Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Monster Modernitas, Penyucian dan Kasih Ilahi

15 Juli 2023   15:44 Diperbarui: 15 Juli 2023   15:50 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Monster Modernitas, Penyucian dan Kasih Illahi

Sadar atau tidak dalam keseharian kita di samping menggunakan istilah slank lokal seperti jancuk, anjay, "begu antuk" dll, kita juga sering menggunakan istilah asing yang bahkan telah menjadi kosa kata dalam bahasa slank kita, misalnya "monster".

Kata "monster" merujuk pada makhluk yang memiliki sifat atau penampilan yang menakutkan atau aneh. Asal-usul kata "monster" berasal dari bahasa Latin "monstrum", yang berarti "fenomena atau tanda yang luar biasa" atau "makhluk yang tidak wajar atau aneh". Secara etimologis, kata tersebut terkait dengan kata Latin "monere", yang berarti "memberitahu" atau "mengingatkan", dan "monstrare", yang berarti "menunjukkan" atau "memperlihatkan".

Dalam perspektif psikologis, pandangan tentang monster berkaitan dengan konsep ketakutan, ancaman, dan ketidakmampuan untuk memahami atau mengendalikan sesuatu yang tidak lazim atau tidak wajar. Monster sering digambarkan sebagai makhluk yang menakutkan atau mengerikan, yang dapat memicu rasa takut, kecemasan, atau ketidaknyamanan pada individu. Dalam psikologi, monster sering kali mewakili aspek-aspek dalam diri kita yang dianggap mengerikan atau tidak dapat diterima, seperti kegelapan dalam pikiran atau naluri primordial.

Dalam perspektif sosiologis, pemahaman tentang monster terkait dengan konstruksi sosial dan budaya. Monster seringkali digunakan untuk membedakan atau memarginalkan individu atau kelompok yang dianggap berbeda atau menyimpang dari norma sosial yang diterima. Pandangan sosial tentang monster mempengaruhi interaksi dan persepsi terhadap individu atau kelompok tertentu. Terkadang, konsep monster juga dapat digunakan dalam konteks politik atau sebagai alat propaganda untuk menggambarkan musuh atau ancaman yang dianggap mengancam tatanan sosial yang ada.

Dalam perspektif teologis, monster seringkali dikaitkan dengan kekuatan jahat atau setan. Dalam berbagai kepercayaan dan agama, monster mewakili simbol-simbol kejahatan, kekuatan gelap, atau dosa. Mereka dianggap sebagai manifestasi fisik atau spiritual dari kejahatan atau ancaman supernatural.

Kita sekarang hidup di zaman likuiditas dan diri yang kosong. Era modernitas yang serba cair dan narsisme yang meluas sekarang ini membawa serta ketakutan yang khas dan karenanya monsternya khas pula?

Dalam konteks era modernitas yang serba cair dan narsisme yang meluas, ada argumen hal ini memunculkan ketakutan yang khas dan menghasilkan konsep monster yang berbeda.

Monster dalam Modernitas yang Serba Cair

Zaman likuiditas, sebuah istilah yang dikemukakan oleh sosiolog Zygmunt Bauman, merujuk pada karakteristik masyarakat modern yang ditandai oleh perubahan cepat, ketidakpastian, dan ketidakstabilan. Dalam era ini, norma-norma dan nilai-nilai menjadi lebih fleksibel, dan batasan-batasan tradisional semakin terkikis. Ketidakpastian dan perubahan yang cepat ini memunculkan ketakutan dan kecemasan di antara individu.

Tidak adanya kepastian dan ketidakmampuan untuk mengendalikan atau memprediksi masa depan menciptakan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi. Dalam konteks ini, monster diartikan sebagai representasi dari ketakutan dan ancaman yang muncul dalam masyarakat yang tidak stabil dan berubah-ubah. Monster melambangkan segala sesuatu yang tidak dapat dipahami atau dikendalikan, yang menimbulkan rasa takut dan kecemasan dalam diri individu.

Narsisme yang Meluas

Narsisme merujuk pada kecenderungan individu untuk mengutamakan diri sendiri, kepentingan pribadi, dan kepuasan diri. Dalam era modernitas yang terpusat pada individualisme, narsisme cenderung menjadi lebih menonjol.

Kebudayaan konsumsi yang berfokus pada keinginan pribadi, penghargaan sosial berdasarkan penampilan fisik atau popularitas, serta kecenderungan untuk memperoleh validasi diri melalui media sosial yang dalam hal ini mengarah pada kecenderungan untuk membangun identitas yang dangkal dan fokus pada diri sendiri. Dalam konteks ini, monster dianggap sebagai manifestasi dari narsisme yang meluas. Monster mencerminkan sifat-sifat negatif dalam diri manusia yang dibesar-besarkan, seperti keserakahan, keegoisan, atau ketidakpedulian terhadap orang lain. Monster juga melambangkan perasaan terasing, kekosongan, atau kehampaan yang muncul akibat fokus yang berlebihan pada diri sendiri.

Berangkat dari Vampirisme

Booming-nya cerita tentang vampir (baik fiksi dan yang konon nyata) pada abad kedelapan belas yang dalam hal ini mengikuti publikasi penelitian William Harvey pada jantung dan sistem peredaran darah pada tahun 1628. Semakin hilangnya rasa diri, yang datang dengan fluiditas tubuh yang baru ditemukan dan dengan dislokasi sosial dan intelektual modernitas, mengungkapkan dirinya dalam ketakutan baru.

Bagaimana jika kedirian kita bisa terkuras dari kita? Dan bagaimana jika kita dibiarkan seperti sekam kering manusia, seperti mayat hidup? 

Cerita tentang vampir yang populer pada abad kedelapan belas, baik dalam bentuk fiksi maupun dalam mitologi dan kepercayaan, memang dapat dikaitkan dengan konteks sosial dan perkembangan ilmiah pada masa itu. Penemuan William Harvey tentang sistem peredaran darah mengubah pemahaman manusia tentang tubuh dan kesehatan, membuka pandangan baru tentang fluiditas tubuh dan sifat hidup.

Istilah "hilangnya rasa diri" merujuk pada perasaan kehilangan identitas atau kebingungan dalam menghadapi perubahan yang cepat dan kompleks dalam masyarakat modern. Pengenalan konsep-konsep baru seperti peredaran darah dan pemahaman tentang fluiditas tubuh telah mengguncang pandangan tradisional tentang diri dan identitas manusia. Ketika dasar-dasar pemahaman kita tentang apa yang membedakan manusia dari makhluk lain terganggu, rasa diri dan keberadaan manusia terasa rapuh.

"Sekam kering manusia" atau "mayat hidup" mencerminkan kecemasan tentang kehilangan vitalitas dan kehidupan yang autentik. Dalam konteks kecenderungan modernitas yang serba cair dan kekosongan, ada ketakutan akan kehilangan sifat manusia yang hidup, emosi, dan kesadaran. Kehampaan dan dislokasi sosial dan intelektual modernitas yang memberi makan ketakutan yang akan menjadi entitas terasing, tanpa identitas yang kuat atau vitalitas yang sejati.

Secara keseluruhan, cerita vampir pada abad kedelapan belas dan aspek ketakutan yang muncul memberikan gambaran tentang perasaan ketidakpastian, kebingungan identitas, dan rasa kehilangan dalam menghadapi perubahan sosial dan ilmiah pada masa itu. Namun, pandangan ini juga dapat dilihat sebagai refleksi dari ketertarikan budaya pada tema-tema gelap, seksualitas terlarang, dan pertanyaan mendasar tentang hidup dan kematian.

Kemunculan novel Dracula karya Bram Stoker (1897) juga sangat penting terkait simbolisme darahnya. Novel ini merenungkan mobilitas aneh dari darah kehidupan literal kita dan kerentanannya terhadap kehilangan karena pelanggaran terhadap kontur kita yang tampaknya kokoh.

Sebelumnya Charles Dickens telah melontarkan anonimitas di tengah industrialisasi yang dalam hal ini menciptakan kengerian baru yang menjadi tema sentral pasca revolusi industri di Inggeris dan Eropa.

Stoker mengakui Jack the Ripper adalah sumber novel tersebut. Dalam bergulat dengan realitas baru seperti itu, buku ini juga menengok ke masa lalu di mana darah berarti batas kelas yang kokoh. Oleh karena itu, novel ini menghadirkan darah sebagai modernitas padat dan cair yang mengangkang.

Simbolisme darah memainkan peran penting dalam menggambarkan tema-tema tersebut. Darah melambangkan kehidupan, vitalitas, serta aspek-aspek kekuatan dan kelemahan manusia. Di samping itu darah juga mencerminkan perubahan dan pergeseran dalam konteks sosial dan budaya pada masa itu.

Mobilitas dan kerentanan darah

Darah sebagai cairan kehidupan literal kita mewakili kemampuan untuk bergerak, beradaptasi, dan berinteraksi dengan lingkungan. Namun, darah juga menunjukkan kerentanan kita terhadap kehilangan, seperti ketika darah disedot oleh Dracula. Ini menggambarkan pelanggaran terhadap batasan tubuh dan identitas kita yang tampaknya kokoh. Simbolisme darah menggarisbawahi kerentanan manusia di hadapan ancaman dan pengaruh yang dapat mengubah atau menghisap vitalitas kita.

Sebelumnya Charles Dickens melontarkan anonimitas dan kengerian industrialisasi menjadi tema sentral pasca revolusi industri di Inggeris dan Eropa.

Kemudian dating Stoker dengan penggambaran Dracula sebagai sosok misterius dan tak dikenal mencerminkan ketakutan terhadap anonimitas dan kejahatan yang tersembunyi di balik wajah manusia yang tampak normal. Simbolisme darah menggambarkan pelanggaran privasi dan keselamatan kita di tengah masyarakat yang semakin tanpa wajah.

Batas kelas di masa lalu

Bram Stoker menyoroti batas kelas yang kokoh dalam novel Dracula melalui penggambaran darah. Pada masa lalu, darah sering digunakan sebagai simbol batas kelas dan perbedaan sosial. Dalam Dracula, simbolisme darah menghadirkan konflik antara aristokrasi vampir dan kelas pekerja manusia. Darah sebagai representasi kehidupan dan kekuasaan digunakan untuk mempertanyakan hierarki sosial dan mengeksplorasi ambisi serta penindasan kelas.

Secara keseluruhan, simbolisme darah mencerminkan pergeseran sosial, kerentanan manusia, ketakutan akan anonimitas, serta pertanyaan tentang batas kelas dan perbedaan sosial. Darah sebagai simbol modernitas padat dan cair menggambarkan dinamika yang kompleks dalam konteks sosial, budaya, dan identitas manusia.

Interpretasi ini memberikan lapisan ke dalam tema-tema yang dihadirkan oleh novel tersebut dan menggambarkan kompleksitas kondisi manusia dalam menghadapi perubahan zaman.

Bram Stoker, boleh jadi secara tidak sengaja, menyoroti kontras antara vampir dan konsumsi Ekaristi, yang pertama meminum darah untuk mendominasi dan bertahan hidup secara fisik, versus yang terakhir, yang merupakan penerimaan pemberian diri Ilahi untuk hidup abadi.

Tapi poin yang lebih besar adalah fakta "permeabilitas" tubuh, baik melalui kekerasan dan kedengkian (dalam kasus vampir) maupun melalui sains, semuanya dilambangkan dengan darah. Dan fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang permeabilities orang tersebut.

Poin tentang permeabilitas tubuh, baik melalui kekerasan dan kedengkian vampir maupun melalui sains, menyoroti aspek yang menarik dalam konteks simbolisme darah. Dalam kaitannya dengan vampir, darah digunakan untuk menyampaikan ide tentang penetrasi, dominasi, dan pemisahan tubuh manusia. Vampir mengambil darah manusia secara fisik, melalui kekerasan dan kedengkian, untuk mempertahankan hidup mereka sendiri.

Di sisi lain, sains dan kemajuan medis juga mengungkapkan permeabilitas tubuh dalam cara yang berbeda. Penemuan seperti sistem peredaran darah yang dipelajari oleh William Harvey membuka pandangan baru tentang bagaimana tubuh kita saling terhubung dan berinteraksi melalui darah. Ini mencerminkan pemahaman bahwa tubuh manusia adalah entitas yang kompleks dan terhubung secara internal.

Pertanyaan tentang permeabilitas seseorang mengajukan pertanyaan tentang sejauh mana seseorang terbuka terhadap pengaruh luar, baik itu kekerasan dan kedengkian yang mencerminkan kejahatan vampir, maupun pengaruh positif yang datang melalui penerimaan pemberian diri ilahi dalam konteks konsumsi Ekaristi. Hal ini mengajukan pertanyaan tentang batas, identitas, dan kemampuan individu untuk menjaga integritas fisik dan spiritual mereka dalam menghadapi pengaruh eksternal.

Melalui simbolisme darah, terlihat dalam awal modernitas hingga sekarang kompleksitas kondisi manusia, pergulatan antara kekuatan dan kelemahan, serta pertanyaan mengenai identitas, penetrasi, dan pengaruh yang kita hadapi dalam kehidupan kita.

Vampir muncul dalam imajiner sosial, sistem politik dan ekonomi dikritik dalam istilah "penghisap darah" dan "vampir". Marx sangat ahli dalam menggunakan metafora dalam Das Kapital. Itu adalah kerja mati, seperti vampir, hidup hanya dengan menghisap kerja hidup, dan semakin hidup, semakin banyak kerja yang dihisapnya, kata Marx. Ia menekankan keyakinannya bahwa modal menyedot kehidupan dari tenaga kerja dan membiarkannya mati.

Dalam karya-karya Marx, terutama dalam Das Kapital, penggunaan metafora vampir untuk menggambarkan sistem ekonomi dan politik tertentu memberikan pemahaman kritis tentang eksploitasi tenaga kerja oleh modal.

Marx menggunakan metafora vampir untuk menjelaskan bagaimana modal "hidup" dengan menghisap kerja hidup. Modal adalah "kerja mati" yang bergantung pada tenaga kerja hidup untuk mempertahankan dirinya. Semakin banyak modal menghisap kerja hidup, semakin banyak tenaga kerja yang "mati" atau dieksploitasi dalam proses produksi.

Dalam pemahaman ini, vampir adalah simbol eksploitasi kapitalis yang tidak hanya mengambil nilai dari tenaga kerja, tetapi juga menghisap vitalitas dan kehidupan dari para pekerja. Metafora ini menyoroti ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan dalam sistem kapitalis, di mana para pekerja cenderung menjadi korban dari eksploitasi oleh kaum modal.

Marx melihat kapitalisme sebagai sistem yang menghisap energi dan kehidupan dari tenaga kerja, sementara modal mendapatkan keuntungan dan akumulasi kapital. Dalam pandangan ini, vampirisme ekonomi mengekspos ketidakadilan dan ketimpangan yang mendasar dalam hubungan kapitalis, di mana nilai dan vitalitas manusia dikompromikan untuk keuntungan modal.

Pemahaman ini memperluas pandangan kita tentang metafora vampir dan penggunaannya dalam konteks sosial dan ekonomi. Marx menggunakan gambaran ini untuk menggambarkan kritiknya terhadap sistem kapitalis, menyampaikan pandangannya tentang eksploitasi tenaga kerja dan ketidakadilan struktural dalam masyarakat.

Aristokrasi yang terlihat dalam vampirisme, itu memikat karena dia menonjol sebagai seseorang yang tempatnya, tidak seperti kita, diakui dan dijamin secara permanen. Masyarakat egaliter modern seperti kita begitu tergila-gila dengan bangsawan karena bangsawan mewakili soliditas identitas yang bertahan melampaui semua perubahan keberuntungan dan ketenaran.

Tak heran, daya tarik aristokrasi vampir yang mewakili soliditas identitas yang bertahan melampaui perubahan keberuntungan dan ketenaran adalah lumrah bagi kalangan kapitalis. Aristokrasi vampir dalam narasi sering kali digambarkan sebagai sosok yang abadi dan tak tergoyahkan, memancarkan aura kekuatan dan keistimewaan yang melebihi manusia biasa.

Hanya, soliditas aristokrat vampir atau dracula itu anakronistik dan tidak relevan dalam konteks modernitas. Vampir, dengan usia mereka yang tak terhingga, menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan dunia yang terus berkembang. Mereka terperangkap dalam kehausan akan darah, yang dapat dipahami sebagai metafora bagi mereka yang terjebak dalam masa lalu yang tidak dapat mereka tinggalkan.

Vampir sebagai simbol transisi antara soliditas dan keberlanjutan masa lalu, tergantung pada darah kehidupan, dengan modernitas yang cair dan terus berubah. Vampir mencerminkan ketegangan antara soliditas identitas yang tidak dapat ditembus oleh waktu dan perubahan, serta ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi dengan dunia yang semakin cair dan bergerak.

"Darah adalah kehidupan!" adalah ungkapan yang sering terkait dengan vampir dan menunjukkan pentingnya darah sebagai simbol vitalitas dan kehidupan. Dalam konteks ini, darah mewakili energi, vitalitas, dan keabadian, yang dikontras dengan kehabisan waktu dan ketidakmampuan untuk beradaptasi yang dialami oleh vampir.

Menyoroti konflik antara soliditas masa lalu dan transisi menuju modernitas cair dalam narasi vampir. Vampir menjadi perwujudan dari pergeseran dan ketidakstabilan dalam identitas dan eksistensi manusia dalam konteks perubahan zaman dan perkembangan sosial dan budaya.

Di era film Zombie sekarang, salah satu pertanyaan paling meresahkan yang diajukan zombie kepada orang-orang kontemporer adalah seberapa mirip zombie itu dengan dirinya sendiri. Bagaimana jika saya tidak lebih dari zombie, mayat animasi yang bergerak?

Kekhawatiran ini terkait erat dengan yang lain, yaitu efek alienasi masyarakat modern. Kita telah melihat penggunaan citra kapital vampir oleh Marx.

Kapital adalah tubuh fantastik, "Doppelgnger" atau "kepribadian ganda" yang mengerikan yang mengintai ke luar negeri saat tuannya tidur, secara mekanis memakan kesenangan yang dia tinggalkan dengan keras. Baik kapitalis maupun kapital adalah gambaran dari orang mati yang hidup, yang satu hidup namun dibius, yang lain mati namun aktif.

Dalam narasi zombie, pertanyaan tentang sejauh mana kita mirip dengan zombie itu sendiri mencerminkan kecemasan mengenai kehilangan jatidiri, kemungkinan menjadi bagian dari massa tanpa individualitas, dan pengalaman alienasi yang mungkin terjadi dalam kehidupan kontemporer. Zombie sering kali digambarkan sebagai makhluk tanpa kesadaran diri yang hidup dalam keadaan terbungkus dan teralienasi. Pertanyaan "apakah saya lebih dari sekadar zombie?" menggambarkan kekhawatiran individu tentang hilangnya koneksi dengan diri sendiri dan menjadi bagian dari masyarakat yang terombang-ambing.

Konsep alienasi juga terkait dengan pemahaman Marx tentang kapitalisme. Marx menggunakan gambaran kapital sebagai tubuh fantastis atau Doppelgnger yang mengerikan yang memakan kesenangan dan energi manusia secara mekanis dan tanpa ampun. Kapitalisme memainkan peran yang mirip dengan vampir dalam menghisap vitalitas dan kreativitas manusia, sehingga menciptakan situasi alienasi dan pemisahan dari kesejahteraan yang dihasilkan.

Dalam pandangan Marx, baik kapitalis maupun kapital merupakan gambaran manusia yang hidup namun terbukti terbatas dan terpengaruh oleh logika eksploitasi sistem kapitalis. Kapitalisme memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan, sehingga menciptakan ketidakharmonisan antara manusia dan hasil karya mereka.

Kaitannya dengan zombie, pemahaman bahwa kapital dan kapitalisme adalah gambaran dari orang mati yang hidup menyoroti efek dehumanisasi dan alienasi yang dapat terjadi dalam masyarakat modern. Kehidupan kontemporer yang terikat oleh logika ekonomi dan komersialisasi dapat memunculkan rasa terkekang, kehilangan vitalitas, dan rasa kehilangan terhadap jatidiri yang autentik.

Konsep zombie dan pandangan Marx tentang kapital dapat dilihat sebagai cerminan dari kekhawatiran yang melibatkan alienasi, kehilangan jatidiri, dan dehumanisasi dalam konteks masyarakat modern.

Seiring berjalannya abad ke-21 sekarang, perasaan bahwa manusia modern hidup di gurun kematian semakin dalam. Beberapa decade lalu, "The Hollow Men" terus mengeksplorasi kematian dalam kehidupan, yang kini disajikan secara lebih eksplisit sebagai kekosongan batin. "Ini tanah mati / Ini tanah kaktus", berisi "rahang yang patah dari kerajaan kita yang hilang". Beginilah cara dunia berakhir / Bukan dengan dentuman tapi dengan rintihan".

Monster modernitas, seperti yang diungkapkan Stoker dan Eliot, mengungkapkan kengerian yang pada dasarnya modern. Apakah fluiditas diri saya tidak ada habisnya? Apakah tidak ada keabadian bagi tubuh saya selain hal yang sama, memberi makan dan mengonsumsinya? Apakah ada inti batin pada diri saya, atau apakah saya boneka berjalan? Teror ini tidak dapat menemukan kelegaan dari risalah ilmiah tentang darah atau bahkan dari katarsis film horror sekalipun.

Monster sebenarnya adalah kesempatan untuk kembalinya api penyucian ke Kasih yang memurnikan dari Tuhan. Keburukan modernitas bukanlah penebusan masa lalu. Kehidupan dan kedirian yang dicarinya dapat ditemukan dalam sumber Ilahi dari keduanya. Tapi bangun dari mimpi buruk hanya terjadi saat mata terbuka terhadap cahaya, dan jalan turun menjadi jalan naik hanya saat seseorang berbalik.

Orang-orang jerami yang berongga di sini menemukan obat berdarah untuk ketidakberdayaan mereka. Keburukan modernitas setidaknya telah membuat alternatif menjadi jelas : kematian yang hidup, atau kehidupan melampaui kematian.

Melalui analisis puisi "The Hollow Men" karya T.S. Eliot tergambarkan sudah kekosongan batin dan perasaan kematian dalam kehidupan modern. Juga penting disini pertanyaan yang muncul tentang fluiditas diri, keabadian, dan inti batin dalam konteks monster modernitas.

Pemahaman bahwa fluiditas diri tampaknya tidak berujung, keabadian tubuh terbatas pada siklus makan dan dikonsumsi, dan ketidakberdayaan dalam mencari inti batin menunjukkan rasa terjebak dalam kondisi manusia modern. Teror yang dihadapi ini tidak dapat diatasi melalui penelitian ilmiah tentang darah atau pengalaman katarsis melalui film horor.

Namun, jelas bahwa monster sebenarnya adalah kesempatan untuk kembali kepada Penyucian dan Kasih dari Tuhan. Keburukan modernitas tidak dapat ditebus oleh masa lalu, tetapi kehidupan dan identitas yang dicari dapat ditemukan dalam sumber Ilahi.

Perjalanan dari mimpi buruk menuju kebangkitan dan jalan turun menjadi jalan naik adalah di saat mata terbuka terhadap cahaya dan seseorang berbalik.

Dalam pemahaman ini, orang-orang yang hampa dan kosong menemukan penyembuhan melalui darah yang melambangkan kelemahan mereka.

Keburukan modernitas setidaknya telah mengungkapkan alternatif yang jelas, yi kehidupan dalam kematian atau kehidupan yang melampaui kematian.

Pada akhirnya penyelesaian terhadap kengerian dan kekosongan modernitas sekarang hanya dapat ditemukan melalui kembalinya kepada Kasih Ilahi dan Penyucian. Ini menunjukkan harapan bahwa di tengah-tengah monster dan kegelapan modernitas sekarang, masih ada potensi untuk menemukan jalan kehidupan dan arti yang lebih tinggi.

Joyogrand, Malang, Sat', July 15, 2023.

Detail keadaan manusia yang sudah jadi Monster di Neraka. Foto : alamy.com, dipetik dari Antonio Vanegas.
Detail keadaan manusia yang sudah jadi Monster di Neraka. Foto : alamy.com, dipetik dari Antonio Vanegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun