Mengenang Mama Yuli Pionir Pengembangan Industri Tenun Ikat di Timorleste
Negeri ini sudah melek mode pada tahun 1950-an. Kita mengenal nama Peter Sie. Dialah pelopor perancang mode Indonesia. Melalui tangan dan kreatifitas pria kelahiran Bogor ini, lahirlah profesi perancang busana yang menyemarakkan gaya berbusana wanita pada era tsb.
Hanya di era itu, fesyen bukanlah barang massal. Fesyen hanya bisa diakses segelintir orang. Barulah pada 80-an Indonesia mengerti soal busana siap pakai. Pelopornya yi seorang anak baru bernama Prajudi Atmodirdjo. Seangkatan dengannya ialah Iwan Tirta dan Harry Dharsono. Bedanya Prajudi lebih banyak mengembangkan tenun ikat, Iwan Tirta fokus pada batik dan Harry Dharsono mengembangkan seni tekstil yang melahirkan generasi baru perancang adibusana.
Teringat Prajudi yang sudah tiada, tak urung saya pun teringat sebuah sosok di Timor Timur, yi Yuliana Gianti. Pengalaman bertemu sosok inspiratif seperti Yuliana takkan mungkin lekang dari ingatanku, karena semuanya tersimpan baik dalam my diary.
Wanita pengusaha kelahiran Biak, Papua, tahun 1934 ini, menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto atas jasa-jasanya dan kepeloporannya dalam pengembangan industri kerajinan tenun ikat di Timtim atau Timor Timur. Jerih-payahnya selama 8 tahun (1985-1993) menggeluti usaha tenun ikat di Timtim tidaklah sia-sia. Citra Timtim di bidang karya budaya tampil mempesona di pentas nasional ketika itu.
Penghargaan bergengsi itulah yang membuat saya penasaran bertandang ke kediamannya yang cukup luas di bilangan Colmera yang juga sekaligus sanggarnya di bilangan Colmera Dili, akhir Pebruari 1994. Mama Yuli, begitu ia biasa dipanggil oleh karyawannya, tampak sibuk memeriksa aneka macam tenun ikat yang dihasilkan para pengrajinnya.
Mama Yuli ternyata ramah. Anaknya menjalankan Toko Roti Aru, juga di bilangan Colmera, yang terkenal ke seantero Timtim. Sebelum menyelami tenun ikat Timtim yang kini digelutinya, saya sempat bertanya kepadanya, Koq enak begitu kue-kue buatan Aru. Apa resepnya, tanyaku. "Resepnya sederhana saja. Pengawet roti jangan macam-macam. Cukup gula saja. Dalam membuat kue basah maupun kue kering, yang terpenting adalah kreatifitas. Itu yang dipelajari keluarga saya dari orang Belanda ketika kami masih di kepulauan Aru," sahutnya singkat.
Lanjut soal tenun ikat Timtim. Menurut pengakuannya usaha kerajinan itu pada tahap perintisannya mirip gambling, tidak sedikit hambatan yang dihadapinya yang membuatnya nyaris putus asa. Persoalan utama adalah merekrut tenaga-tenaga penenun yang benar-benar akhli. Tidak mudah baginya untuk meyakinkan para penenun yang direkrut dari berbagai daerah itu agar mau bekerja dan menetap secara permanen di sanggarnya di kota Dili.
Boleh dikata selama 4 tahun pertama, persoalan yang dihadapi Ibu beranak 4 dan bercucu 12 itu adalah pergantian tenaga penenun secara terus-menerus dalam tempo yang relatif singkat, sehingga praktis tidak ada karya tenun yang bisa dihasilkannya ketika itu. Barulah setelah ia mendalami jiwa dan karakter wanita-wanita pedesaan di Timtim, lambat laun mereka mulai menaruh kepercayaan terhadapnya dan rela meninggalkan desanya untuk untuk bekerja dan menetap bersamanya di ibukota Propinsi Timtim itu.
Setelah memastikan tidak ada lagi masalah berarti yang dihadapi menyangkut ketenagakerjaan, pada tahun 1989 Mama Yuli mendirikan secara resmi perusahaannya yang diberi nama CV Tenun Jaya. Penenun akhli yang dipekerjakannya ketika itu hanya 3 orang. Kemudian secara bertahap ditambahnya dengan cara menseleksi tenaga-tenaga berbakat yang langsung praktek di tempat di bawah bimbingan seniornya yang akhli. Lama kelamaan keakhlian mereka jadi  setara dengan tutornya.
Ciri Khas
Lebih jauh soal tenun ikat Timtim, Mama Yuli mengatakan ke-13 kabupaten di Timtim pada umumnya mewarisi tradisi tenun ikat, di antaranya tercatat 4 kabupaten yang menjadi primadona tenun ikat Timtim, yi Lautem (Los Palos), Ambeno, Ermera dan Dili.
