Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghapus Budaya Toksik di Negeri Ini

22 Oktober 2023   14:09 Diperbarui: 22 Oktober 2023   14:09 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya Toksik dalam clip art. Foto : autocollab.org

Menghapus Budaya Toksik di Negeri Ini

"Toxic Culture" atau Budaya Toksik atau Beracun adalah sikap dan perilaku yang terbentuk, termasuk diskriminasi ras, gender, usia, dan status sosial; "online trolling" atau pesan dan komentar yang kontroversial, dan "cyberbullying" atau penggunaan teknologi komunikasi internet yang berisi pesan-pesan yang mengancam, merendahkan dan melecehkan, atau tekanan dan merendahkan pendapat yang berbeda.

Dalam masyarakat now, perilaku toksik tanpa kita sadari sudah tertanam dalam budaya kita, terutama bermanifestasi sebagai hiperkompetitif, intimidasi, marginalisasi, dan intoleransi.

Kita lihat misalnya di dunia internet kita sekarang dalam rangka Pilpres 2024 orang sibuk menafsirkan apa kemana nih ayunan kaki Presiden RI Jokowi. Lha Kaesang anak kemarin koq cepet banget jadi Ketum PSI, mentang-mentang anak Presiden. Lalu Gibran bakal jadi cawapresnya Prabowo setelah MK ketok palu bahwa usia di bawah 40 tahun bisa dicapreskan atau dicawapreskan sejauh telah berpengalaman menjadi kepala daerah. Ketua MK kan pamannya Gibran yang anak presiden itu. Ini lantas menjadi "bola liar" yang disebut politik dinasti bahwa sang Presiden sedang menyiapkan dinastinya di dunia politik jelang kelengserannya dari kekuasaan pada Oktober 2024 yad.

Tanpa harus bersuntan-santun di media sosial kita sekarang. Apapun yang dirasakan sebagai tekanan, apapun yang dipandang secara stigmatis, dan siapapun sosok yang berseberangan dengannya, akan dilabrak habis dalam budaya toksik. Urusan sakit hati dan pembalasan, itu urusan belakang.

Di belahan dunia lain pun demikian, di middle-east misalnya betapa saling membencinya Arab-Palestina dan Israel. Letupan yang terjadi di Gaza belum lama ini semakin mencuatkan kebencian itu, meski dikatakan Hamas tak sama dengan Arab-Palestina. Tapi di lapangan hanya terbaca permusuhan akut bahkan keji antara Israel-Arab Palestina. Tak peduli korban sipil di kedua belah pihak, Rashida Tlaib migran Arab-Palestina yang berkebetulan jadi anggota Kongres di AS, langsung meneriakkan yel yel cease fire. Dan menuding Israel sebagai teroris, sementara kekejian Hamas terhadap warga sipil Israel dilupakannya. Lalu tak sedikit warga Israel yang meneriakkan yel yang tak kalah garang yi mengusir orang Arab dari Gaza maupun tepi barat. Mereka harus kembali ke tanah Arab, sebab Israel bukanlah tanah Arab. Ini sahut-bersahut. Mulai dari kecil mereka sudah dijejali dengan toxic culture seperti ini. Begitulah duduk persoalannya konflik Arab-Palestina Vs Israel kalau dipandang secara seimbang.

Indonesia tak mau kalah. Menlu Retno yang menyertai Presiden Jokowi ke China dalam rangka Road and Belt terbang ke Jeddah Arab Saudi untuk mengikuti pertemuan luarbiasa OKI. Mengapa? Situasi Gaza gawat, katanya. Meski tak pasti apa sumbangsih Indonesia untuk mendamaikan Arab-Palestina dan Israel, kecuali mengutuk dan mengutuk Israel, seiring dengan demo anti Israel yang tak berkeputusan di Jakarta, tanpa pernah mau tahu apa yang sebenarnya terjadi disana.

Perlu reformasi hukum

Toxic Culture tau Budaya Toksik atau Beracun adalah kumpulan sikap dan perilaku negatif yang kompleks. Hal ini tumbuh di lingkungan di mana individu merasa tidak didengarkan, terancam, dan kehilangan semangat, sehingga menyebabkan stres emosional yang parah dan penurunan kepuasan hidup secara keseluruhan.

Mengatasi budaya Toksik memerlukan reformasi hukum dan administratif. Pemerintah dan segenap stake holdernya seharusnya mengenali dan memerangi segala bentuk toksisitas untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mencegah perilaku berbahaya. Itu antara lain menciptakan undang-undang yang lebih ketat terhadap pelecehan online atau peraturan tempat kerja yang melindungi karyawan dari tekanan dan intimidasi yang tidak semestinya.

Pembiaran kebiasaan seperti merendahkan agama yang berbeda, melecehkan seseorang yang berbeda pendapat dengannya. Itu bisa terjadi di negara mana pun, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada satu negara atau budaya tertentu, melainkan terjadi di seluruh dunia.

Kehadiran budaya toksik

Mengapa budaya toksik ini muncul di berbagai negara. Beberapa negara, termasuk Indonesia, memiliki sejarah konflik sosial atau "sara" yang rumit. Sejarah konflik dapat meningkatkan ketegangan antar kelompok dan memicu perilaku yang merendahkan dan memecah-belah. Ini terutama tirani pemeluk agama mayoritas Islam terhadap minoritas Kristen, Hindu, Buddha dst. Keberadaan MUI di masa Orba Soeharto misalnya. Itu tak sama lagi dengan kehadiran MUI sekarang. Kalau dulu pemerintah yang mengaturnya. Kalau sekarang MUI-lah yang mengatur pemerintah. Kesan kuat seperti itu tak perlu dipungkiri.

Ketidakpahaman terhadap budaya, agama, atau pandangan yang berbeda dapat memicu ketakutan, prasangka, dan kebencian

Ketika perbedaan ideologi dan pandangan politik mendalam, ada potensi bagi konfrontasi dan perilaku merendahkan. Persaingan politik yang berlebihan dan retorika yang merendahkan bisa memicu budaya toksik.

Media sosial memungkinkan persebaran pesan dan pandangan dengan cepat, bahkan yang merendahkan dan beracun. Hal ini dapat memperburuk budaya toksik dalam komunikasi online.

Sesungguhnya budaya yang inklusif dan pendidikan yang lebih baik tentang keragaman dapat membantu mengatasi ketidakpahaman ini.

Pendekatan pendidikan yang seimbang dalam keragaman dapat mendorong toleransi. Sementara pemahaman tentang perbedaan ide dan keyakinan, bisa membantu mengurangi budaya toksik. Kurangnya kesadaran atau pendidikan yang tidak memadai dapat membuat perilaku merendahkan semakin menjadi-jadi.

Mengatasi budaya toksik memerlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan individu. Ini bisa termasuk pendidikan yang lebih baik, promosi toleransi dan dialog antar kelompok, dan penegakan hukum terhadap tindakan yang merendahkan atau memecah-belah. Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keragaman dan penghargaan terhadap pandangan yang berbeda agar budaya toksik dapat diatasi.

Contoh eksternal

Di pentas dunia, mengapa toxic culture antara Israel dan Arab-Palestina justeru semakin menggila dengan serangan brutal Hamas belum lama ini ke kota-kota di Israel selatan.

Konflik antara Israel dan Palestina adalah konflik yang kompleks, lama, dan memiliki banyak akar masalah yang melibatkan sejarah, wilayah, agama, dan politik. Penyebab serangan-serangan Hamas seperti sekarang adalah hasil dari sejarah konflik yang panjang dan perasaan yang dalam dari kedua belah pihak.

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa konflik tersebut terus berlanjut, bahkan semakin menggila.

Status Yerusalem, khususnya situs-situs suci di Yerusalem, adalah salah satu sumber konflik yang terus berlanjut antara Israel dan Arab-Palestina. Kedua pihak mengklaim Yerusalem sebagai ibukota mereka, dan ketidaksepakatan mengenai hal ini menjadi sumber ketegangan yang tak berkeputusan.

Sengketa atas wilayah pemukiman Israel di Tepi Barat, dan pembangunan tembok pemisah juga menjadi sumber konflik. Isu-isu teritorial ini menciptakan ketidakpuasan di kedua belah pihak.

Blokade Gaza oleh Israel telah berlangsung selama bertahun-tahun dan membatasi akses ke berbagai kebutuhan dasar, yang menciptakan kondisi ekonomi yang sulit dan ketegangan di Gaza.

Kegagalan upaya perdamaian sebelumnya, seperti Perjanjian Oslo, telah menciptakan rasa frustrasi di antara masyarakat Arab-Palestina dan Israel. Inilah antara lain pemicu ketegangan dan kecurigaan di kedua belah pihak.

Serangan oleh Hamas ke wilayah Israel selatan menyebabkan respons keras dari pihak Israel, yang pada gilirannya memicu lebih banyak serangan balasan dari IDF. Provokasi Hamas dan serangan balasan IDF semacam ini menciptakan spiral kekerasan yang memperburuk konflik.

Konflik ini tidak memiliki solusi yang sederhana, sebagaimana dibuktikan upaya-upaya perdamaian telah gagal berkali-kali. Meski upaya internasional terus berlanjut untuk mencari jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut, tetapi situasinya tetap sangat kompleks. Solusi jangka panjang memerlukan negosiasi yang cermat, komitmen dari semua pihak yang terlibat, serta dukungan masyarakat internasional.

Perubahan Kebijakan

Toksik culture ini harus ditangani secara bijaksana, dimulai dengan modifikasi kebijakan yang komprehensif dan perubahan sikap masyarakat.

Bagaimana cara mengatasi tantangan toksisitas ini dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih sehat.

Di sektor pendidikan, kebijakan anti-intimidasi yang komprehensif harus dikembangkan dan diterapkan secara agresif. Dalam industri media, pedoman harus dibuat untuk mencegah penyebaran stereotip beracun dan mendukung cita-cita yang positif dan inklusif.

Persepsi masyarakat mendasari norma-norma budaya dan karenanya, sangat penting dalam pemberantasan budaya toksik. Setiap orang mempunyai peran dalam mendekonstruksi perspektif yang merusak dan mendorong masyarakat yang lebih inklusif dan menerima.

Kesadaran dan pendidikan adalah yang terpenting. Masyarakat perlu dididik tentang dampak berbahaya dari perilaku beracun, dan kampanye kesadaran masyarakat dapat memainkan peran penting dalam upaya ini. Masyarakat juga harus mendorong dialog terbuka mengenai budaya toksik, menghadapi permasalahan ini secara langsung kertimbang menyembunyikannya.

Mengganti perilaku toksik dengan interaksi yang sehat memerlukan penanaman empati dan kecerdasan emosional secara aktif. Mendorong komunikasi dan pemahaman yang positif, merayakan keberagaman, dan mendorong rasa saling menghormati dapat membalikkan keadaan yang bertentangan dengan norma-norma beracun yang ada.

Selain itu, masyarakat secara keseluruhan harus bersatu melawan perilaku beracun ketika perilaku tersebut muncul ke permukaan. Intervensi pengamat, misalnya, memainkan peran penting dalam mencegah penindasan atau pelecehan di depan umum.

Budaya toksik adalah sebuah kenyataan yang tidak menguntungkan dalam masyarakat kita maupun dunia, yang sangat berdampak pada individu dan komunitas. Untuk dapat mengubah skenario yang merusak dari budaya toksik ini diperlukan pendekatan dua arah, yi perubahan kebijakan yang dapat ditegakkan dan perubahan pandangan masyarakat.

Mengembangkan masyarakat yang lebih sehat dan positif membutuhkan upaya tanpa henti dari para legislator, pendidik, pemberi pengaruh, dan individu. Hanya melalui tindakan yang komprehensif dan terpadu ini kita dapat berharap untuk menghilangkan budaya toksik. Dengan kata lain, Indonesia hanya dapat dibangunkembangkan dengan mengubah masyarakat terlebih dahulu, mengubah kesejahteraan emosionalnya, agar bisa menghormati keanekaragaman dengan cara-cara inklusif.

Ini bisa kita mulai dari para Pendeta, Kyai dan para Politisi kita. Jangan sampai dibiarkan tokoh-tokoh agama seperti UAS, Mualaf seperti Yahya Waloni dan sebangsanya, serta tokoh-tokoh agama eksodus seperti Paul Zhang dan Syaifuddin Ibrahim berkelana dan malah berkampanye negatif dari luar negeri sana, dimana ybs bebas mengeluarkan pendapatmya.

Joyogrand, Malang, Sun', Oct' 22, 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun