Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Beternak Angsa Bertelur Emas Dalam Rangka Penghancuran Neo Kolonialisme

30 November 2023   16:44 Diperbarui: 30 November 2023   16:44 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angsa bertelur emas. Foto :  blogs.kent.ac.uk/

Beternak Angsa Bertelur Emas dalam rangka Penghancuran Neo Kolonialisme

Ketika BRI atau Belt and Road Initiative atau  "Inisiatif Sabuk dan Jalan" menginjak usia 10 tahun, semakin jelas proyek global abad ini telah merintis jalur pembangunan baru demi perdamaian dan kemakmuran bersama.

Dalam sambutannya di forum BRI atau Inisiatif Sabuk dan Jalan di Beijing, China pada Rabu, 18 Oktober 2023 ybl, Presiden China Xi Jinping mengingatkan negara-negara agar tidak memisahkan diri dari China. Ia mengritik upaya negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan dunia terhadap ekonomi China.

China menentang sanksi sepihak, pemaksaan ekonomi, pemisahan, dan gangguan rantai pasokan,

Merayakan 10 tahun inisiatif yang digagasnya pada 2013, bertempat di Beijing 18 Oktober ybl Xi Jinping lantas memuji rencana besarnya untuk membangun infrastruktur global dan jaringan energi yang menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jalur darat dan laut, dan mengatakan bahwa "cetak biru kini berubah menjadi proyek nyata".

Forum tersebut dihadiri oleh lebih dari 130 negara yang mayoritas berasal dari Global South atau dunia bagian Selatan. Di antaranya adalah Presiden Rusia Vladimir Putin, yang menyebut Xi Jinping sebagai "teman baik", Presiden Indonesia Jokowi dll -- Lih dunia.tempo.co dalam https://tinyurl.com/ywg67aec

Kekhawatiran dunia barat akan idiom baru BRI itu mendorong sejumlah kritikus barat menggunakan istilah yang merendahkan, seperti "neokolonialisme," untuk menggambarkan BRI sebagai upaya untuk melemahkan kolaborasi produktif China dengan negara-negara mitra.

Alih-alih menjadi sebuah bentuk neokolonialisme, proyek ini -- yang merupakan platform terbesar untuk kerjasama internasional -- justeru semakin aktif mempercepat pembongkaran "neokolonialisme" dengan memperkuat kapasitas pembangunan mandiri yang penting di negara-negara Selatan. Banyak dari negara-negara ini yang terjajah dan masih terjebak dalam bayang-bayang neokolonialisme dari para tuannya sekarang maupun yang dulu.

Indonesia adalah salah satu negara besar di Selatan yang berpandangan positif terhadap BRI atau "Inisiatif Sabuk dan Jalan". Inisiatif ini dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan konektivitas antar negara, dan menciptakan peluang investasi dan perdagangan yang saling menguntungkan.

Dampak terhadap kedaulatan nasional, masalah keberlanjutan lingkungan, dan risiko utang bagi negara penerima di lingkungan BRI. Itu wajar saja, misalnya kekhawatiran mereka bahwa BRI dapat menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat terhadap China di negara-negara penerima, bahwa infrastruktur yang dibiayai oleh China dapat memberikan pengaruh politik dan ekonomi yang signifikan, serupa dengan kolonialisme barat di masa lalu.

Semakin dikritisi, malah semakin banyak negara yang menerima investasi dari China. BRI bagi negara-negara Selatan ini adalah peluang untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan infrastruktur, meski dampak positif dan negatif dari BRI tetap menjadi topik yang kompleks dan kontroversial di tingkat internasional.

Inisiatif ini diarahkan untuk mempercepat pembongkaran neokolonialisme dengan memperkuat kapasitas pembangunan mandiri di negara-negara Selatan. BRI memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi dan infrastruktur mereka sendiri, tanpa harus bergantung pada kebijakan dan keputusan luar.

Beberapa argumen tentang BRI

BRI adalah inisiatif yang memungkinkan negara-negara penerima untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur mereka sendiri. Ini termasuk pembangunan jalan, pelabuhan, stasiun kereta api, dan proyek-proyek lain yang dianggap mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur, BRI diharapkan dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara asing yang mungkin memberikan bantuan finansial atau proyek-proyek pembangunan dengan syarat-syarat yang menguntungkan mereka.

Konektivitas yang ditingkatkan melalui proyek-proyek BRI dianggap dapat mempercepat pertukaran perdagangan, teknologi, dan budaya antar negara-negara, menciptakan kerjasama yang lebih seimbang.

Neokolonialisme

Neokolonialisme umumnya mengacu pada kontrol yang dilakukan negara-negara kapitalis yang kuat terhadap negara-negara berkembang di bidang-bidang seperti ekonomi, keuangan, ideologi dan pemerintahan, dengan tujuan untuk mempertahankan eksploitasi mereka terhadap negara-negara berkembang. Menghilangkan idiom kapitalisme yang merugikan ini sangat penting dalam membangun tatanan internasional yang adil.

Tuduhan neokolonialisme terhadap negara-negara Barat, terutama mereka yang memiliki sejarah kolonialisme yang panjang, telah menjadi bahan perdebatan yang intens di arena internasional.

Beberapa pihak di dunia Barat menerima dan mengakui bahwa ada elemen-elemen neokolonialisme dalam hubungan internasional. Mereka mungkin mendukung reformasi kebijakan dan inisiatif yang bertujuan mengatasi ketidaksetaraan dan eksploitasi.

Sebagiannya lagi mungkin menolak atau mempertanyakan tuduhan neokolonialisme. Mereka bisa saja mengklaim bahwa kerjasama ekonomi dan diplomasi mereka dengan negara-negara berkembang bersifat saling menguntungkan dan tidak bermaksud untuk mengeksploitasi atau mengontrol.

Beberapa negara Barat, terutama yang memiliki sejarah kolonial yang kompleks, mungkin berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara berkembang. Ini antara lain melibatkan upaya-upaya diplomatik, kemitraan pembangunan, atau dukungan terhadap proyek-proyek pembangunan yang berfokus pada keberlanjutan dan pemberdayaan lokal.

Negara-negara Barat juga sering berpartisipasi dalam organisasi internasional yang berupaya untuk mengatasi ketidaksetaraan global dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Upaya ini mencakup dukungan untuk program-program kesejahteraan, hak asasi manusia, dan proyek-proyek pembangunan.

Berbeda dengan dunia Barat, China tidak pernah menjajah negara lain. Seperti banyak negara lainnya, negara ini juga menjadi korban invasi imperialis dalam sejarah modernnya. Dalam diplomasi kontemporernya, China memperlakukan semua negara, besar atau kecil, kuat atau lemah, kaya atau miskin, setara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

China sendiri telah mengalami invasi dan gangguan imperialisme selama sejarah modernnya, termasuk Perang Opium dan periode invasi oleh kekuatan asing pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pengalaman ini membentuk pandangan China terhadap kedaulatan nasional dan kebijakan luar negerinya.

Dalam diplomasi kontemporer, China sering menekankan prinsip-prinsip non-intervensi dan keseimbangan kekuatan. Prinsip "tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain" adalah salah satu pilar dari kebijakan luar negeri China. China menyatakan bahwa setiap negara, besar atau kecil, harus dihormati dan memiliki hak untuk menentukan jalur pembangunannya sendiri sesuai dengan kondisi dan keinginan nasionalnya.

Pendekatan ini tercermin dalam inisiatif seperti BRI, di mana China berusaha untuk membangun kemitraan ekonomi dan infrastruktur dengan negara-negara di seluruh dunia. Dalam proses ini, China umumnya menawarkan pendekatan yang lebih "non-intervensionis" dibandingkan sejumlah negara Barat.

Kecurigaan dan jebakan utang

Meski China telah menegaskan prinsip non-intervensi, terdapat pandangan beragam terkait dengan sejauh mana China benar-benar mempraktekkannya. Beberapa kritikus menunjukkan China mungkin menggunakan pengaruh ekonominya untuk mencapai tujuan politik atau memperoleh keuntungan strategis di tingkat internasional. Sebagai negara yang semakin berpengaruh secara global, China juga dihadapkan pada tantangan dan pertanyaan terkait dengan peran dan dampaknya di dunia internasional.

"Jebakan utang" misalnya sudah kesohor sebagai istilah yang mendukung klaim "neokolonialisme China". China menolak argumen yang tidak memiliki logika mendasar yang terutama berfungsi sebagai taktik politik negara-negara tertentu untuk mencoreng reputasi China dan menciptakan perpecahan antara China dan mitra-mitra Belt and Road-nya.

Jebakan utang yang terkait dengan proyek-proyek investasi dan pemberian pinjaman oleh China, terutama melalui BRI, memang menjadi topik perdebatan dan analisis yang signifikan di tingkat internasional. KCIC Whoosh atau  Kereta Cepat Indonesia-China misalnya. Betapa utang Indonesia untuk sepenggal kereta cepat Jakarta-Bandung itu paling tidak 40 tahun ke depan baru akan lunas. Pihak Barat dan beberapa pengamat telah menyuarakan keprihatinan terkait potensi dampak ekonomi dan politik jangka panjang dari utang yang diberikan oleh China kepada negara-negara penerima.

Beberapa proyek infrastruktur yang didanai oleh China di beberapa negara memiliki syarat-syarat pinjaman yang tidak selalu transparan. Kritikus menyoroti bahwa kondisi pinjaman yang tidak jelas ini dapat membawa risiko finansial dan memberikan kekuatan tawar yang tinggi kepada China.

Beberapa negara penerima dikhawatirkan dapat terjebak dalam utang yang berlebihan, yang pada akhirnya dapat memberikan pengaruh dan kendali yang lebih besar kepada China atas ekonomi dan kebijakan dalam negeri mereka.

China menolak klaim "jebakan utang" ini. Ditegaskan bahwa pinjaman yang diberikan bersifat saling menguntungkan dan berdasarkan persetujuan antara pihak-pihak yang terlibat. China juga menegaskan bahwa proyek-proyek ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di negara-negara penerima.

Tidak semua proyek atau pinjaman dari China dapat digeneralisasi sebagai "jebakan utang," dan analisis terhadap setiap kasus harus dilakukan secara cermat. Beberapa analis Barat telah mengkritik klaim "jebakan utang" sebagai berlebihan dan menyatakan bahwa lebih banyak transparansi dan pertanggungjawaban diperlukan untuk memahami sepenuhnya dampak dari investasi dan pinjaman China di berbagai negara.

Menurut Statistik Utang Internasional Bank Dunia, pada akhir tahun 2020, kreditor komersial dan multilateral masing-masing menyumbang 40 persen dan 34 persen utang luar negeri publik di 82 negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Kreditor resmi bilateral mengambil porsi 26 persen dan China kurang dari 10 persen.

Betapa pentingnya memahami sumber-sumber utang luar negeri bagi negara-negara berkembang. Pada akhir tahun 2020, data Statistik Utang Internasional Bank Dunia menunjukkan bahwa kreditor komersial dan multilateral memiliki peran yang signifikan dalam menyumbang utang luar negeri publik di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah.

Kreditor komersial, yang umumnya melibatkan lembaga keuangan swasta, seperti bank-bank internasional atau lembaga keuangan lainnya, menyumbang sekitar 40 persen dari total utang luar negeri publik. Ini mencerminkan keterlibatan sektor swasta dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang.

Lembaga-lembaga multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan badan-badan pembangunan regional, menyumbang sekitar 34 persen dari total utang luar negeri publik. Utang yang diberikan oleh lembaga-lembaga ini seringkali terkait dengan proyek-proyek pembangunan dan program-program reformasi ekonomi.