Tradisi menenun itu konon sudah berlangsung ratusan tahun, sehingga corak dan motif masing-masing daerah sudah terpola sedemikian rupa. Ini tidaklah mengherankan sebab zaman dulu mereka belum akrab dengan budaya tulisan seperti sekarang. Karenanya, corak dan motif tenun ikat dari berbagai daerah di Timtim mempunyai ciri khas masing-masing. Dan itu semua terpatri erat dalam benak para penenun.
Tenun ikat dari Lautem dan Ambeno terkenal karena kehalusan dan warnanya yang cemerlang, sementara Dili dan Ermera terkenal karena motifnya yang religius dan banyak bernafaskan Katholisisme. Persamaan umum dari semua tenun ikat itu adalah terdapatnya motif yang memantulkan lingkungan alam dan budaya Timtim yang khas berupa motif cicak, ular, ayam, peralatan perang tempo doeloe dan aneka bunga khas Timtim seperti yang dikenal banyak orang ketika itu. Di samping itu terdapat juga motif-motif surealis, geometris, bentuk intan dll.Â
Tetapi motif yang dominan pada umumnya merefleksikan lingkungan alam dan budaya setempat. Aneka motif yang khas dari berbagai daerah di Timtim itu telah diinventarisasi secara cermat oleh Mama Yuli.
Upacara adat
Ditilik dari sudut sejarah, pada mulanya karya tenun ikat yang dihasilkan oleh kaum wanita itu hanya digunakan untuk upacara-upacara adat. Setiap upacara adat menggunakan tenun ikat (tais dalam bahasa Tetum, sebuah linguafranca di Timtim) tertentu yang diberi nama dan motif yang sejiwa dengan upacara itu. Di Los Palos sendiri yang merupakan mascot tenun ikat Timtim, tercatat 11 jenis tais yang berfungsi ritual, yi Saru Nako (Kain Raja), Sika Lau, Upu Laku Waru, Kusin Lau, Hai Lau, Racikia, Lau Mimiraka, Kakun Lau, Kei Lana Lau, O'o Mimiraka, O'o Laku Waru. Pada masa lalu kain tenun itu praktis tidak diperjualbelikan dan hanya diproduksi secara terbatas untuk keperluan adat dan keperluan sendiri.
Mama Yuli jujur mengakui bahwa dia kurang mendalami segi ritual yang mengandung magi dan kepercayaan dari tenun ikat Timtim. Tetapi untuk kepentingan kepariwisataan, hal-hal seperti itu haruslah dilestarikan, sebab keunikan seperti itu memang santapan eksotis bagi para wisatawan dan ini tentu merupakan salah satu daya tarik Timtim.
Dalam hal pewarnaan benang, dipetik dari catatan lain ketika ke Los Palos beberapa waktu sebelumnya, Ermelinda Lopes, 44 tahun (pada 1993), seorang akhli tenun ikat asal desa Raca, Lautem, mengungkapkan meracik warna secara tradisional itu sangat menguras tenaga, rumit dan memakan waktu. Bahan-bahan pewarna diambil dari lingkungan alam setempat seperti kulit kayu, dedaunan, umbi-umbian seperti kunyit, dan tanah liat, bahkan ada yang direndam berhari-hari di kubangan kerbau. Karenanya kualitas warna untuk setiap daerah tidak selalu sama.Â
Di daerah yang subur dan kaya dengan bahan-bahan alami seperti di Lautem, pewarnaan tenun ikat lebih bervariasi dibandingkan daerah-daerah lain yang kurang subur dan miskin dengan bahan-bahan alami itu. Tidak heran kalau warna yang dominan pada masa lalu umumnya adalah warna merah dan hitam.
Setelah mempelajari secara seksama selama bertahun-tahun, plus minusnya tenunan tradisional Timtim, Mama Yuli menyimpulkan untuk meningkatkan esensi dan inovasi serta mengangkat karya budaya itu ke pentas nasional dan internasional, perlu dilakukan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi tekstil dan juga disesuaikan dengan selera pasar atau konsumen.
Modifikasi ini antara lain (1) warna yang tadinya melulu didominasi merah dan hitam diubah dengan warna yang diinginkan oleh konsumen seperti coklat, hijau dll, (2) ukuran yang tadinya hanya selebar 60-75 Cm dan panjang 3 meter, diubah menjadi selebar 900-100 Cm dan panjang 50 meter, sehingga bisa digunakan menjadi bahan busana, (3) peralatan tenun yang tadinya hanya mengandalkan peralatan tradisional yang digerakkan oleh tangan, sebagian ditambah dengan peralatan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), sehingga efisiensi produksi terjamin.
Cukup Cerah
Yuliana Gianti merasa yakin prospek industri kerajinan tenun ikat di Timtim cukup cerah. Itu terbukti pada beberapa pameran yang diikutinya, seperti Pameran Industri di Singapore (1989), Jakarta Fair (1990), Pameran Kerajinan Tenun Ikat di Hotel Borobudur Jakarta (1992) bersama Prajudi Atmodirdjo, dan Northern Territory Expo 1993 di Darwin, Australia utara, sambutan para pengunjung dan calon pembeli cukup antusias.
