Menurut mahasiswa asal NTT yang tak mau disebutkan namanya, keributan di kawasan Merjosari belum lama ini adalah miskomunikasi. Sekalipun mahasiswa asal Indonesia tengah itu temperamental, tapi mereka pada umumnya familiar sejauh diajak berkomunikasi tepat sasaran, artinya "jangan berprasangka buruk terhadap saya, maka saya akan positif kepada anda". Kalau ada tudingan mereka minum-minum, saya pikir itu hanya sekadar kambing hitam, sebab siapa sih yang belum mencoba minum Bir di kota Malang ini. So, tak ada alasan karena terpengaruh alkohol mereka menjadi hingar-bingar, dan lalu dituding warga setempat sekenanya sebagai tak menghargai waktu maghrib.
Coba tes apa suara mahasiswa yang paling keras atau suara azan maghrib dyari tempat ibadah dimaksud. Ada kebiasaan suara dari corong pengeras suara tempat ibadah dimaksud tidak cukup hanya panggilan untuk beribadah saja, tapi lebih dari itu, ntah suara anak-anak yang bercanda stupid di corong itu, atau ini itu ene ono penyampaian kreseh-peseh tak penting yang terasa tak wajar. Ini yang perlu diluruskan, karena mahasiswa itu juga perlu eksis, perlu dihargai, perlu suasana sejuk pada jam tertentu dan bukan hingar-bingar corong pengeras suara dari tempat ibadah dimaksud yang terus-terusan tiada henti semakin tak jelas ntah pure ibadah atau bukan. Kebiasaan itu berimplikasi buruk terhadap interaksi sosial antara warga dan para mahasiswa yang mondok disitu.
Mahasiswa mayoritas di kota Malang datang dari keluarga yang rata-rata sederhana. Akomodasi yang sesuai kocek mereka tentu akomodasi yang sederhana juga. Dan ini hanya ada di kawasan Lowokwaru, khususnya Merjosari yang berdekatan dengan kampus mereka. Sementara di kawasan ini pula terjadi gesekan antara sebuah kebiasaan masyarakat yang belum banyak bergeser dengan kebiasaan mahasiswa selaku generasi zaman now yang pro dengan kebebasan berekspresi.
Ingat insiden di wilayah Kajoetangan, Jalan Basuki Rachmat, pada 2019 lalu. Insiden itu adalah kejadian awal terjadinya initimidasi dan rasisme di Surabaya yang kemudian meluas. Sebagian rakyat Papua tidak terima dan banyak kecaman dari banyak pihak di luar daerah Papua.
Meski Walikota Malang sudah meminta maaf atas insiden bentrokan yang melibatkan Aliansi Mahasiswa Papua dengan kelompok masyarakat di Jalan Basuki Rahmat, dimana tak ada statemennya yang menyuruh pulang mahasiswa asal Papua, tapi mahasiswa asal Papua menolaknya.
Warga kota Malang harus berkaca dari situ bahwa Malang adalah kota melting pot Indonesia yang tak boleh dijadikan kota rasis karena salah berkomunikasi dengan mahasiswa luar daerah. Dengan kata lain, jangan sampai terulang kembali penolakan mahasiswa asal NTT hanya karena miskomunikasi tak perlu seperti insiden Merjosari belum lama ini.
Soal pemondokan mahasiswa luar daerah, sudah ada Perda yang mengaturnya yi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Instrumen ini menindaklanjuti UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah.
Dispenda kota Malang pernah mencoba memaksimalkan pendataan pajak kos, sebab saat ini WP kos-kosan masih sekitar 400 WP atau Wajib Pajak, padahal pengusaha kos-kosan di kota Malang jumlahnya mencapai ribuan. Sayang usaha ini belum sepenuhnya berhasil, bukan karena instrumen hukum, tapi justeru pembiaran yang dilakulan oleh Pemkot sendiri terhadap ribuan pondokan yang mbalelo tak mau jadi Wajib Pajak.
Untuk diketahui, potensi penerimaan pajak daerah dari usaha rumah kos cukup besar. Pada tahun anggaran 2021, penerimaan pajak daerah dari rumah kos Rp 825.198.479,00.