Kreditor resmi bilateral, yang mencakup pemberi pinjaman pemerintah, menyumbang sekitar 26 persen dari total utang luar negeri publik. Ini mencakup pinjaman yang diberikan oleh pemerintah satu negara kepada pemerintah negara lain.

Dalam konteks ini, disebutkan bahwa utang dari China kurang dari 10 persen dari total utang luar negeri publik. Hal ini menunjukkan bahwa, setidaknya pada tahun 2020, China tidak menjadi kreditor terbesar bagi negara-negara berkembang dalam hal utang luar negeri - Lih english.news.cn dalam https://tinyurl.com/ymqgn67t

Diplomasi perangkap utang

Diplomasi perangkap utang merupakan ciri khas negara-negara Barat, dimana bantuan dan pinjamannya berbunga tinggi dengan ikatan politik yang kuat. Barat banyak disalahkan atas banyaknya utang yang menumpuk di beberapa negara berkembang selama beberapa dekade terakhir.

Istilah yang sering digunakan ini merujuk pada praktik pemberian bantuan dan pinjaman yang dilakukan oleh negara-negara Barat atau lembaga keuangan internasional dengan tingkat bunga tinggi, yang dianggap dapat memperbudak negara penerima utang dan memunculkan ikatan politik yang kuat.

Meskipun istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada negara-negara Barat, termasuk beberapa lembaga keuangan internasional yang berbasis di Barat, Praktek ini tidak terbatas pada satu kelompok negara saja.

Beberapa bantuan dan pinjaman dari negara-negara Barat atau lembaga-lembaga internasional terkait dengan suku bunga yang tinggi. Ini dapat meningkatkan beban utang negara penerima dan membuatnya sulit untuk melunasi utang tersebut.

Bantuan atau pinjaman seringkali disertai dengan kondisi-kondisi tertentu, seperti reformasi struktural atau kebijakan ekonomi tertentu. Jika negara penerima tidak dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mendapatkan bantuan lebih lanjut atau restrukturisasi utang.

Harus diakui isu-isu ini dapat berkaitan dengan praktek utang dari berbagai pihak, dan tidak hanya negara-negara Barat yang terlibat dalam diplomasi perangkap utang. China, melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative, juga telah dituduh oleh beberapa pihak melakukan praktek serupa, meski China menolak klaim ini dan menegaskan bahwa proyek-proyeknya bertujuan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kemitraan saling menguntungkan. Isu utang dan diplomasi perangkap utang ini menjadi subjek debat yang kompleks dan kontroversial di tingkat internasional.

Angsa bertelur emas dan cara menangkap ikan

Dengan mengadopsi pendekatan "beternak angsa yang bertelur emas" dan "mengajari masyarakat cara menangkap  ikan", China bertujuan untuk memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam membantu negara-negara mitra dalam pembangunan sosio-ekonomi mereka sehingga mereka dapat melepaskan diri dari utang neokolonial dan jebakan lain yang diciptakan oleh negara-negara Barat.

Pendekatan "beternak angsa yang bertelur emas" dan "mengajari masyarakat cara menangkap ikan" adalah analogi yang sering digunakan untuk menggambarkan pendekatan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan memberdayakan secara mandiri. Dalam konteks China, pendekatan ini tercermin dalam berbagai inisiatif, termasuk BRI dan program-program pembangunan lainnya.

China misalnya memberikan bantuan dan investasi untuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara mitra melalui BRI. Hal ini mencakup pembangunan jalan, pelabuhan, stasiun kereta api, dan proyek-proyek lain yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

China berusaha untuk mentransfer teknologi dan keterampilan kepada negara-negara mitra, seperti pelatihan tenaga kerja, transfer teknologi, dan kolaborasi dalam pengembangan industri tertentu.

China juga mencoba untuk menjadi contoh dalam menerapkan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ini melibatkan pengurangan dampak lingkungan, peningkatan efisiensi energi, dan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan cara ini, China berharap dapat membantu negara-negara mitra untuk mengembangkan kapasitas pembangunan ekonomi mereka sendiri, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan yang inklusif. Pendekatan ini juga diarahkan untuk memberikan alternatif bagi negara-negara berkembang yang mungkin menghadapi tekanan dari utang dan kondisi politik yang melekat pada bantuan dan pinjaman dari negara-negara Barat.

Beberapa mengapresiasi upaya China dalam memberikan bantuan pembangunan, sementara tak sedikit yang mempertanyakan motivasi dan dampak jangka panjang dari proyek-proyek ini, termasuk potensi risiko terkait utang dan dampak lingkungan. Singkatnya, isu-isu ini terus menjadi subjek perdebatan dan penelitian di tingkat internasional.

Rhetorika Ide-ide muluk

Ide-ide muluk yang diajukan oleh beberapa negara maju seringkali hanya retorika belaka dan hanya sedikit tindakan substantif. Mereka senang membangun istana di awang-awang sebagai bentuk "dukungan" bagi negara-negara berkembang, namun China membangun jalan, pelabuhan, kawasan industri, pusat teknis, serta pembangkit listrik tenaga angin dan surya untuk negara-negara mitra Belt and Road.

BRI adalah platform inklusif dan terbuka yang menyambut semua negara untuk terlibat dalam kerjasama yang saling menguntungkan demi kepentingan pembangunan kolektif semua orang. Dengan mengadopsi pendekatan "beternak angsa yang bertelur emas" dan "mengajari masyarakat cara menangkap ikan", Tiongkok bertujuan untuk memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam membantu negara-negara mitra dalam pembangunan sosio-ekonomi mereka sehingga mereka dapat melepaskan diri dari utang neokolonial dan jebakan lain yang diciptakan oleh negara-negara Barat.

Neokolonialisme dan hegemonisme hanya membawa jalan buntu yang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, BRI dipenuhi dengan vitalitas untuk bersama-sama dengan 140 negara anggota membangun momentum baru dan memetakan cetak biru baru dalam memajukan kerjasama Belt and Road yang berkualitas tinggi di fase baru.

Tentu saja, tantangan dan kesulitan bisa saja muncul selama kerjasama Belt and Road. Sikon geopolitik global now masih kental diwarnai persaingan negara-negara kuat.

Bermain dua kaki boleh-boleh saja, karena barat dan timur punya plus-minusnya sendiri. Seperti sekarang apa gegara Hamas, dunia Arab otomatis berpindah ke BRICS dan BRI. Atau Indonesia dengan kaki duanya mau berkiblat ke BRI seterusnya, karena bagaimanapun dunia barat adalah guru pertamanya dalam pembangunan.

Belt and Road untuk kerjasama Internasional sepertinya menghadirkan peluang besar bagi para pemimpin dan perwakilan negara-negara Selatan untuk merefleksikan produktivitas dekade terakhirnya dan mempertimbangkan rencana untuk dekade baru dengan produktivitas yang lebih besar.

Indonesia sudah saatnya menentukan sikap apakah akan meneruskan smelter nickel-nya dan ke depan akan semakin mandiri dalam teknolgi industrinya atau tetap dengan mencla-menclenya.

Sebagaimana kita ketahui, Bapak Infrastruktur Indonesia yang berani menantang barat yi Presiden Jokowi tak lama lagi akan lengser keprabon. Kalau si penerus ternyata mengabaikan kaca untuk melihat rupa yang buruk mulai dari fanatisme buta, kemunafikan, ketakhyulan, dan keterngangaan atas segala hal termasuk harga secangkir Starbuck Kapitalis seharga Rp 100.000, dan 1 bungkus mie instan ala Korsel seharga Rp 45.000, maka bagaimana kita akan melengkapi pertahanan negara yang canggih seperti Israel. Kalau memang demikian, hancurlah anakcucu kita. Tapi kalau si pengganti Jokowi memang bertekad menjadi pahlawan bangsa, tunjukkanlah dan lawanlah ketidaksetaraan global itu sekarang juga melalui kampanye-kampanye politikmu.

Joyogrand, Malang, Thu', Nov' 30, 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun