perubahan positif di rumah.
Proses perubahan mindset ini tidak akan terjadi secara instan dan memerlukan upaya jangka panjang yang berkelanjutan. Kesinambungan program, dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, serta komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat sangat penting untuk mencapai hasil yang diinginkan. Disinilah PBB harus mengubah diri bukan hanya menjadi corong "underdog", tapi corong keadilan dunia.
Mengubah mindset anak-anak dalam konflik yang sudah berlangsung lama adalah upaya yang memerlukan kombinasi dari pendidikan, interaksi sosial, dukungan psikologis, kebijakan yang mendukung, dan keterlibatan aktif dari seluruh lapisan di Kawasan middle-east. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan dan difasilitasi PBB, perubahan positif dapat dicapai meskipun tantangannya sangat besar.
Pemeran luar
Pemeran dari luar yang involved dalam konflik Israel-Arab Palestina seperti Indonesia misalnya. Pandangan Indonesia melalui pemerintahnya selalu bias atau tidak pernah netral. Dipastikan Indonesia pro Arab-Palestina tanpa mau tahu latar belakang konflik di sana.
Mengurangi pandangan bias terkait konflik Israel-Arab Palestina di kalangan mayoritas masyarakat Indonesia yang pro Arab-Palestina, memerlukan pendekatan psikologis yang komprehensif dan inklusif.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menerapkan pendekatan psikologis guna mengurangi bias tersebut :
1. Edukasi dan informasi yang seimbang
Mengintegrasikan materi yang memberikan perspektif seimbang tentang konflik Israel-Arab Palestina dalam kurikulum pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga universitas.
Mengajarkan konsep perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik melalui program pendidikan formal dan informal.
2. Media dan narasi positif
Mendorong media untuk menyajikan liputan yang lebih berimbang dan faktual tentang konflik, termasuk kisah-kisah dari kedua belah pihak.
Menyebarkan dokumenter dan film yang menunjukkan perspektif dari kedua sisi konflik, serta upaya-upaya perdamaian yang sudah dilakukan.
3. Dialog antar komunitas
Mengadakan forum dialog antar-agama dan antar-komunitas di Indonesia yang membahas isu-isu terkait konflik dengan cara yang konstruktif dan inklusif.
Mempromosikan program pertukaran budaya dan kunjungan yang memungkinkan orang Indonesia bertemu dan berdialog langsung dengan orang-orang dari Israel dan Arab-Palestina.
4. Pengembangan empati dan pemahaman
Menyediakan pelatihan dan workshop tentang empati dan perspektif-taking, yang membantu individu memahami pengalaman dan pandangan orang lain.
Menggunakan cerita pribadi dari individu yang terkena dampak konflik untuk menggugah empati dan pemahaman di kalangan masyarakat Indonesia.
5. Peran model panutan dan tokoh agama
Melibatkan tokoh agama yang memiliki pandangan moderat dan mendukung perdamaian untuk menyebarkan pesan inklusif dan toleransi.
Menggunakan pengaruh tokoh masyarakat dan selebriti untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya pemahaman dan perdamaian.
6. Kerjasama internasional
Mengembangkan kemitraan dengan organisasi internasional yang bekerja di bidang perdamaian dan resolusi konflik untuk menyediakan program dan sumber daya yang dapat digunakan di Indonesia.
Mengirimkan delegasi Indonesia untuk belajar dari negara-negara lain yang berhasil mengurangi bias dan mempromosikan perdamaian melalui pendekatan pendidikan dan sosial.
7. Penggunaan teknologi dan media sosial
Menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi yang seimbang dan mempromosikan dialog konstruktif tentang konflik Israel-Arab Palestina.
Membuat platform edukasi online yang menyediakan sumberdaya tentang konflik dari perspektif yang seimbang.
Proses ini memerlukan waktu dan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, media, tokoh agama, dan masyarakat sipil. Konsistensi dalam penyampaian pesan dan dukungan dari pemimpin opini akan sangat penting untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Dengan pendekatan yang terstruktur dan berkelanjutan, diharapkan pandangan bias di masyarakat Indonesia terkait konflik Israel-Arab Palestina dapat berkurang, meskipun mungkin tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Upaya ini akan membantu masyarakat memiliki pemahaman yang lebih mendalam dan seimbang, serta mendorong sikap yang lebih toleran dan inklusif.
Joyogrand, Malang, Thu', June 13, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H