Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghapus Budaya Toksik di Negeri Ini

22 Oktober 2023   14:09 Diperbarui: 22 Oktober 2023   14:09 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembiaran kebiasaan seperti merendahkan agama yang berbeda, melecehkan seseorang yang berbeda pendapat dengannya. Itu bisa terjadi di negara mana pun, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada satu negara atau budaya tertentu, melainkan terjadi di seluruh dunia.

Kehadiran budaya toksik

Mengapa budaya toksik ini muncul di berbagai negara. Beberapa negara, termasuk Indonesia, memiliki sejarah konflik sosial atau "sara" yang rumit. Sejarah konflik dapat meningkatkan ketegangan antar kelompok dan memicu perilaku yang merendahkan dan memecah-belah. Ini terutama tirani pemeluk agama mayoritas Islam terhadap minoritas Kristen, Hindu, Buddha dst. Keberadaan MUI di masa Orba Soeharto misalnya. Itu tak sama lagi dengan kehadiran MUI sekarang. Kalau dulu pemerintah yang mengaturnya. Kalau sekarang MUI-lah yang mengatur pemerintah. Kesan kuat seperti itu tak perlu dipungkiri.

Ketidakpahaman terhadap budaya, agama, atau pandangan yang berbeda dapat memicu ketakutan, prasangka, dan kebencian

Ketika perbedaan ideologi dan pandangan politik mendalam, ada potensi bagi konfrontasi dan perilaku merendahkan. Persaingan politik yang berlebihan dan retorika yang merendahkan bisa memicu budaya toksik.

Media sosial memungkinkan persebaran pesan dan pandangan dengan cepat, bahkan yang merendahkan dan beracun. Hal ini dapat memperburuk budaya toksik dalam komunikasi online.

Sesungguhnya budaya yang inklusif dan pendidikan yang lebih baik tentang keragaman dapat membantu mengatasi ketidakpahaman ini.

Pendekatan pendidikan yang seimbang dalam keragaman dapat mendorong toleransi. Sementara pemahaman tentang perbedaan ide dan keyakinan, bisa membantu mengurangi budaya toksik. Kurangnya kesadaran atau pendidikan yang tidak memadai dapat membuat perilaku merendahkan semakin menjadi-jadi.

Mengatasi budaya toksik memerlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan individu. Ini bisa termasuk pendidikan yang lebih baik, promosi toleransi dan dialog antar kelompok, dan penegakan hukum terhadap tindakan yang merendahkan atau memecah-belah. Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keragaman dan penghargaan terhadap pandangan yang berbeda agar budaya toksik dapat diatasi.

Contoh eksternal

Di pentas dunia, mengapa toxic culture antara Israel dan Arab-Palestina justeru semakin menggila dengan serangan brutal Hamas belum lama ini ke kota-kota di Israel selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun