Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tolak Manusia Toksik

8 Mei 2024   17:09 Diperbarui: 8 Mei 2024   17:09 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertemanan toksik. Foto : https://magdalene.co/story/kenali-tanda-teman-toxic/

Tolak Manusia Toksik

Toksik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang memiliki sifat "beracun" atau suka menyusahkan orang lain, baik secara fisik maupun emosional. Orang yang toksik dapat menebarkan sesuatu yang negatif ke lingkungan sekitarnya. Sifat toksik dapat mengganggu kenyamanan orang lain, membuat kita dijauhi banyak orang, hingga membuat kita sulit untuk memiliki hubungan sosial yang baik.

Toksik juga dapat digunakan untuk menggambarkan hal-hal lain yang berbahaya atau merusak. Dalam dunia pekerjaan, istilah toksik dapat digunakan untuk menggambarkan masalah-masalah besar, seperti perilaku yang tidak etis, kasar, diskriminatif, bahkan melanggar hukum.

Dalam pemerintahan, istilah "orang toksik" dapat merujuk kepada pihak-pihak yang menghambat kemajuan program kabinet karena tidak sejalan dengan visi dan arah yang telah ditetapkan. Orang-orang "toksik" dimaksud adalah orang-orang yang tidak suka pemerintah membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.

Kaum toksik yang dimaksud Pak Luhut belum lama ini adalah orang-orang yang ingin status quo birokrasi yang korup dan tidak efisien, agar mereka mudah merambah jalan menjadi crazy rich, atau merujuk pada individu atau kelompok yang memanfaatkan sistem yang korup demi keuntungan pribadi atau untuk menjaga posisi mereka dalam struktur kekuasaan.

Birokrasi yang korup memungkinkan praktik seperti penyuapan, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan yang tidak adil dan tidak transparan. Orang-orang yang mendapat keuntungan dari sistem semacam ini merasa terancam oleh reformasi yang mencoba mengurangi korupsi dan meninkatkan akuntabilitas.

Ketika individu atau kelompok toksik ini mencoba menjaga status quo, mereka dipastikan melakukan berbagai cara untuk melawan perubahan, termasuk mempengaruhi opini publik, mengancam orang yang mencoba melakukan perubahan, atau menggunakan sumberdaya untuk mempertahankan posisi mereka.

Untuk melawan manusia dan kelompok toksik ini, diperlukan upaya yang kuat dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan lembaga anti-korupsi. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah kunci untuk mengatasi masalah birokrasi yang korup dan memastikan sistem bekerja untuk kepentingan semua orang, bukan hanya segelintir individu yang ingin menjaga kekuasaan mereka.

Dalam konteks politik dan isu-isu terkait birokrasi atau korupsi, respons terhadap sindiran atau kritik terhadap manusia dan kelompok toksik ini bisa bervariasi tergantung pada siapa yang merasa terdampak atau berkepentingan.

Jika seorang pejabat publik merasa kritik atau sindiran diarahkan kepadanya, responnya dapat berupa berbagai tindakan, seperti mengklarifikasi posisi mereka, memberikan pembelaan, atau mengalihkan perhatian ke isu lain. Di sisi lain, orang dan kelompok yang merasa tidak bersalah mungkin tidak merespons sama sekali atau justeru mendukung upaya reformasi.

Hubungan antara tokoh-tokoh publik bersifat dinamis, dengan berbagai latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, memahami reaksi seseorang terhadap kritik atau sindiran memerlukan analisis yang lebih mendalam tentang konteks politik, rekam jejak, dan niat di balik kritik tsb.

Indonesia memang harus segera menghentikan wabah toksik yang merusak sistem birokrasinya. Indonesia emas 2045 tak mungkin terwujud apabila manusia toksik tetap dipertahankan dalam sistem.

Mengatasi masalah birokrasi yang toksik dan mengurangi korupsi adalah tantangan yang kompleks, tetapi ada berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk membantu menghentikan "wabah" ini dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Beberapa langkah yang dapat membantu menghentikan praktik birokrasi yang merusak :

1. Penguatan hukum dan regulasi. Menerapkan undang-undang yang kuat dan ketat terkait antikorupsi dan akuntabilitas dalam birokrasi. Hal ini mencakup mekanisme penghukuman yang jelas dan tegas bagi pelaku korupsi dan pelanggaran etika.

2. Transparansi dan akuntabilitas publik. Meningkatkan transparansi dalam pemerintahan, termasuk akses publik terhadap informasi dan data pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memantau dan menilai kinerja birokrasi. Akuntabilitas dapat ditingkatkan melalui pelaporan publik dan audit yang ketat.

