Tidak adanya kepastian dan ketidakmampuan untuk mengendalikan atau memprediksi masa depan menciptakan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi. Dalam konteks ini, monster diartikan sebagai representasi dari ketakutan dan ancaman yang muncul dalam masyarakat yang tidak stabil dan berubah-ubah. Monster melambangkan segala sesuatu yang tidak dapat dipahami atau dikendalikan, yang menimbulkan rasa takut dan kecemasan dalam diri individu.
Narsisme yang Meluas
Narsisme merujuk pada kecenderungan individu untuk mengutamakan diri sendiri, kepentingan pribadi, dan kepuasan diri. Dalam era modernitas yang terpusat pada individualisme, narsisme cenderung menjadi lebih menonjol.
Kebudayaan konsumsi yang berfokus pada keinginan pribadi, penghargaan sosial berdasarkan penampilan fisik atau popularitas, serta kecenderungan untuk memperoleh validasi diri melalui media sosial yang dalam hal ini mengarah pada kecenderungan untuk membangun identitas yang dangkal dan fokus pada diri sendiri. Dalam konteks ini, monster dianggap sebagai manifestasi dari narsisme yang meluas. Monster mencerminkan sifat-sifat negatif dalam diri manusia yang dibesar-besarkan, seperti keserakahan, keegoisan, atau ketidakpedulian terhadap orang lain. Monster juga melambangkan perasaan terasing, kekosongan, atau kehampaan yang muncul akibat fokus yang berlebihan pada diri sendiri.
Berangkat dari Vampirisme
Booming-nya cerita tentang vampir (baik fiksi dan yang konon nyata) pada abad kedelapan belas yang dalam hal ini mengikuti publikasi penelitian William Harvey pada jantung dan sistem peredaran darah pada tahun 1628. Semakin hilangnya rasa diri, yang datang dengan fluiditas tubuh yang baru ditemukan dan dengan dislokasi sosial dan intelektual modernitas, mengungkapkan dirinya dalam ketakutan baru.
Bagaimana jika kedirian kita bisa terkuras dari kita? Dan bagaimana jika kita dibiarkan seperti sekam kering manusia, seperti mayat hidup?Â
Cerita tentang vampir yang populer pada abad kedelapan belas, baik dalam bentuk fiksi maupun dalam mitologi dan kepercayaan, memang dapat dikaitkan dengan konteks sosial dan perkembangan ilmiah pada masa itu. Penemuan William Harvey tentang sistem peredaran darah mengubah pemahaman manusia tentang tubuh dan kesehatan, membuka pandangan baru tentang fluiditas tubuh dan sifat hidup.
Istilah "hilangnya rasa diri" merujuk pada perasaan kehilangan identitas atau kebingungan dalam menghadapi perubahan yang cepat dan kompleks dalam masyarakat modern. Pengenalan konsep-konsep baru seperti peredaran darah dan pemahaman tentang fluiditas tubuh telah mengguncang pandangan tradisional tentang diri dan identitas manusia. Ketika dasar-dasar pemahaman kita tentang apa yang membedakan manusia dari makhluk lain terganggu, rasa diri dan keberadaan manusia terasa rapuh.
"Sekam kering manusia" atau "mayat hidup" mencerminkan kecemasan tentang kehilangan vitalitas dan kehidupan yang autentik. Dalam konteks kecenderungan modernitas yang serba cair dan kekosongan, ada ketakutan akan kehilangan sifat manusia yang hidup, emosi, dan kesadaran. Kehampaan dan dislokasi sosial dan intelektual modernitas yang memberi makan ketakutan yang akan menjadi entitas terasing, tanpa identitas yang kuat atau vitalitas yang sejati.
Secara keseluruhan, cerita vampir pada abad kedelapan belas dan aspek ketakutan yang muncul memberikan gambaran tentang perasaan ketidakpastian, kebingungan identitas, dan rasa kehilangan dalam menghadapi perubahan sosial dan ilmiah pada masa itu. Namun, pandangan ini juga dapat dilihat sebagai refleksi dari ketertarikan budaya pada tema-tema gelap, seksualitas terlarang, dan pertanyaan mendasar tentang hidup dan kematian.