Ditanya bagaimana kecenderungan konsumen pada era 1990-an itu, Mama Yuli menjelaskan secara gamblang bahwa orang sekarang ini cenderung ingin memakai yang aneh-aneh. Mereka ingin membeli sesuatu yang lain dari yang lain. Tak heran kalau mereka pun berminat sekali membeli hasil kerajinan tradisional seperti tenun ikat, karena barang seperti itu tidak lagi dihasilkan oleh pabrik-pabrik modern. Yang penting bagi kita ialah memenuhi selera mereka.Â
Untuk tenun ikat misalnya, mereka ingin bahan yang tipis dan warna-warna yang trendy. Itulah sebabnya benang tenun yang saya gunakan sekarang standarnya di atas benang katun dan bahan pewarnanya dari kualitas utama yang tidak luntur, demikian Mama Yuli seraya memperlihatkan beberapa surat permintaan dari luar negeri seperti dari Irak, Kuwait, Taiwan dan Rusia, di samping permintaan dari dalam negeri sendiri, terutama Jakarta.
Optimisme Yuliana Gianti yang merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu di propinsi termuda Indonesia ini tidaklah berlebihan, sebab perusahaan yang dipimpinnya ketika itu telah mengalami perluasan sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan dari dalam maupun luar negeri.
Di samping sanggar lamanya di Colmera, tahun lalu atas bantuan GIA selaku mitra usahanya, telah berdiri dengan megah sebuah pabrik tenun ikat pertama Tenun Jaya yang dilengkapi ATBM di atas tanah seluas 3.500 meter persegi di bilangan Pantai Kelapa Dili. Pabrik tsb mulai dioperasikan pada Desember 1993. Dan tenaga kerjanya saat itu berjumlah 200 orang, yi masing-masing 100 Â orang yang langsung bekerja di CV Tenun Jaya dan 100 orang lagi pada mitra kerjanya yang tersebar di 3 kabupaten, yi Ambeno (2 sentra), Lautem (1 sentra) dan Dili (5 sentra).
Sedangkan peralatan yang dimilikinya ketika itu terdiri atas 34 buah peralatan tenun tradisional yang digerakkan oleh tangan. Khusus untuk peralatan tradisional itu perusahaannya mempekerjakan tenaga borongan. Dan untuk pabriknya di Pantai Kelapa, telah dioperasikan 12 buah peralatan ATBM yang ditangani oleh tenaga tetap.
Yuliana Gianti adalah salah satu wanita pengusaha yang sukses di Timtim. Pionir pengembangan tenun ikat untuk busana umum di negeri ini, yi Prajudi Atmodirdjo sangat dekat dengannya, karena keduanya mempunyai visi yang sama dalam pengembangan busana umum yi berbasis tenun ikat yang sudah dimodernisasi seperlunya tanpa menghilangkan karakter dasarnya sebagai karya budaya berbagai etnis di negeri ini.
Keduanya telah tiada. Kalau Prajudi sudah ada penggantinya yi mantan presenter Nova Rini. Sedangkan Mama Yuli? Sekalipun Toko Roti Aru masih eksis di Colmera. Tapi sayang legacy Mama Yuli yang luarbiasa itu tidak berlanjut karena kestabilan politik Timtim cukup lama terusik pasca proklamasi kemerdekaan pada 2000. Di saat guncangan demi guncangan dalam ketidakstabilan politik itulah, Mama Yuli meninggalkan kita semua tanpa satu pun yang mengambil alih legacynya yang luarbiasa, yi tenun ikat Timtim yang modern dan layak dipakai sebagai busana umum dimana pun.
Yuliana Gianti identik dengan citra Timtim pada tahun 1980-1990-an. Ia begitu sabar sehingga berhasil mengangkat tradisi lama daerah ini menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Timtim khususnya dan Indonesia pada umumnya ketika itu.
Kendati Timtim sekarang sudah berdiri sendiri sebagai negara merdeka dan berdaulat atas nama Timorleste, tapi bagaimanapun bahasa Indonesia sebagai salah satu unsur kebudayaan yang penting telah menjadi linguafranca di Timtim, setelah bahasa Tetum. Sedangkan bahasa Porto masih tersendat-sendat di kalangan generasi 70-80-an dan generasi millennial Timtim kelahiran 1980-1985. Maklumlah mereka besar dengan citarasa Indonesia hingga penghujung 1999.
Maka bijaklah dalam soal ini. Jangan paksakan anak-anak itu kembali ke era Porto yang tak pernah dimengertinya. Mereka hanya mengerti bahasa dan kebudayaan Indonesia yang beragam tapi satu. Sedangkan Porto adalah masa lalu yang sangat kelam bagi mereka. Porto tak membuahkan apapun di Timtim kecuali perpecahan dan perpecahan.
Mama Yuli sudah tiada tak lama setelah Timtim berubah nama menjadi Timorleste. Demikian pula Prajudi Atmodirdjo. Be free di alam kekal sana saudaraku. Indonesia takkan melupakanmu.
Joyogrand, Malang, Mon', March 20, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H