3. Pengawasan yang efektif. Memperkuat lembaga pengawasan, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan lembaga lainnya. Pengawasan yang efektif memerlukan sumberdaya yang cukup, independensi, dan kebebasan dari campur tangan politik.

4. Pendidikan dan pelatihan etika. Mengintegrasikan pendidikan etika dan integritas ke dalam sistem pendidikan dan pelatihan birokrasi. Pegawai negeri sipil dan pejabat publik harus diberi pelatihan tentang etika, transparansi, dan akuntabilitas.

5. Penguatan peran masyarakat sipil. Mendorong peran serta masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan media dalam memantau birokrasi dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan. Partisipasi publik membantu menciptakan tekanan sosial yang mendorong perilaku yang lebih etis dalam birokrasi.

6. Insentif untuk integritas. Memberikan insentif bagi pegawai negeri sipil dan pejabat publik yang menunjukkan integritas dan kinerja yang baik. Insentif ini dapat berupa penghargaan, promosi, atau fasilitas lainnya yang mendorong perilaku positif.

7. Pemanfaatan teknologi. Menggunakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi peluang korupsi. E-government, sistem e-procurement, dan sistem pengaduan online dapat membantu mengurangi pita merah birokrasi dan meningkatkan transparansi.

8. Perubahan budaya organisasi. Mendorong budaya organisasi yang menghargai etika dan integritas. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan contoh yang baik dari pejabat publik yang paling senior.

Bagaimana dengan faktor kultural yang sering dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat dalam membersihkan kaum toksik dari sistem birokrasi dan pemerintahan Indonesia. Ini adalah persoalan tersulit di negeri.

Budaya terbentuk dari nilai-nilai, keyakinan, dan praktik yang telah berkembang dan melekat dalam masyarakat selama bertahun-tahun, sehingga mengubahnya bisa menjadi proses yang lambat dan sulit.

Faktor kultural yang dapat menjadi penghambat dalam membersihkan birokrasi dari manusia toksik :

1. Budaya "Asal Bapak Senang" (ABS). Dalam banyak organisasi, ada kecenderungan untuk memprioritaskan kepuasan atasan daripada transparansi dan kinerja yang jujur. Ini bisa menciptakan lingkungan yang kurang kondusif untuk perubahan dan akuntabilitas.

2. Patronase dan Nepotisme. Sistem hubungan patron-klien dan kecenderungan untuk mengutamakan keluarga atau kerabat dalam penempatan posisi bisa merusak upaya untuk menciptakan sistem yang adil dan transparan.

3. Budaya tidak bertanya dan menghindari konflik. Dalam budaya yang menghindari konfrontasi, ada kecenderungan untuk tidak menantang otoritas atau mempertanyakan praktik yang buruk. Ini bisa menghalangi akuntabilitas dan memungkinkan perilaku korup terus berlangsung.

 4. Hormat pada senioritas. Respek yang belebihan terhadap senioritas bisa membuat perubahan menjadi sulit, terutama ketika orang yang lebih senior terlibat dalam praktik yang kurang etis.

Beberapa langkah yang dapat membantu mengatasi hambatan kultural :

1. Pendidikan dan kesadaran. Memperkenalkan nilai-nilai integritas dan etika sejak dini, mulai dari sekolah hingga pendidikan di tempat kerja. Pendidikan yang fokus pada antikorupsi dan akuntabilitas dapat membantu mengubah pola pikir generasi mendatang.

2. Perubahan budaya organisasi. Membuat perubahan pada budaya organisasi, dengan pemimpin yang memberikan contoh yang baik. Kepemimpinan yang kuat dan berintegritas dapat mempengaruhi budaya organisasi dan mendorong perilaku yang lebih etis.

3. Penguatan partisipasi publik. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam memantau birokrasi dan mengajukan laporan tentang penyalahgunaan kekuasaan. Partisipasi publik yang aktif dapat menciptakan tekanan untuk perubahan.

4. Mendorong transparansi dan akuntabilitas. Membuka akses informasi dan meningkatkan transparansi dalam pemerintahan. Ini termasuk mengimplementasikan sistem audit dan evaluasi yang independen serta memastikan bahwa hasil audit direspon dengan tindakan yang sesuai.

5. Insentif dan sanksi. Menciptakan insentif untuk perilaku yang baik dan memberikan sanksi yang tegas untuk pelanggaran. Hal ini dapat membantu mengubah persepsi tentang konsekuensi dari tindakan tidak etis.

Dengan menggabungkan langkah-langkah ini dan mendekati masalah dari berbagai sudut, hambatan kultural dapat diatasi seiring waktu, memungkinkan birokrasi dan pemerintahan untuk menjadi lebih bersih dan berintegritas.

Joyogrand, Malang, Wed', May 08, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun