Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengenang Mama Yuli Pionir Pengembangan Industri Tenun Ikat di Timor Leste

20 Maret 2023   15:17 Diperbarui: 20 Maret 2023   15:40 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kn ke kr, Mama Yuli, Prajudi Atmodirdjo, dan salah satu pegiat busana. Pose bersama di Hotel Borobudur. Foto : dikolase dari dok pribadi

Setelah memastikan tidak ada lagi masalah berarti yang dihadapi menyangkut ketenagakerjaan, pada tahun 1989 Mama Yuli mendirikan secara resmi perusahaannya yang diberi nama CV Tenun Jaya. Penenun akhli yang dipekerjakannya ketika itu hanya 3 orang. Kemudian secara bertahap ditambahnya dengan cara menseleksi tenaga-tenaga berbakat yang langsung praktek di tempat di bawah bimbingan seniornya yang akhli. Lama kelamaan keakhlian mereka jadi  setara dengan tutornya.

Ciri Khas

Lebih jauh soal tenun ikat Timtim, Mama Yuli mengatakan ke-13 kabupaten di Timtim pada umumnya mewarisi tradisi tenun ikat, di antaranya tercatat 4 kabupaten yang menjadi primadona tenun ikat Timtim, yi Lautem (Los Palos), Ambeno, Ermera dan Dili.

Tradisi menenun itu konon sudah berlangsung ratusan tahun, sehingga corak dan motif masing-masing daerah sudah terpola sedemikian rupa. Ini tidaklah mengherankan sebab zaman dulu mereka belum akrab dengan budaya tulisan seperti sekarang. Karenanya, corak dan motif tenun ikat dari berbagai daerah di Timtim mempunyai ciri khas masing-masing. Dan itu semua terpatri erat dalam benak para penenun.

Tenun ikat dari Lautem dan Ambeno terkenal karena kehalusan dan warnanya yang cemerlang, sementara Dili dan Ermera terkenal karena motifnya yang religius dan banyak bernafaskan Katholisisme. Persamaan umum dari semua tenun ikat itu adalah terdapatnya motif yang memantulkan lingkungan alam dan budaya Timtim yang khas berupa motif cicak, ular, ayam, peralatan perang tempo doeloe dan aneka bunga khas Timtim seperti yang dikenal banyak orang ketika itu. Di samping itu terdapat juga motif-motif surealis, geometris, bentuk intan dll. 

Tetapi motif yang dominan pada umumnya merefleksikan lingkungan alam dan budaya setempat. Aneka motif yang khas dari berbagai daerah di Timtim itu telah diinventarisasi secara cermat oleh Mama Yuli.

Upacara adat

Ditilik dari sudut sejarah, pada mulanya karya tenun ikat yang dihasilkan oleh kaum wanita itu hanya digunakan untuk upacara-upacara adat. Setiap upacara adat menggunakan tenun ikat (tais dalam bahasa Tetum, sebuah linguafranca di Timtim) tertentu yang diberi nama dan motif yang sejiwa dengan upacara itu. Di Los Palos sendiri yang merupakan mascot tenun ikat Timtim, tercatat 11 jenis tais yang berfungsi ritual, yi Saru Nako (Kain Raja), Sika Lau, Upu Laku Waru, Kusin Lau, Hai Lau, Racikia, Lau Mimiraka, Kakun Lau, Kei Lana Lau, O'o Mimiraka, O'o Laku Waru. Pada masa lalu kain tenun itu praktis tidak diperjualbelikan dan hanya diproduksi secara terbatas untuk keperluan adat dan keperluan sendiri.

Mama Yuli jujur mengakui bahwa dia kurang mendalami segi ritual yang mengandung magi dan kepercayaan dari tenun ikat Timtim. Tetapi untuk kepentingan kepariwisataan, hal-hal seperti itu haruslah dilestarikan, sebab keunikan seperti itu memang santapan eksotis bagi para wisatawan dan ini tentu merupakan salah satu daya tarik Timtim.

Dalam hal pewarnaan benang, dipetik dari catatan lain ketika ke Los Palos beberapa waktu sebelumnya, Ermelinda Lopes, 44 tahun (pada 1993), seorang akhli tenun ikat asal desa Raca, Lautem, mengungkapkan meracik warna secara tradisional itu sangat menguras tenaga, rumit dan memakan waktu. Bahan-bahan pewarna diambil dari lingkungan alam setempat seperti kulit kayu, dedaunan, umbi-umbian seperti kunyit, dan tanah liat, bahkan ada yang direndam berhari-hari di kubangan kerbau. Karenanya kualitas warna untuk setiap daerah tidak selalu sama. 

Di daerah yang subur dan kaya dengan bahan-bahan alami seperti di Lautem, pewarnaan tenun ikat lebih bervariasi dibandingkan daerah-daerah lain yang kurang subur dan miskin dengan bahan-bahan alami itu. Tidak heran kalau warna yang dominan pada masa lalu umumnya adalah warna merah dan hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun